"Malam yang hening akan memudahkan engkau merenungkan perjalanan hidupmu. Biarkan kasih Yesus menaungimu. Ia sahabat setia untuk kaum lemah atau yang dilemahkan. Datanglah pada Tuhan Yesus setiap kali hatimu gelisah dan katakan terus terang kepadaNya semua sumber kemarahanmu dan dendammu agar Tuhan Yesus mengubahnya menjadi berkat bagi sesama dan dirimu sendiri," pesan Muder Anna.
***
Tapi pada suatu malam yang hening, suster-suster biara yang mulai hendak menikmati perdamaian dengan malam justru dikejutkan teriakan-teriakan Elis dari Kapel Santa Maria Magdalena:
"Tak ada malam hening yang suci, Muder!"
"Anisa bukan pelacur! Ia diperkosa! Malam di sini bukan malam yang ramah dan aman bagi perempuan. Malam di sini masih malamnya laki-laki buas seperti binatang. Malam di sini malam para binatang buas. Lelaki-lelaki itu menerkam Anisa, Muder. Apakah Muder menganggap Anisa seorang pelacur?!" Keheningan malam itu pun pecah dan menjadi gaduh karena Elis tidak lagi cuma berteriak-teriak tapi juga melemparkan piala-piala Misa.
"Anisa bukan Maria Magdalena, pelacur yang bertobat! Anisa diperkosa! Direnggut kebebasannya, Muder!"
Dalam waktu sebentar saja suster-suster biara itu pun mengepung Elis. Mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat kecuali hanya menjaga agar peralatan misa suci tidak rusak. Mereka pun bertanya-tanya siapa itu perempuan yang bernama Anisa. Adiknyakah? Kakaknyakah? Ibunya? Sahabat perempuannya? Ataukah roh jahat perempuan yang merasuki jiwanya?
"Biarkan ia berteriak!" Muder Anna mendekati suster-suster yang mengerubuti Elis. "Hatinya sedang penuh dendam. Biarkan ia melepaskan kemarahannya. Biarlah ia sendirian bersama kasih Tuhan Yesus." Para suster pun dengan tenang meninggalkan Kapel Maria Magdalena. Mereka pun mengerti bahwa masih ada perempuan yang menangis pada malam-malam tertentu. Malam di luar tidak aman seperti malam di biara yang hening dan penuh doa. Malam hening biara ternyata juga bukan perlindungan yang menyejukkan bagi seorang perempuan yang pernah dilukai malam.
Muder Anna yang lembut hatinya itu mengawasi Elis dari jauh. Ia mengerti Elis sungguh menderita. Pabila siang Elis bisa sedikit tersenyum tapi ketika malam datang seringkali wajahnya berubah muram, sedih, takut dan gelisah. Ia mengerti Elis mengalami trauma dengan malam.
"Elis tidak membutuhkan biara seperti ucapannya di malam gelap ketika ia mengetuk pintu biara."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H