Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Wayang sebagai Api Perubahan

25 Januari 2023   19:51 Diperbarui: 25 Januari 2023   19:52 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun sudah mengerti bahwa

Yang dilihat itu hanya kulit yang 

Dipahat berbentuk orang dapat         

Bergerak dan berbicara)

Tetapi jauh sebelum Pertunjukkan Wayang Kulit "Arjuna Wiwaha" itu,  proses penerjemahan Ramayana dan Mahabharata ke Jawa Kuno (Indonesia  Kuno) sudah dimulai. Barangkali di bawah Mpu Sindok, Ramayana Jawa sudah mulai diterjemahkan. Dharmawangsa, cucu Mpu Sindok, yang paling dikenal sebagai tokoh literasi jaman itu telah mengusahakan banyak untuk menerjemahkan naskah sanskerta ke Jawa Kuno terutama Mahabharata. Tak hanya itu, setelah selesai terjemahan Wirataparwa 996 M, diadakan pembacaan Wirataparwa di Istananya dengan mengundang banyak orang, yang dihadirinya selama hampir sebulan penuh. Hanya sekali dia tak hadir. Penerjemahan ini tentu saja memperluas jangkauan Ramayana dan Mahabharata ke masyarakat luas Jawa, terutama melalui  pertunjukkan-pertunjukkan Wayang Kulit dan menjadikannya sebagai warisan Jawa Kuno (masa Hindu yang tak lekang oleh jaman) bahkan Islam, agama yang kemudian datang menggantikan suasana kebatinan Tanah Jawa tak juga  "hendak" menghapusnya tapi menggunakannya untuk kepentingan perluasan Islam dan memasukkan unsur-unsur Islam di dalamnya misalnya senjata paling sakti dalam pertempuran  Bharatayuda Mpu Sedah dan Panuluh yaitu Pustaka Akalima Asada diganti menjadi  serat Jamus Kalimasada, yang diasosiasikan pada Kalimat Syahadat. Pun dalam Sastra Suluk yang sufistik, "Tuhan sering diumpamakan sebagai seorang dalang yang membuat wayangnya berlaku sesuai kemauannya."

Dunia wayang yang seperti ini yang dikenal sebagai Wayang Purwa ini telah memenuhi isi  kepala Rakyat Indonesia. Tapi jelas di sana, dari penggambaran singkat perkembangan Wayang Purwa yang masih merajai dunia permainan bayang-bayang ini tergambarkan struktur masyarakat  yang tetap: sudra atau rakyat tidak pernah berkuasa. Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu menyatakan: " Betapa seluruh  alam wayang, seluruh filsafatnya, menjadi jalan raya, terbuka dan kesat bagi serdadu-serdadu negeri dan bangsa kecil dari utara sana berparade. Dan betapa seluruh organisasi kekuasaan dan sosial mengangguk mengiakan." Pram pun menyatakan sudah "tutup buku dengan wayang..." sejak tahun 1939.

Tapi sejarah membuktikan bahwa Wayang Purwa tetap menjadi bagian kuat dalam kebudayaan nasional dan mampu bertahan dan berjaya di antara berbagai alternatif wayang yang ditawarkan bahkan juga sudah diakui Unesco sebagai milik  dunia.  Dalam tubuh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) sendiri, tempat Pramoedya Ananta Toer bergabung terjadi perdebatan yang keras: ada yang berseru, dihapus saja dari panggung kebudayaan nasional, baik secara radikal  atau pelan-pelan, atau melakukan innovasi-innovasi dan memaksimalkan nilai-nilai patriotis; atau juga memajukan lakon yang memberanikan perempuan sebagai wujud politik kesetaraan seperti Srikandi. Wayang alternatif gagasan LEKRA, seperti wayang suwasana, barangkali bisa saja menyaingi dominasi wayang purwa. Sayang, struktur LEKRA yang luas dengan basis massa pendukungnya, dihancurkan Orde Baru, sehingga permainan bayangan untuk memajukan imajinasi di bawah dominasi struktur masyarakat kapitalisme saat ini "terpaksa" mengambil alih secara terbatas dari wayang purwa, yang sudah pakem dengan struktur feodalismenya. Bukankah  kita tidak bisa bersandar atau berimajinasi pada Pandawa sebagai kaum proletar hanya karena lebih banyak menderita dibandingkan dengan Kurawa yang tampak berkuasa dan berfoya-foya sehingga Kurawa kita identikkan dengan kaum borjuis dan kapitalisme?

Dalam tradisi internal Wayang Purwa sendiri, Innovasi-innovasi itu terus berlangsung hingga sekarang, terutama sejak munculnya sekolah pedalangan yang mengambil model Eropa, seperti Institut Seni dan penggunaan Bahasa Indonesia. Inovasi panggung atau cara pementasan pun dilakukan seperti yang dilakukan Ki Sukasman dengan Wayang Ukur, yang mencoba melakukan pementasan wayang secara teater Eropa sehingga Wayang bisa benar-benar mengglobal. Tetapi dalam suatu lakon yang pernah saya tonton: Gonjang Ganjing, yaitu tentang Ekalaya, memang ada pembaharuan bahkan nilai-nilai. Kaum Sudra, Ekalaya, bahkan dari suku pemburu, hendak dijatahkan surga sama Ki Sukasman. Ki Sukasman, dengan wayang ukur, yang  berinovasi, memperjuangkan surga bagi  Ekalaya itu dalam hal gagasan masih kalau jauh dengan Penyair jaman akhir Majapahit: Tan Akung, yang bahkan tanpa babibu, tanpa sengaja, menggambarkan bagaimana Lubdaka dikasih tempat di surga oleh Siwa, padahal Lubdaka, hanyalah berasal dari suku pemburu atau manusia hutan, manusia yang (barangkali) boleh dibunuh tanpa dihukum sebagaimana dalam tradisi Viking.

Tapi setidaknya, dengan cara itu Ki Sukasman berharap Wayang (Purwa) tetap bisa menjadi Api Perubahan, yaitu memperjuangkan rakyat, dalam hal ini kaum sudra untuk mendapatkan  tempatnya di Surga. Karena wayang adalah permainan bayang-bayang, yang digerakkan juga Api Blencong, ini berarti juga api perjuangan untuk perubahan yaitu menjadikan Bumi sebagai tempat yang membahagiakan selayaknya surga juga untuk Rakyat; sebagaimana judul kumpulan cerpen Sugiarti Siswadi, seorang cerpenis LEKRA: Sorga dibumi. Dan doa yang  dilantunkan: "...Di atas bumi seperti di dalam sorga".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun