Malam semakin larut, dan mereka memutuskan untuk minum kopi di kafe kecil dekat galeri.
"Jadi, Ayesha, apa yang bikin lo terjun ke dunia seni?" tanya Bima sambil menyeruput kopinya.
"Seni selalu jadi bagian dari hidup gue. Dari kecil, gue selalu tertarik sama warna dan bentuk. Gue percaya seni punya kekuatan buat ngubah cara kita melihat dunia," jawab Ayesha dengan mata berbinar.
"Gue setuju," kata Bima. "Sebagai arsitek, gue juga merasa kalau desain dan struktur bisa ngubah cara kita berinteraksi sama ruang dan lingkungan."
Obrolan mereka makin dalam, menyentuh topik-topik personal. Ayesha merasa ada koneksi khusus dengan Bima, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita masa kecil, dan mimpi-mimpi masa depan.
"Wah, nggak kerasa udah malam banget," kata Ayesha sambil melihat jam tangannya.
"Benar, ya. Seru banget ngobrol sama lo, Ayesha," kata Bima. "Gimana kalau kita tukeran nomor? Siapa tahu kita bisa ngobrol lagi."
"Sure, why not," jawab Ayesha sambil menyerahkan ponselnya ke Bima.
Setelah tukeran nomor, mereka berpisah dengan perasaan yang campur aduk. Ayesha merasa senang tapi juga sedikit khawatir. Dia sadar, perbedaan agama bisa jadi masalah besar. Tapi malam itu, dia memilih untuk menikmati momen dan melihat ke mana takdir membawa mereka.
Hari-hari berikutnya, Ayesha dan Bima sering chatting. Mereka berbagi cerita tentang keseharian, proyek yang sedang dikerjakan, dan pandangan mereka tentang banyak hal. Semakin sering mereka berkomunikasi, semakin kuat koneksi di antara mereka.
Suatu hari, Bima mengajak Ayesha untuk makan siang bersama di sebuah kafe yang cozy di daerah Kemang. Kafe itu terkenal dengan suasana nyaman dan makanannya yang enak.