Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekuasaan dan Perubahan: antara Jokowi, Puan Maharani, Agus Jabo Priyono dan Capres Lainnya

26 Januari 2023   19:02 Diperbarui: 26 Januari 2023   19:04 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang diinginkan dari gerakan mahasiswa dan rakyat di tahun 1998 ketika berkehendak menggulingkan kekuasaan Orde Baru dan memaksa Jendral Soeharto mundur setelah tiga puluh dua tahun berkuasa?

Banyak tentunya, tapi yang jelas kata kuncinya adalah perubahan. Perubahan seperti apa? Yang utama adalah perubahan dalam hal politik yaitu pentingnya dilaksanakan  demokrasi politik tanpa diskriminasi dan perlunya memajukan keadilan sosial dalam pembangunan Negara. Orde  Baru adalah representasi dalam soal-soal  pelanggaran Hak Asasi Manusia yang  paling nyata. Soal kesejahteraan (ekonomi), mungkin belum utama karena kesejahteraan dalam hal tertentu adalah relatif.

Di bawah kolonialisme Belanda, kesejahteraan terus meningkat bersamaan dengan akses terhadap Ilmu Pengetahuan. Tetapi Kemerdekaan Politik sebagai isu perubahan terus mengemuka, dituntut dan digerakkan karena dalam politik kolonial  ada diskriminasi yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan atau bangsa sehingga tidak terwujud keadilan sosial.  Kolonialisme Belanda tetap mempertahankan  strata sosial yang  lama untuk memperkaya diri  seperti priveleg bagi golongan bangsawan dalam soal pendidikan dan berbagai-bagai aturan yang menindas untuk orang miskin seperti petani dan buruh. Tetapi di masa Belanda, kaum buruh dan petani, mendapatkan senjata epistemologinya melalui komunisme untuk berjuang melakukan perubahan hingga ditutup Kolonial Belanda pasca pemberontakan PKI yang gagal di tahun 1926.

Di bawah Orde Baru,  isu ekonomi pun tidaklah menjadi peluru utama tetapi perlakuan yang diskriminatif dalam politik dan isu ketidak-adilan sosial dalam pembangunanlah yang menjadi daya tarik pergerakan dan perjuangan. Dalam politik, memunculkan golongan putih di setiap pemilu Orde Baru, karena dianggap tidak jurdil, sementara jumlah partai dibatasi dan dalam pembangunan,  selalu rakyat yang menjadi korban. Kedua isu itu pun menemukan momentum untuk membangun pergerakan perlawanan Orde Baru ketika banyak tanah  rakyat digusur dengan sewenang-wenang di sekitar tahun 1980-an terutama dalam kasus Kedung Ombo di Jawa Tengah.

Di sanalah, pergerakan mahasiswa bertemu dengan perlawanan rakyat terutama kaum tani, yang lagi-lagi oleh Orde Baru dituduh ditunggangi PKI yaitu partai yang membawa epistemologi perjuangan kaum tani dan buruh. Kaum mahasiswa yang bermodalkan Ilmu Kritis atau Humaniora yang membuat hati gampang tersentuh karena tindakan anti kemanusiaan tentu tidak memahami mengapa perbuatan baik dan bermoral seperti membela petani yang digusur sewenang-wenang malahan dicap PKI dan Komunis, yang selama ini diketahui sejauh pengetahuan yang didapat adalah sumber kesesatan dan kejahatan.

Walau akses terhadap epistemologi perjuangan buruh dan petani, termasuk komunisme,  tidaklah semudah di era reformasi sekarang, kaum mahasiswa yang bermodalkan Ilmu Kritis dan Humanioris  ini, tetap berusaha mendapatkan literatur  dan bacaan komunis walau itupun sudah merupakan tindakan yang bisa dianggap sebagai Vivere Pericoloso.  Orde Baru, sebagaimana kolonial Belanda setelah pemberontakan PKI 1926  dan Pejajahan Jepang yang singkat,  menangkap dan memenjarakan bahkan dalam rentang waktu yang cukup lama untuk setiap warganya yang kedapatan mempelajari epistemologi perjuangan kaum buruh dan tani, seperti komunisme. 

Tak hanya buku ilmiah tentang komunisme  tetapi bahkan juga buku yang dianggap mengandung komunisme walau ditulis dalam bentuk fiksi.  (Membaca) komunisme adalah tindakan kriminal yang berujung pada penjara. Tetapi diskriminasi juga terjadi, sebab demi dan hanya untuk ilmu pengetahuan saja, komunisme boleh dipelajari dan dibaca. Itu artinya hanya kaum mahasiswa dan terpelajar saja yang boleh  mengakses ilmu komunisme seperti di perpustakaan-perpustakaan filsafat, sementara rakyat kebanyakan tidak boleh, terutama kaum buruh dan petani yaitu kepada siapa Karl Mark hingga berjenggot dan beruban mempersembahkan karyanya itu yaitu Sosialisme Ilmiah atau yang lebih populer: komunisme.

Dalam melawan Orde Baru yang otoriter dan  diktaktor itu, lahirlah PRD, Partai Rakyat Demokratik, yaitu partai yang didirikan dan dimotori (pergerakan) mahasiswa dan kelompok kritis atau berpengetahuan di tahun 1996. Kemunculannya dengan tegas menyatakan sebagaimana tertulis dalam kata-kata pembuka di manifestonya bahwa "Tidak ada demokrasi di Indonesia....".

Jadi jelas, isu Politik  yaitu Demokrasi-lah yang menjadi isu utama penjatuhan Soeharto. Karena itu ada yang menyimpulkan bahwa bila Pemilu-Pemilu Orde Baru dilaksanakan secara konsisten dalam suasana demokrasi tanpa intervensi kekuasaan, Partai Demokrasi Indonesia (PDI)-lah yang suatu saat akan menggapai kemenangan. Di dalam namanya terkandung isu utama agenda perubahan yaitu Demokrasi. Faktanya, suara-suara dukungan untuk PDI semakin besar; kelompok kritis yang selama ini dalam barisan golongan putih, mulai merapat ke PDI di masa Soeryadi. Tetapi karena Orde Baru, lelahe ginawa mati, tidak bisa senang melihat ada perubahan, perubahan yang natural dari PDI itu dihambat dan dihancurkan, yang akhirnya memercik muka sendiri juga: turut terkena imbasnya dengan jatuhnya Soeharto yang dilantik tiga bulan sebelumnya.

Kita pun melihat secara langsung, karena yang utama bergerak adalah  kelompok mahasiswa atau kelompok kritis lainnya yang nota bene adalah kelas menengah yang  mempunyai akses terhadap Ilmu Pengetahuan;  sementara itu orang-orang miskin: kaum buruh dan petani, yang menjadi obyek advokasi dalam peningkatan kesejahteraan ekonomis tidaklah menjadi motor pergerakan, panggung perubahan di tahun 1998 itu pun dikuasai mahasiswa dan pilihannya adalah Reformasi yaitu hal-hal yang tidak baik di masa Orde Baru harus ditinggalkan. Kita melihat Perubahan Politik seperti kembalinya sistem multipartai, golongan Tionghoa mendapatkan kembali harkat dan martabatnya dengan diakuinya kebudayaan dan sistem kepercayaannya sebagai agama resmi di Indonesa. Walau hak politik (orang-orang tertuduh) anggota PKI diakui dan tanda ET (Eks Tapol) di Kartu Identitas dihapus  tetapi PKI dan komunisme tetap di luar dan terlarang sehingga tetap jauh dari jangkar epistemologis rakyat yang sewaktu-waktu bisa menjadi alasan untuk tindakan brutal dan anarkhis. 

Yang lalu dibiarkan berlalu artinya kejahatan Orde Baru tak tersentuh, untuk terus melangkah ke masa depan, walau tragedi demi tragedi menyertai tanpa pernah tahu darimana mesti menyelesaikan; sementara korupsi dan koruptor tetap hidup dan membudaya dan ketidak-adilan sosial,  terutama dalam isu agraria yaitu ketimpangan antara yang tak bertanah dengan yang bertanah tetap menyeruak. 

Lalu, kita pun dihadapkan pada pemilu dan pilpres 2024 yang mau tidak mau kita terlibat di dalamnya. Di sana ada Kekuasaan dan Perubahan yang diharap. Nama-nama Calon Presiden wira-wira dalam timeline media sosial, headline koran dan berita  layar kaca. Tidak memilih alias golput tentu sudah tidak relevan kecuali mungkin bagi yang masih menganggap diri PKI dan komunis walau tidak salah juga kalau juga berusaha menemukan "Celah" perubahan begitu mengetahui bahwa harkat seorang komunis yang telah belajar, berkarya, berjuang berpuluh tahun melawan penjajahan asing untuk negerinya tak lebih baik bahkan lebih buruk dari seorang koruptor yang hanya bisa dan cuma mengotori negeri.

Nama-nama Capres  itu bisa jadi hanyalah simbol dan perlambang perubahan ke depan. Pada Agustus 2022, Saiful Mujani Research Centre (SMRC) merilis hasil survey mengenai capres terpilih yang urutannya sebagai berikut: Ganjar Pranowo 17.6 %, Prabowo Subiyanto 12.6 %, Joko Widodo 12.5 %, Anis Baswedan 9.1%, Ridwan Kamil 4.3%, A Muhaimin Iskandar 1.3%, Megawati Soekarnoputri dan Agus Harimurti Yudhoyono 1.2%, Erick Thohir 1.0%, Sandiaga Uno dan Susilo Bambang Yudhoyono 0.8%, Puan Maharani dan Najwa Shihab 0.7%, Basuki T Purnama dan Tito Karnavian 0.5%,  Khofifah Indar Parawansa 0.3%, Andika Perkasa, Hary Tanoesoedibjo, Hasanudin, Tri Rismaharini, Airlangga Hartarto, Agus Jabo Priyono, Suryo Paloh, Edy Rahmayadi dan Yahya Cholil Staquf 0.2%; di bawah 0.2% ini masih ada nama-nama seperti Giring Ganesha,  Mardigu Wowiek, Deddy Corbuzier, Jalaluddin Dalimunthe,  Habib Luthfi bin Yahya, Dedi Mulyadi, Susi Pujiastuti, Wiranto, Bambang Soesatyo dan Ma'ruf Amin yang mendapatkan 0.1%.       

Jokowi tentu sudah selesai secara konstitusional pada tahun 2024 tetapi mengapa sejak jauh hari ada yang meminta mundur sementara malahan juga ada yang meminta lanjut 3 periode. Kita ingat pepatah: Gajah mati meninggalkan gading....Tentu saja "Jokowisme"  tidak akan "mati" setelah 2024 bahkan Suryo Paloh melalui Nasdem sempat melontarkan bahwa calon presidennya adalah yang bisa melanjutkan kerja Presiden Jokowi. Lalu di mana antithesa seorang Anis Rasyid Baswedan terhadap Jokowi kecuali pada  tampak luarnya saja? Demikian juga Prabowo Subiyanto yang malah secara terbuka bergerak dari antithesa ke thesa Jokowi. Lalu Ganjar Pranowo, Eric Thohir, yang seakan tak lebih menjadi bayang-bayang Jokowi atau seterus-terang philip untuk menjadi penerus Jokowi.

Hanya Agus Jabo Priyono, yang dalam segala hal memenuhi syarat menjadi anti-thesa Jokowi. Agus Jabo Priyono, Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur-PRIMA secara terbuka menantang  politik Oligarki yang dinilainya direpresentasikan Jokowi saat ini. Dan,  capres-capres lainnya setidaknya berasal dari "dinasti-dinasti" politik yang mapan.

Sementara itu  Puan Maharani tanpa harus dijelaskan ini-itu walau berasal dari "dinasti" politik yang mapan, sebagai seorang puan di antara para tuan capres adalah anti-thesa yang lainnya, yang tentu akan membawa perubahan tersendiri atau perubahan dengan sendirinya.

*****

     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun