Kepribadian merupakan sifat atau perilaku khas dari seseorang, kepribadian terbentuk karena terdapat faktor-faktor dari luar maupun dari dalam lingkungan seseorang. Kepribadian seseorang akan semakin berkembang jika terus berkontak atau mengenal orang dan berada di lingkungan baru. Lingkungan yang baik akan menghasilkan kepribadian yang baik juga, sedangkan lingkungan yang buruk banyak mempengaruhi kepribadian seseorang menjadi buruk juga, kecuali orang tersebut dapat mencegahnya.
Kerpibadian yang baik ini dapat dilihat pada salah satu tokoh yang terdapat dalam naskah Damarwulan. Naskah ini ditulis pada tahun 1748 M atau 1673 S oleh Ki Nalamarta pada hari Kamis Pon, bulan Rabiul Awal. Naskah ini menjadi naskah tertua di lingkungan sastra Jawa, naskah ini sangat terkenal dan memiliki nama lain yaitu naskah Babad Majapahit. Latar dalam naskah ini yaitu pada saat kerajaan Majapahit, naskah ini dituliskan dengan aksara budha di atas lontar, dengan ukuran 30.3 x 3.4 dan berjumlah 4o lembar. Naskah tersebut memiliki beberapa bab, yaitu: 1) Asmaradana, 2) Durma, 3) Sinom, 4) Dhangdhanggula, dan 5) Sinom.
Naskah tersebut juga dapat diakses melalui buku alih aksara dan terjemahan yang ditulis oleh Abimardha Kurniawan dan Agung Kriswanto. Pembahasan tentang kepribadian ini menggunakan buku tersebut sebagai objek pembahasan.
Dalam naskah tersebut diceritakan seorang laki-laki bernama Damarwulan, ia merupakan anak dari Patih Udara, seorang Patih Majapahit. Ia memiliki kepribadian yang baik seperti ayahnya. Dalam naskah tersebut Damarwulan menunjukan sifat penyayang dan berbakti kepada orang tua. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kutipan naskah di bawah.
"humatur ki Damarwulan, heyang kawula hapamit, hanggulari atng rama, manjing wana nibeng curi(ng), miwah hardi kang sungil, lahang tumka hing lampus, ki buyut Paluh Oma, wuwuse harum amanis, haja lunga pun eya(ng) dados punapa//"(hlm. 49)
Dalam kutipan di atas, Damarwulan menunjukkan sifat penyayangnya kepada orang tuanya. Ia bermaksud izin pamit untuk mencari ayahnya yang tidak ada dari ia lahir sampai ia tumbuh besar. Ia ingin memastikan apakah ayahnya masih hidup atau sudah tiada, ia menunjukkan rasa kekhawatirannya kepada sang ayah, ia ingin sekali menemui ayahnya, bahkan rela masuk ke hutan sampai ke gunung sekalipun. Ayahnya diketahui pergi ketika ibunya mengidam saat hamil Damarwulan, ibunya ingin sang ayah betapa ke dalam Goa, namun sampa Damarwulan besar, sang ayah tidak kunjung balik ke rumah.
Sifat Damarwulan ini diturunkan dari ayahnya, sang ayah rela meninggalkan istrinya, rumahnya, dan pekerjaannya demi sang anak agar lahir dengan sehat dan kuat sehingga dapat menjadi orang yang berkuasa suatu saat nanti. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan di bawah ini.
"dupi rabine haniam, ki patih kesah pratapi, hi guwa Sigalagala, jalma mara jalma mati, langkung hamatiragi, mila ragane ginntur, panane hing dewa, lamon atmajanne lahir, hamngkuwa nagara hing Wilatikta." (hlm. 44)
Dalam kutipan di atas sang Ayah (Patih Udara) menuruti kemauan sang istri yang menginginkan Patih Udara pergi betapa di Goa Sigala-gala, kemudian pergilah ia dengan ikhlas dan penuh tekad terus betapa agar anaknya sehat dan kelak akan menjadi orang yang berkuasa di Majapahit.
Selain itu, dalam naskah ini ditunjukkan pula sikap berbakti Damarwulan terhadap ibu dan kakeknya, seperti pada kutipan di bawah ini.
"balik sira ngawulaha, miyanga hing Majapahit, sadulure ramanira, pan mksih dadi papatih, hana hing Majapahit, patih Logner ranipun, ramanira kang tuwa /15r/ patih Logner kang Rayi, yen angaku ggntine ramanira."
"wwkasinhsun ing sira, manawa ki patih lali, kalinga[ni]ning kawibawan, wantune wong Majapahit, nuli muliya kaki, haja sira pati kudu, ya ta ki Damarwulan, hatur smah wus apamit, tkeng lawang rinangkul inh ibunira."Â (hlm. 50)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa sang kakek memberi saran, ia berkata daripada mencari sang ayah lebih baik Damarwulan pergi ke Majapahit, karna di sana ada adik dari sang ayah yang masih menjadi bertugas, sehingga ia bisa membantu Damarwulan untuk mengabdi di Majapahit. Tetapi jika ia tidak menerima, maka kakeknya menyarankan untuk pulang saja jangan terlalu memaksakan diri. Dan ketika mendapatkan nasehat juga perintah tersebut, Damarwulan pergi berpamitan dengan ibunya dan kakenya, ia menuruti nasehat kakeknya tersebut.