Mohon tunggu...
Abdul Rohman
Abdul Rohman Mohon Tunggu... Guru - for reading, for undersanding

Aku adalah siang dan malam

Selanjutnya

Tutup

Politik

Filosofi ''Gundul Pacul'' untuk Pemimpin dan Wakil Rakyat 'yang Lupa'

24 April 2017   19:37 Diperbarui: 25 April 2017   05:00 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gundul gundul pacul cul... gemlelengan

Nyunggi nyunggi wakul kul...gemlelengan

Wakul glimpang sega ne dadhi sak latar

Wakul glimpang sega ne dadhi sak latar

Lagu masa kanak kanak yang ternyata memiliki makna da arti filosofis yang amat sangat tinggi. Syair ini adalah simbolisasi dari seorang tokoh terkenal dari tanah Jawa yaitu Sunan Kalijaga atau Raden Said putra Adipati Tuban. Secara umum memang bait-bait ini serasa sederhana dan tak memiliki filosofi apa-apa. Akan tetapi , secara makna mendalam ini merupakan tamparan sekaligus rem dan eling-eling yang dibuat oleh Sunan Kalijaga untuk pemimpin masa lalu maupun masa kini.

Gundul itu botak .  Pacul adalah cangkul. Tak ada kaitan literer antara gungul dan pacul dalam idiom jawa gundul pacul. Itu peng-enak-an bunyi saja. Tak perlu ditafsirkan bahwa kepala kita botak sesudah dicangkuli oleh tetangga. Gundul pacul mungkin menggambarkan karakteristik anak, pemuda, atau manusia tertentu –melalui mata pandangan dan rasa budaya Jawa--. ‘’Gundul gundul pacul cul.. gemlelengan.....’’. Nakal tapi sok benar. Tak mau belajar tapi sok pandai. Kelakuannya seenaknya tapi sok suci. Tak punya apa-apa tapi gemlelengan, berlagak, petentang-petenteng.

Tak becus menjadi pemerintah tapi tak punya rasa malu. Tak mampu berbuat apa-apa, bahkan menyusun kalimat sajapun tak lancar, tapi wajahnya tegak dan malah merasa bangga. Sudah jelas kerjanya hanya berkonsentrasi menghimpun sogokan-sogokan uang, tapi tetap meyakini bahwa dirinya adalah wakil rakyat. Sudah jelas bahwa pejabat itu buruhnya rakyat, malah berperilaku seakan-akan ia boss-nya rakyat. Sudah dilalapnya gaji dari uang rakyat , ditambah uang curian ribuan kali gajinya, tapi tetap saja tidak tahu bahwa yang menggaji adalah boss, yang digaji adalah buruh. 

Sudah jelas rakyat mau berorban membiayai triliunan ruoiah untuk institusi yang kerjanya adalah menghimpun kekayaan pribadi dan memeah belah rakyat, tetap saja mereka tidak pernah mengakui bahwa hidupnya salah niat dan berpikiran sesat. Yang intelektual, tak mampu bekerja. Yang sanggup bekerja tidak mau belajar. Yang berhasil menjadi manusia baik dan pandai, pengecut mentalnya. Reformasi berlangsung busuk sebusuk-busuknya sampai tak terhitung jauhnya melampaui kebusukan-kebusukan yang pernah dicapai oleh bangsa ini, tapi tak seorangpun siap ambil koper menanggung malu moral, malu mental, malu intelektual, apalagi malu spiritual. Dasar gemlelengan. Cengengesan.

‘’Nyunggi nyunggi wakul kul... gemlelengan...’’. Nyunggi adalah membawa sesuatu dengan meletakkannya di atas kepala. Yang di-sunggi adalah wakul. Bakul tempat nasi. Nasi adalah amant kesejahteraan rakyat, kepercayaan sangat mahal untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur. Bakul adalah otoritas, legalitas dan legitimasi kepemerintahan, yang ditempuh dan dipersembahkan oleh rakyat dengan biaya yang sangat mahal ; uang raksasa jumlahnya, perpecahan massa, nyawa-nyawa melayang, kebodohan berkepanjangan dan ketidaksungguhan hidup bernegara dan berbangsa yang bertele-tele.

Bakul tempat nasi itu tak sekedar ditenteng dengan tangan, apalagi ditaruh dalam ransel di belakang pungung. Amanat itu sedemikian tinggi dan sakral maknanya sehingga diletakkan di atas kepala. Ditaruh di lapisan harkat yang lebih tinggi dari kepala individu kita sendiri. Diposisikan pada derajat yang lebih mulia dibanding kepentingan diri sendiri, golongan atau apapun saja dalam skala kehidupan berbangsa dan bernegara. Nyunggi wakul itu pekerjaan yang paling mulia. Dan dalam pekerjaan nyunggi wakul itu tetap saja gemlelengan. Tetap saja berlagak-lagak. Tidak sungguh-sungguh. Akting sana-sini. Palsu luar palsu dalam. Politik dipermainkan. Kesakrakalan kata ‘’rakyat’’ dimanipulasikan. Moral dan nurani diremehkan. Agama di-akali. Bahkan Tuhan ditipu.

Akhirnya ---‘’Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar...’’. Bakul amanat kesejahteraan rakyat itu terjatuh dari kepala, tercampak di taah, nasinya tumpah berceceran di halaman negeri yang indah ini. Seharusnya padi ditumbuh-kembangkan, nasi didistribusikan dalam keadilan. Tapi ini tumpah berceceran.

Jadi,  pemimpin atau wakil rakyat dalam skala rendah sampai nasional salah satunya harus memiliki amanat. Persis seperti apa yang sering digembar-gemborkan memalui corong suara saat kampanye. Jadilah seorang pemimpin atau wakil rakyat yang amanat bukan nyari amanat. Dan bagi siapapun pemimpin yang terpilih pada pilkada serentak kemarin harap memenuhi janji-janjinya disaat kampanye. Tidak hanya pada level pilkada Jakarta saja, tetapi berlaku pada tiap individu atau pasangan yang memenangkan kontes pilkada.

Semoga bermanfaat dan dapat menjadi eling-eling bagi kita semua. Wassalam...

sumber ; Emha Ainun Najib dalam bukunya ''Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki'' dengan sedikit perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun