Mohon tunggu...
ajril sabillah
ajril sabillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penulis Cerpen dan Novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Antara Dua Iman [Bagian 1]

4 Agustus 2024   15:44 Diperbarui: 4 Agustus 2024   15:53 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu, Galeri Nusantara lagi heboh banget sama pameran seni kontemporer. Ayesha, kurator seni berumur 28 tahun, melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Dia pakai dress biru tua yang matching sama hijabnya, tampak elegan dan cool.

Ayesha berhenti di depan sebuah lukisan abstrak besar yang penuh warna. Matanya menyapu setiap detail, benar-benar menikmati keindahannya. Tiba-tiba, dia sadar ada seseorang di sebelahnya, seorang cowok yang juga kelihatan terpesona dengan lukisan yang sama.

"Indah, ya?" suara cowok itu bikin Ayesha menoleh. Dia lihat seorang pria dengan senyum hangat, rambut sedikit berantakan, dan tatapan mata yang penuh semangat.

"Oh, ya. Ini salah satu favorit aku," jawab Ayesha sambil tersenyum.

"Gue Bima, arsitek," cowok itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

"Ayesha, kurator seni," jawabnya, menyambut uluran tangan Bima. "Senang kenalan sama lo."

"Apa yang bikin lukisan ini begitu spesial buat lo?" tanya Bima, masih memandangi lukisan itu.

Ayesha mulai menjelaskan dengan antusias, "Lukisan ini nangkep banget esensi perubahan dan pergerakan dalam hidup. Setiap sapuan kuasnya kayak perjalanan emosional yang dalam banget."

Bima mengangguk, kelihatan terkesan. "Menarik. Gue selalu mikir kalau seni itu cara terbaik buat ngungkapin perasaan yang susah dijelaskan dengan kata-kata."

Percakapan mereka terus berlanjut, dari satu karya seni ke karya seni lainnya. Ayesha merasa nyaman banget ngobrol sama Bima. Mereka share pandangan tentang seni, hidup, dan mimpi-mimpi mereka.

Malam semakin larut, dan mereka memutuskan untuk minum kopi di kafe kecil dekat galeri.

"Jadi, Ayesha, apa yang bikin lo terjun ke dunia seni?" tanya Bima sambil menyeruput kopinya.

"Seni selalu jadi bagian dari hidup gue. Dari kecil, gue selalu tertarik sama warna dan bentuk. Gue percaya seni punya kekuatan buat ngubah cara kita melihat dunia," jawab Ayesha dengan mata berbinar.

"Gue setuju," kata Bima. "Sebagai arsitek, gue juga merasa kalau desain dan struktur bisa ngubah cara kita berinteraksi sama ruang dan lingkungan."

Obrolan mereka makin dalam, menyentuh topik-topik personal. Ayesha merasa ada koneksi khusus dengan Bima, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita masa kecil, dan mimpi-mimpi masa depan.

"Wah, nggak kerasa udah malam banget," kata Ayesha sambil melihat jam tangannya.

"Benar, ya. Seru banget ngobrol sama lo, Ayesha," kata Bima. "Gimana kalau kita tukeran nomor? Siapa tahu kita bisa ngobrol lagi."

"Sure, why not," jawab Ayesha sambil menyerahkan ponselnya ke Bima.

Setelah tukeran nomor, mereka berpisah dengan perasaan yang campur aduk. Ayesha merasa senang tapi juga sedikit khawatir. Dia sadar, perbedaan agama bisa jadi masalah besar. Tapi malam itu, dia memilih untuk menikmati momen dan melihat ke mana takdir membawa mereka.

Hari-hari berikutnya, Ayesha dan Bima sering chatting. Mereka berbagi cerita tentang keseharian, proyek yang sedang dikerjakan, dan pandangan mereka tentang banyak hal. Semakin sering mereka berkomunikasi, semakin kuat koneksi di antara mereka.

Suatu hari, Bima mengajak Ayesha untuk makan siang bersama di sebuah kafe yang cozy di daerah Kemang. Kafe itu terkenal dengan suasana nyaman dan makanannya yang enak.

"Tempat ini keren banget, Bim. Gue suka vibes-nya," kata Ayesha sambil melihat-lihat interior kafe.

"Gue tahu lo bakal suka. Tempat ini punya aura yang tenang dan inspiratif," jawab Bima sambil tersenyum.

Mereka memesan makanan dan melanjutkan obrolan yang selalu mengalir dengan mudah. Kali ini, topiknya lebih mendalam. Bima bertanya tentang pandangan Ayesha terhadap kehidupan dan keyakinan.

"Ayesha, gue penasaran. Gimana sih lo melihat hidup ini dari perspektif keyakinan lo?" tanya Bima dengan serius.

Ayesha berpikir sejenak sebelum menjawab, "Buat gue, hidup itu tentang menjalani setiap momen dengan penuh rasa syukur dan berusaha jadi pribadi yang lebih baik. Keyakinan gue ngajarin gue untuk selalu berbuat baik dan menghargai perbedaan."

"Menarik. Gue juga percaya kalau hidup ini tentang belajar dan berkembang. Agama gue ngajarin untuk selalu mencintai sesama dan mencari kedamaian," kata Bima.

Percakapan itu membuat mereka semakin dekat. Mereka merasa bahwa meskipun berbeda keyakinan, ada banyak nilai-nilai universal yang mereka bagi. Mereka merasa bahwa perbedaan itu justru membuat hubungan mereka semakin kaya dan penuh warna.

Minggu demi minggu berlalu, hubungan Ayesha dan Bima semakin erat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik itu mengunjungi pameran seni, hiking di akhir pekan, atau sekadar nongkrong di kafe favorit mereka.

Namun, mereka sadar bahwa hubungan mereka tidak akan selalu mudah. Suatu malam, setelah makan malam bersama, Ayesha memulai percakapan yang lebih serius.

"Bima, kita harus jujur sama diri sendiri. Hubungan kita nggak akan mudah karena perbedaan keyakinan. Keluarga gue pasti punya pandangan sendiri, dan gue yakin keluarga lo juga," kata Ayesha dengan nada serius.

Bima mengangguk. "Gue tahu, Ayesha. Gue juga mikirin itu. Tapi gue percaya kalau kita bisa menghadapi ini bersama. Kita perlu jujur sama keluarga kita dan berusaha mencari jalan tengah."

Ayesha tersenyum lemah. "Iya, gue setuju. Gue cuma berharap kita bisa tetap bersama, apa pun yang terjadi."

"Percaya sama gue, Ayesha. Kita bisa melalui ini," kata Bima sambil menggenggam tangan Ayesha.

Malam itu, mereka berdua sadar bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah. Tapi mereka juga tahu bahwa cinta mereka layak diperjuangkan. Dengan tekad yang kuat, Ayesha dan Bima memutuskan untuk menghadapi segala tantangan bersama, percaya bahwa cinta mereka bisa mengatasi perbedaan di antara dua iman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun