Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Dyah Gitarja Masih Menunggu

26 Januari 2023   14:07 Diperbarui: 22 Maret 2024   15:36 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Resensi Buku

Judul                           : Dyah Gitarja, Biografi Kekuasaan Majapahit

Pengarang                   : Apriadi Ujiarso

Jumlah Hal                  : xii + 128

Penerbit                       : Interlude, Yogyakarta

Tahun Terbit                : Cetakan I, Januari 2022

Biografi Kekuasaan Majapahit, karya Apriadi Ujiarso, ini merupakan buku yang termasuk langka dalam hal tema yaitu Dyah Gitarja. Kita ketahui: sudah banyak ditulis mengenai Majapahit dan Gajah Mada tetapi Dyah Gitarja hampir tidak ada. Beberapa tahun yang lalu juga sudah terbit mengenai Gayatri ditulis oleh Earl Drake berjudul Gayatri Rajapatni: Perempuan Di Balik kejayaan Majapahit terbitan Ombak, Yogyakarta tahun 2012.

Hampir  sama dengan Dyah Gitarja, alasan sedikitnya referensi mengenai keduanya, membuat kedua buku itu dipenuhi dengan imajinasi.  Walau demikian keduanya tetap tidak bisa dikatakan sebagai novel karena kalau dilabeli sebagai novel akan menjadi novel yang buruk. Pun buku ini: Dyah Gitarja tidak bisa disebut sebagai buku sejarah tetapi ia bisa menjadi  jalan pembuka untuk menulis lebih serius tentang Dyah Gitarja. Barangkali kemendesakkan perlunya narasi feminist di tengah lautan narasi maskulin dalam sejarah Nusantara  menjadi alasan ditulis dan diterbitkannya buku ini.

Dyah Gitarja kita kenal sebagai Tribhuwana Tungga Dewi, Raja Perempuan pertama Majapahit menggantikan Jayanegara yang tewas dibunuh Ra Tanca. Naik Takhta pada tahun 1328 Masehi. Di bawah kekuasaannya, Majapahit menjadi kokoh dan meluas. Pemberontakan Sadeng dan Keta ditundukkan; lalu mengangkat Gajah Mada sebagai Maha Patih yang semakin menyakinkan untuk meneruskan politik menyatukan Nusantara yang telah dirintis  Kertanagara, Kakeknya melalui Sumpah Palapa. Dan semua cita-cita itu terpenuhi di bawah Dyah Gitarja. Dengan demikian tentunya Dyah Gitarja ini bukan perempuan sembarangan. Mestinya pintar, cerdas, memahami sejarah, menguasai politik pemerintahan  dan berani.

Keberaniannya sudah ditunjukkan dengan menumpas pemberontakan Sadeng dan Keta di tengah keraguan dan persaingan di antara para jenderalnya seperti Gajah Mada dan Ra Banyak. Pintar, cerdas, memahami sejarah dan menguasai politik pemerintahan, tentunya  Dyah Gitarja banyak melahap  buku-buku di masanya seperti Kitab Hukum Manu bahkan buku kesehatan untuk ibu hamil yang gambaran detailnya bisa Anda dapatkan dengan membaca buku ini.

Dengan sepak terjang politik seperti itu, Dyah Gitarja seharusnya menjadi buah bibir  rakyat sepanjang masa. Tetapi tidak. Gitarja seperti tak berperan besar dan tidak mendapatkan tempat yang layak dihormati dan dipuja dalam sepanjang sejarah Majapahit bahkan Nusantara. Peletak dasar kejayaan Majapahit itu justru tenggelam dalam popularitas  Mahapatih Gajah Mada dan Hayam Wuruk; yang diakhir hidupnya: Hayam Wuruk justru meninggalkan politik yang buruk  yaitu benih politik perpecahan yang  mengkhianati visi politik Kakek Buyutnya Kertanagara yaitu dengan membagi Majapahit Barat dan Timur, yang berakibat membawa Majapahit ke jalan menurun, gelap, samar  lantas menghilang dalam cerita kejayaan Nusantara di angan-angan rakyat sesudahnya. 

Apa sebab? Jawabannya tidak ditemukan dalam buku ini.  Mungkin dalam Link youtube saya ini:


Bersamaan dengan melenyapnya Majapahit, cerita kejayaan Majapahit di bawah Raja Perempuan pun dilenyapkan setidaknya demi berdirinya dan berkelanjutannya Kerajaan Mataram Kedua yang melalui gelar sastranya yaitu Babad Tanah Jawa, Raja Perempuan bernama Dyah Gitarja itu ditiadakan. Dan dalam  sejarah Mataram sampai sekarang tidak pernah ada tempat bagi perempuan untuk menjadi raja entah dengan alasan apapun. Cerita yang muncul bahkan bila ada Raja Perempuan, mestinya lemah dan tak berdaya sebagaimana yang muncul dalam Cerita Damarwulan. Apakah ini karena kurangnya pengetahuan para cendekia Mataram atau memang begitulah politik kekuasaan Mataram?

Buku ini setidaknya memberikan narasi lebih luas tentang Dyah Gitarja. Dengan jumlah halaman sekitar 128 walau  bab I dan II bisa kita lewati. Dengan demikian juga memberi tempat kisah perempuan dalam membangun dan memimpin Nusantara yang selama ini lebih cenderung sebagai kisah para lelaki. Apriadi Ujiarso bahkan menyinggung peran terakhir Dyah Gitarja  dalam serangan ke Samudra Pasai dan meragukan kesimpulan yang selama ini ada atas pembacaan Hikayat Raja Pasai. Ia menulis: "Beberapa pembacaan terhadap satu versi Hikayat Raja Pasai menghasilkan kesimpulan Hayam Wuruk yang memberi perintah penyerangan Majapahit ke Pasai itu. Dan Mahapatih Gajamada yang memimpin serangan....Terhadap kesimpulan ini banyak ahli yang tentu meragukannya. Sekali lagi ada yang nyeletuk itu, tuh kan sesuai standar sejarah para lelaki.  Para penyeletuk itu lalu membeberkan fakta bahwa tahun 1350 di Majapahit itu adalah masa transisi kekuasaan Tribhuwana Tunggadewi beralih ke Hayam Wuruk, mestinya selalu terbuka kemungkinan bahwa perintah penyerbuan itu turun  dari sang ratu, ibunda Hayam Wuruk. Pasti Ratu Tribhuwana Tunggadewi sangat emosional mendengar kematian Galuh Gemerencang dan kematian  putra-putri yang sungguh malang nasibnya   itu di tangan ayah kandungnya sendiri. (baca halaman: 18-19)

Sayangnya, pada akhirnya, dengan membaca buku ini sampai tuntas, kesan yang muncul adalah Gajah Madalah yang tetap mendapatkan tempat. Buku ini ditutup dengan kematian Gajah Mada pada tahun 1364 Masehi berikut gambaran kisah narasi sang legenda Gajah Mada sebagaimana juga  ditulis dalam  Kidung Sunda dan Kidung Gajamada.

Dyah Gitarja masih menunggu untuk dituliskan lebih lengkap dan detail hingga pada kemuliaannya alias kematiannya yang berada dalam masa menaiknya Majapahit.

Sanghyang, setelah Hari Ibu 2022


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun