Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Wayang sebagai Api Perubahan

25 Januari 2023   19:51 Diperbarui: 25 Januari 2023   19:52 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Wayang (atau bayang) adalah permainan bayang-bayang yang juga ada di seluruh dunia dalam berbagai bentuk dan gaya. Sewaktu kecil, kita sering bermain atau menari dengan bayangan kita sendiri di bawah matahari atau terang bulan..? Lalu dengan lampu senter menyorot jari-jari tangan kita untuk membentuk bayangan hewan-hewan sehingga kita bisa bermain  wayang  fabel bagaikan dalang-dalang wayang purwa yang sakral. Permainan wayang dengan begitu tidaklah jauh dari aktivitas kemanusiaan kita sejak kecil  hingga dewasa; bahkan lelaki Narcissus yang tampan itu     jatuh cinta pada bayangannya sendiri dan si anjing serakah yang sudah memenangkan perebutan tulang terpaksa harus melepaskan tulang di air jernih mengalir ketika melihat bayangannya sendiri sebagai pesaing dan musuh yang membahayakan.

Sejak kapan manusia mulai menyadari permainan bayang-bayang ini dan mensistematika sebagai bagian dari kesadaran dan keberadaan manusia? Plato, seakan mengisyaratkan sejak manusia tinggal dalam gua-gua dan ditemukannya api sebagai blencong dalam permainan wayang kulit purwa; Purwa sendiri berarti yang mula-mula, permulaan atau dari masa yang dahulu kala. Manusia gua Plato yang terbelenggu, tak tercerahkan bisa mempercayai  pergerakan bayangan di dinding gua dari api unggun yang menyala di terpa angin sebagai pergerakan nyata dari kehidupan sebagaimana Bagong yang dicipta dari bayangan Semar sebagai realitas yang kini hidup; mempengaruhi kehidupan Semar dan lingkungannya walau senyatanya, pada awal mulanya hanyalah bayang-bayang.

Begitulah Wayang (Indonesia) adalah medan perebutan gagasan. Dari sana, digaungkan pandangan-pandangan filsafat, terutama etika dari kelas berkuasa atau yang mempergunakannya. Permainan bayang-bayang ini bagi orang Jawa telah menjadi cara tersendiri untuk sarana pendidikan menjadi  Jawa dalam artian dewasa yaitu mengenal dunia batin: olah rasa dunia dalam,  dalamnya perasaan. Tentu bukan suatu kebetulan, tetapi dialektika sejarah masyarakatlah  yang telah membawa orang Jawa untuk menjadi ahli dalam mengolah rasa, menyimpan perasaan dan dunia batin lainnya. Semua ini, sejauh saya baca dari beberapa sumber sejarah, dikarenakan rontoknya perdagangan laut (orang-orang)  Jawa. Kuasa kolonial memaksa orang-orang Jawa tak lagi menengok dunia luar  dalam pelayaran bertualang atau berdagang. Perdagangan dibenci seakan tak ada kelas pedagang dalam masyarakat Jawa yang dipaksa mengisolasi diri  dalam kehidupan agraris pedalaman yang tenang yang tersusun dari para petani,  para bangsawan dan raja. Wayang Purwa menjadi dunia batin  tempat melihat kejayaan masa lalu, tempat nenek moyang dan para leluhur hidup untuk menjadi cermin kehidupan.

Sumber  yang utama dari wayang purwa itu adalah Kitab Mahabharata dan Ramayana, yang kita ketahui berasal dari India, pun sampai sekarang masih menjadi inspirasi para penyair dan sastrawan Indonesia. Cerita tentang Pandawa sendiri, Lima tokoh dalam Mahabharata, cukup dikenal luas di Indonesia. Di antara naskah-naskah Melayu klasik koleksi Perpustakaan Nasional terdapat beberapa naskah kuna yang menceritakan hikayat Pandawa, yaitu Hikayat Pandawa, Hikayat Pandawa Jaya, Hikayat Pandawa Panca Kelima dan  Hikayat Pandawa Lima. Hikayat Pandawa Lima, asal Palembang, sudah di-Indonesia-kan dan diterbitkan  Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tahun 2013. Tinggal dibaca saja. Sumatra atau Samudra atau Swarnadwipa,  adalah pintu gerbang pertama untuk  pem-bharata-an sebelum akhirnya membumi di Jawadwipa. Tidak heran kalau memang Mahabharata juga menyebar luas di Tanah Sumatra. Entah dimulai kapan..?  Pengaruh kuatnya barangkali nampak pada penyebutan arah angin yang tak hilang sampai sekarang: Barat.

