Apa sebab? Jawabannya tidak ditemukan dalam buku ini. Â Mungkin dalam Link youtube saya ini:
Bersamaan dengan melenyapnya Majapahit, cerita kejayaan Majapahit di bawah Raja Perempuan pun dilenyapkan setidaknya demi berdirinya dan berkelanjutannya Kerajaan Mataram Kedua yang melalui gelar sastranya yaitu Babad Tanah Jawa, Raja Perempuan bernama Dyah Gitarja itu ditiadakan. Dan dalam  sejarah Mataram sampai sekarang tidak pernah ada tempat bagi perempuan untuk menjadi raja entah dengan alasan apapun. Cerita yang muncul bahkan bila ada Raja Perempuan, mestinya lemah dan tak berdaya sebagaimana yang muncul dalam Cerita Damarwulan. Apakah ini karena kurangnya pengetahuan para cendekia Mataram atau memang begitulah politik kekuasaan Mataram?
Buku ini setidaknya memberikan narasi lebih luas tentang Dyah Gitarja. Dengan jumlah halaman sekitar 128 walau  bab I dan II bisa kita lewati. Dengan demikian juga memberi tempat kisah perempuan dalam membangun dan memimpin Nusantara yang selama ini lebih cenderung sebagai kisah para lelaki. Apriadi Ujiarso bahkan menyinggung peran terakhir Dyah Gitarja  dalam serangan ke Samudra Pasai dan meragukan kesimpulan yang selama ini ada atas pembacaan Hikayat Raja Pasai. Ia menulis: "Beberapa pembacaan terhadap satu versi Hikayat Raja Pasai menghasilkan kesimpulan Hayam Wuruk yang memberi perintah penyerangan Majapahit ke Pasai itu. Dan Mahapatih Gajamada yang memimpin serangan....Terhadap kesimpulan ini banyak ahli yang tentu meragukannya. Sekali lagi ada yang nyeletuk itu, tuh kan sesuai standar sejarah para lelaki.  Para penyeletuk itu lalu membeberkan fakta bahwa tahun 1350 di Majapahit itu adalah masa transisi kekuasaan Tribhuwana Tunggadewi beralih ke Hayam Wuruk, mestinya selalu terbuka kemungkinan bahwa perintah penyerbuan itu turun  dari sang ratu, ibunda Hayam Wuruk. Pasti Ratu Tribhuwana Tunggadewi sangat emosional mendengar kematian Galuh Gemerencang dan kematian  putra-putri yang sungguh malang nasibnya  itu di tangan ayah kandungnya sendiri. (baca halaman: 18-19)
Sayangnya, pada akhirnya, dengan membaca buku ini sampai tuntas, kesan yang muncul adalah Gajah Madalah yang tetap mendapatkan tempat. Buku ini ditutup dengan kematian Gajah Mada pada tahun 1364 Masehi berikut gambaran kisah narasi sang legenda Gajah Mada sebagaimana juga  ditulis dalam  Kidung Sunda dan Kidung Gajamada.
Dyah Gitarja masih menunggu untuk dituliskan lebih lengkap dan detail hingga pada kemuliaannya alias kematiannya yang berada dalam masa menaiknya Majapahit.
Sanghyang, setelah Hari Ibu 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H