[caption id="" align="alignleft" width="301" caption="Marwan Jafar | google.com"][/caption]Pernyataan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, saat kunjungan kerja di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (5/3/2015), perihal Dana Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPP) eks Program PNPM-MPd yang akan diambil alih oleh negara, sebagaimana dilangsir oleh beberapa surat kabar nasional sungguh sangat tendensius dan tidak berdasar.
Bila merujuk pada ucapan sang menteri tersebut seolah-olah Dana SPP itu selama ini telah berada di tangan para Perampok dan dikelola secara ilegal, padahal dana hibah tersebut selama ini dikelola berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas oleh Lembaga bentukan Pemerintah sesuai Petunjuk Teknis Operasional (PTO) Program PNPM-MPd sebagai payung hukum yang lahir secara sah dari rahim Penerintah juga.
Statemen berikutnya dari sang Menteri yang merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu juga semakin menegaskan kepada publik bahwa dirinya sama sekali tidak paham tentang apa yang sedang dia ucapkan, dengan mengatakan Dana SPP yang berjumlah ± Rp. 11 Trilyun tersebut tidak boleh dikuasai oleh individu-individu atau kelompok dan akan diambil alih oleh negara untuk kemudian dijadikan modal BUMDes yang akan dibentuk di masing-masing desa. Pertanyaannya adalah, individu atau kelompok yang mana yang dia maksud?
Jika yang dimaksud Marwan sebagai individu atau kelompok itu adalah Kelembagaan BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa) beserta seluruh perangkat pendukungnya yang berada di tiap-tiap kecamatan, lalu BUMDes itu disebut apa Pak Menteri?
Keberhasilan Program Pemberdayaan di Indonesia
Bila begitu cara pemerintah bersikap, yaitu bila sebuah rezim pemerintahan berakhir, lalu kemudian semua program pemerintah sebelumnya juga harus dimusnahkan tanpa jejak, maka tunggu saja kehancuran negeri ini.
Seharusnya pemerintah saat ini bisa mengesampingkan gengsi dan lebih “gentle” dalam bersikap. Apa salahnya mengapresiasi keberhasilan dari pendahulunya jika memang itu sebuah realita, toh pemerintah saat ini tidak akan kehilangan muka dengannya. Masih banyak program-program lain yang bisa diciptakan tanpa harus melakukan pembunuhan karakter terhadap lawan politik seperti itu, dan seharusnya pemerintah saat ini bisa lebih kreatif dalam menelurkan kebijakan-kebijakan lain yang juga pro-rakyat untuk meraih simpati publik.
Sekarang silahkan berhitung berapa banyak sudah program serupa SPP PNPM yang pernah diterapkan di indonesia ini, lalu berapa banyak yang berhasil dan bertahan hingga saat ini? Trilyunan kredit dengan bunga kecil atau non-bunga dikucurkan, dan tidak sedikit pula Dana Hibah untuk memodali golongan ekonomi lemah yang telah disalurkan Pemerintah, lalu dimana sisanya?
Secara Nasional pernah diluncurkan Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), salah satu program pemerintah yang diluncurkan pada tahun 1993 semasa Presiden Soeharto, yaitu menghibahkan dana pemerintah kepada kelompok masyarakat miskin untuk dikelola langsung oleh masyarakat secara musyawarah dengan menggunakan konsep dana bergulir, namun tidak bertahan lama dan dananya raib entah kemana.
Khusus di Aceh sendiri, pada masa Irwandi Yusuf sebagai Gubernur pernah pula diluncurkan Kredit Peumakmu Nanggroe (kredit tanpa bunga) untuk memodali Usaha Mikro masyarakat dan disini pun nasibnya tidak jauh berbeda dengan Program IDT, sehingga kemudian Irwandi merubahnya menjadi Program Bantuan Keuangan Peumakmu Gampong (BKPG) yang menganut pola PNPM dan kali ini lumayan berhasil.
Walau tidak seberhasil program induknya (SPP PNPM) namun SPP BKPG masih eksis sampai sekarang. Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan Program SPP BKPG umumnya karena keterbatasan SDM di tiap-tiap desa di Aceh yang pada umumnya kualitasnya masih sangat rendah, sehingga manajemen pengelolaan dana tersebut rentan terjadi penyimpangan akibat lemahnya pengawasan, karena dikelola di tingkat desa yang tingkat kemajuannya tidak sama.
Hal tersebut jauh berbeda dengan SPP PNPM yang dikelola oleh UPK (Unit Pengelola Kegiatan) sebagai representasi dari Kelembagaan BKAD dan berkedudukan di Tingkat Kecamatan yang tidak lagi mengalami krisis SDM seperti yang dialami oleh desa.