Walau permainan bayang-bayang sebagaimana sudah disebut di atas sebagai permainan yang melekat pada perkembangan manusia sewajarnya, bisa jadi juga para pedagang India kuna atau pedagang Hindu membawa serta permainan bayang-bayangnya untuk mengumpulkan penduduk pribumi demi kelancaran usaha perdagangan mereka. Cerita yang memikat tentang kisah cinta Rama dan Sinta yang mengisi permainan bayang-bayang itu pun sanggup menenggelamkan kisah cinta pribumi dalam wayang Panji dan cerita tentang kepahlawanan dalam Mahabharata seakan menjadi kenangan abadi yang tak  terlupakan sehingga menjadi landasan nilai-nilai moral kehidupan. Kita lihat wayang-wayang alternatif di luar kisah Ramayana dan Mahabharata atau (Wayang Purwa) tak menemukan dukungan luas  (setidaknya sampai sekarang) baik yang bernuansa Sejarah Nusantara (Wayang Beber atau Wayang Panji),  Islam (Wayang Menak), Kristen (Wayang Wahyu), Perjuangan Kemerdekaan (Wayang Revolusi), Wayang Suluh atau Wayang Pancasila dan Wayang Suwasana yang mengambil tema kehidupan sehari-hari  seperti Wayang Kampung Sebelah.

Pertunjukkan wayang sendiri mulai dicatat setidaknya pada abad ke-4 Masehi seperti yang diberitakan Prasasti Balitung: si Galigi mawayang. Pada 1030 M, Penyair Kanwa, menulis tentang jalannya pertunjukkan wayang kulit dalam Kakawin Arjuna Wiwaha:

Hanonton ringgit manangis asekel

Muda hidepan, huwus wruh towin jan

Walulang inukir molah angucap

(Ada orang melihat wayang menangis,

Kagum, serta sedih hatinya

Walaupun sudah mengerti bahwa

Yang dilihat itu hanya kulit yang 

Dipahat berbentuk orang dapat         

Bergerak dan berbicara)

Tetapi jauh sebelum Pertunjukkan Wayang Kulit "Arjuna Wiwaha" itu,  proses penerjemahan Ramayana dan Mahabharata ke Jawa Kuno (Indonesia  Kuno) sudah dimulai. Barangkali di bawah Mpu Sindok, Ramayana Jawa sudah mulai diterjemahkan. Dharmawangsa, cucu Mpu Sindok, yang paling dikenal sebagai tokoh literasi jaman itu telah mengusahakan banyak untuk menerjemahkan naskah sanskerta ke Jawa Kuno terutama Mahabharata. Tak hanya itu, setelah selesai terjemahan Wirataparwa 996 M, diadakan pembacaan Wirataparwa di Istananya dengan mengundang banyak orang, yang dihadirinya selama hampir sebulan penuh. Hanya sekali dia tak hadir. Penerjemahan ini tentu saja memperluas jangkauan Ramayana dan Mahabharata ke masyarakat luas Jawa, terutama melalui  pertunjukkan-pertunjukkan Wayang Kulit dan menjadikannya sebagai warisan Jawa Kuno (masa Hindu yang tak lekang oleh jaman) bahkan Islam, agama yang kemudian datang menggantikan suasana kebatinan Tanah Jawa tak juga  "hendak" menghapusnya tapi menggunakannya untuk kepentingan perluasan Islam dan memasukkan unsur-unsur Islam di dalamnya misalnya senjata paling sakti dalam pertempuran  Bharatayuda Mpu Sedah dan Panuluh yaitu Pustaka Akalima Asada diganti menjadi  serat Jamus Kalimasada, yang diasosiasikan pada Kalimat Syahadat. Pun dalam Sastra Suluk yang sufistik, "Tuhan sering diumpamakan sebagai seorang dalang yang membuat wayangnya berlaku sesuai kemauannya."

Dunia wayang yang seperti ini yang dikenal sebagai Wayang Purwa ini telah memenuhi isi  kepala Rakyat Indonesia. Tapi jelas di sana, dari penggambaran singkat perkembangan Wayang Purwa yang masih merajai dunia permainan bayang-bayang ini tergambarkan struktur masyarakat  yang tetap: sudra atau rakyat tidak pernah berkuasa. Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu menyatakan: " Betapa seluruh  alam wayang, seluruh filsafatnya, menjadi jalan raya, terbuka dan kesat bagi serdadu-serdadu negeri dan bangsa kecil dari utara sana berparade. Dan betapa seluruh organisasi kekuasaan dan sosial mengangguk mengiakan." Pram pun menyatakan sudah "tutup buku dengan wayang..." sejak tahun 1939.

Tapi sejarah membuktikan bahwa Wayang Purwa tetap menjadi bagian kuat dalam kebudayaan nasional dan mampu bertahan dan berjaya di antara berbagai alternatif wayang yang ditawarkan bahkan juga sudah diakui Unesco sebagai milik  dunia.  Dalam tubuh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) sendiri, tempat Pramoedya Ananta Toer bergabung terjadi perdebatan yang keras: ada yang berseru, dihapus saja dari panggung kebudayaan nasional, baik secara radikal  atau pelan-pelan, atau melakukan innovasi-innovasi dan memaksimalkan nilai-nilai patriotis; atau juga memajukan lakon yang memberanikan perempuan sebagai wujud politik kesetaraan seperti Srikandi. Wayang alternatif gagasan LEKRA, seperti wayang suwasana, barangkali bisa saja menyaingi dominasi wayang purwa. Sayang, struktur LEKRA yang luas dengan basis massa pendukungnya, dihancurkan Orde Baru, sehingga permainan bayangan untuk memajukan imajinasi di bawah dominasi struktur masyarakat kapitalisme saat ini "terpaksa" mengambil alih secara terbatas dari wayang purwa, yang sudah pakem dengan struktur feodalismenya. Bukankah  kita tidak bisa bersandar atau berimajinasi pada Pandawa sebagai kaum proletar hanya karena lebih banyak menderita dibandingkan dengan Kurawa yang tampak berkuasa dan berfoya-foya sehingga Kurawa kita identikkan dengan kaum borjuis dan kapitalisme?

Dalam tradisi internal Wayang Purwa sendiri, Innovasi-innovasi itu terus berlangsung hingga sekarang, terutama sejak munculnya sekolah pedalangan yang mengambil model Eropa, seperti Institut Seni dan penggunaan Bahasa Indonesia. Inovasi panggung atau cara pementasan pun dilakukan seperti yang dilakukan Ki Sukasman dengan Wayang Ukur, yang mencoba melakukan pementasan wayang secara teater Eropa sehingga Wayang bisa benar-benar mengglobal. Tetapi dalam suatu lakon yang pernah saya tonton: Gonjang Ganjing, yaitu tentang Ekalaya, memang ada pembaharuan bahkan nilai-nilai. Kaum Sudra, Ekalaya, bahkan dari suku pemburu, hendak dijatahkan surga sama Ki Sukasman. Ki Sukasman, dengan wayang ukur, yang  berinovasi, memperjuangkan surga bagi  Ekalaya itu dalam hal gagasan masih kalau jauh dengan Penyair jaman akhir Majapahit: Tan Akung, yang bahkan tanpa babibu, tanpa sengaja, menggambarkan bagaimana Lubdaka dikasih tempat di surga oleh Siwa, padahal Lubdaka, hanyalah berasal dari suku pemburu atau manusia hutan, manusia yang (barangkali) boleh dibunuh tanpa dihukum sebagaimana dalam tradisi Viking.

Tapi setidaknya, dengan cara itu Ki Sukasman berharap Wayang (Purwa) tetap bisa menjadi Api Perubahan, yaitu memperjuangkan rakyat, dalam hal ini kaum sudra untuk mendapatkan  tempatnya di Surga. Karena wayang adalah permainan bayang-bayang, yang digerakkan juga Api Blencong, ini berarti juga api perjuangan untuk perubahan yaitu menjadikan Bumi sebagai tempat yang membahagiakan selayaknya surga juga untuk Rakyat; sebagaimana judul kumpulan cerpen Sugiarti Siswadi, seorang cerpenis LEKRA: Sorga dibumi. Dan doa yang  dilantunkan: "...Di atas bumi seperti di dalam sorga".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun