Judul: Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan
Penulis: Ihsan Abdul Quddus
Penerjemah: Syahid Widi Nugroho
Penerbit: Alvabet
Tebal: 220 halaman
Novel karangan penulis Mesir yang berjudul Wa Nasitu Anni Imra'ah karya Ihsan Abdul Quddus ini menceritakan tentang seorang perempuan yang mengejar karier dengan ambisinya yang tinggi untuk mendapatkan gelar terhormat pada saat itu. Perjalanannya dimulai sejak ia dibangku sekolah, masa revolusi Mesir hingga pasca revolusi yang membawanya ke kursi Dewan.
Sebagai perempuan tentunya tidak mudah untuk mengejar karier dan mimpi-mimpinya di saat laki-laki mendominasi semua aspek kehidupan. Selalu ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di antara kentalnya budaya patriarki pada saat itu. Novel ini menyorot bagaimana patriarkisme berjalan beriringan mengekang kebebasan perempuan, subordinasi yang dipatenkan laki-laki terhadap pada perempuan, stereotipe yang selalu menekankan perempuan adalah individu kelas dua dengan memenuhi kebutuhan domestik adalah kewajiban perempuan/istri, serta tuntutan kesetaraan gender yang membuat laki-laki memilih mempertahankan ego maskulinitas daripada harus memiliki hak yang sama dengan manusia "kelas dua".
 Tokoh Suad yang menjadi tokoh dominan dalam cerita ini menyorot kehidupan wanita karier yang berjuang melawan hukum sosial pada masa itu. Ia menjadi sosok yang berbeda dengan wanita pada umumnya, ia memiliki sifat ambisius terhadap mimpi-mimpinya, keras kepala trehadap keputusan-keputusan yang ia buat, ia juga memilih terjun dalam dunia politik sejak menduduki bangku SMA.
Perjalanannya membuahkan hasil, membawanya meraih kursi jabatan yang tinggi dan kehormatan yang mulia di antara deretan laki-laki yang berjajar di barisannya. Ia diakui sebagai wanita yang tangguh, cerdas, berwibawa dan segala keistimewaan yang disandangnya. Namun perjalanan itu tidak semulus apa yang terjadi di dalam kehidupan pribadinya.
Suad mengalami dua kali kegagalan dalam hubungan pernikahannya. Kegagalannya bukan karena ia tidak mampu mengurus rumah tangga dengan baik, melainkan perbedaan pandangan yang membuatnya tidak bisa mempertahankan hubungannya dengan sang suami. Bahkan laki-laki yang menurutnya bisa memahami bagaimana kesibukannya dan saling menyibukkan diri dengan profesi sehingga pernikahan hanyalah tempat mereka bertemu di waktu luang pun tidak bisa bertahan karena perbedaan pandangan yang menyelimuti keduanya dalam berbagai hal yang menyangkut perempuan dan bagaimana kedudukan saling memengaruhi citra gender.
Pernikahan pertamanya gagal karena sang suami, Abdul Hamid menginginkan perempuan yang selalu ada untuknya saat ia pualng ke rumah, yang mana Suad tidak bisa mewujudkan itu karena ia pun sibuk dengan pekerjaannya. Ia merupakan sosok yang memiliki profesionalitas tinggi, mereka saling menghormati, tetapi profesionalitas tidak membawa mereka kepada cinta yang utuh. Mereka selalu berbeda pandangan, Abdul Hamid yang cenderung menikmati hidup yang monoton, sedangkan Suad terus mengasah kemampuannya dan terus mengangkat namanya setinggi mungkin.
Pernikahan kedua pun gagal, cinta yang tumbuh perlahan antara dokter Kamal dan Suad tidak terburu-buru, tetapi sifat patriarkisnya yang selalu menuntut bahwa laki-laki harus menjadi yang pertama dalam segala hal membuat Suad terus memperdebatkan bagaimana kesetaraan gender yang seharusnya menjadi keseimbangan. Dokter Kamal menjunjung tinggi maskulinitas laki-laki terhadap dominasi perempuan. Setinggi apapun jabatan perempuan, ia selalu menganggap Suad adalah istrinya, dan perempuan, dan makhluk subordinasi. Suad diceraikan sepihak karena dokter Kamal tidak menerima pandangan Suad, kemudian ia menghibur dirinya dengan berbincang dengan asistennya yang selalu membuatnya lari dari kesedihan-kesedihan yang dialami.
Melalui novel ini, saya melihat fenomena bagaimana permainan politik dapat menghancurkan seseorang dalam sekejap jika tidak sejalan dengan atasan. Bagaimana pengaruh jejak karir akan bergantung pada urusan-urusan yang menjauhi pandangan yang bersebrangan dengan pihak atas. Intinya satu, kamu akan selamat selama kamu tidak menentang.
Kondisi politik yang seperti ini sejatinya memang struktur tetap yang diterapkan di mana-mana. Sebab permainan ini hanya berlaku bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan. Pendukung hanyalah sebatas sorakan-sorakan yang hanya dibutuhkan ketika mereka butuh. Selebihnya hanya kerikil-kerikil yang berisik dan tak perlu digubris.
Yang sangat disayangkan dari tokoh Suad menurut saya adalah bagaimana ia membiarkan dirinya jatuh ke dalam politik yang bukan menjadikan dirinya sepenuhnya. Ia terlalu takut citranya akan buruk di mata masyarakat, ia mempertahankan ego yang memenuhi kepala, seolah ia lupa bahwa ia pernah memperjuangkan sistem yang kacau di Mesir. Ia diam tak melakukan apapun untuk masyarakat yang sedang terancam demi posisinya saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H