UPK sendiri pada umumnya telah diisi oleh para pengurus profesional dan terlatih, mereka telah dibekali pengetahuan terhadap akuntansi dan Standar Operasional Lembaga Keuangan Mikro. Pengurus UPK terdiri dari Pengurus Harian, Manager Pengelola Dana Bergulir dan kasir serta didukung oleh lembaga-lembaga lain dibawah supervisi BKAD, seperi BP-UPK (Badan Pengawas UPK), Tim Verifikasi Perguliran, Tim Pendanaan dan Tim Penyehatan Pinjaman.
Keberhasilan UPK dan lembaga pendukungnya dalam mengelola dana SPP tersebut bukan isapan jempol semata, terbukti dari tingkat pengembalian yang sangat tinggi dan bahkan diatas rata-rata perbankan nasional. Rasio Non Performing Loan/NPL (Kredit Macet) perbankan di 2014 saja mencapai 2,3%, sedangkan NPL di UPK PNPM rata-rata berada dibawah 2%, meski secara aturan dibenarkan sampai 3%, padahal UPK dalam menyalurkan kredit untuk masyarakat tanpa memegang agunan apapun seperti yang dipraktekkan oleh Bank.
Soal adanya penyelewangan dana seperti yang disebutkan oleh Menteri Desa itu kita tidak menampik, namun angkanya tidak sebesar yang digembar-gembor dan itu dilakukan oleh oknum, yang tentunya tidak bisa digeneralisir secara keseluruhan. Bila ada kebocoran dana tentunya hanya memerlukan perbaikan sistem pengawasan, bukannya langsung menghancurkan.
JASMERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah)
Terkait wacana Pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) oleh Kementrian Desa memang patut diapresiasi, namun bila dengan membentuk BUMDes tersebut kemudian mengorbankan Kelembagaan BKAD dan UPK yang telah dipupuk dari nol, sungguh hal tersebut bukanlah keputusan yang bijak.
Bila Kemedes ingin membentuk BUMDes, maka ada baiknya melakukan study banding terlebih dahulu ke Aceh yang telah lebih dulu menerapkan program itu, untuk menilai tingkat keberhasilannya. Jangan dalam melakukan riset selalu dilaksanakan di pulau jawa yang beberapa tingkat jauh lebih maju, kemudian hasilnya dipaksa untuk dilaksanakan di seluruh indonesia yang secara sosiologis dan geografis sangat jauh berbeda.
Sebaiknya Sdr. Marwan Jafar pelajari dulu cikal bakal terbentuknya Kelembagaan BKAD dan UPK serta bagaimana proses terkumpulnya dana SPP PNPM tersebut yang saat ini telah mencapai angka Rp. 11 trilyun lebih, apakah angka itu terbentuk begitu saja hanya dengan mantra “sim salabim abra kadabra”?
Sekedar untuk diketahui, bahwa dana SPP yang kini berjumlah 11 T itu bukan seluruhnya bersumber dari modal Pemerintah, namun hampir 40% nya merupakan SHU (Sisa Hasil Usaha) UPK setiap tahun yang dijadikan sebagai Tambahan Modal.
Selama ini dalam setiap Pelatihan Peningkatan Kapasitas yang dilakukan oleh Konsultan Pendamping, BKAD dan UPK selalu diajarkan dan didorong untuk mengedepankan efisiensi anggaran dalam menjalankan operasionalnya, mengingat dana SPP itu merupakan Aset Kecamatan dan sepenuhnya milik masyarakat yang diamanahkan kepada kelembagaan BKAD/UPK untuk mengelolanya dan sangat penting untuk dijaga keberlanjutannya, bahkan baru-baru ini telah Dirjen PMD Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan PTO X tentang Pelestarian Dana Bergulir, dan demi alasan itu pula lembaga-lembaga pendukung BKAD dan UPK ini rela bekerja tanpa pamrih, bahkan tanpa gaji sekalipun.
Pernahkah Pak Menteri bayangkan betapa terpukulnya mereka-mereka yang selama ini rela menghabiskan waktu, fikiran dan tenaganya demi keberlangsungan program pemberdayaan tersebut?
Jika ini perlakuan dan penghargaan yang diberikan oleh pemerintahan sekarang kepada para volunteer tersebut, maka jangan harap kedepan anda bisa membentuk kembali mindset dari kader-kader yang siap bekerja meski tidak dibayar seperti itu.
PENUTUP: Kemana Gerakan Revolusi Mental Itu Kini?
Dalam urusan pemberdayaan masyarakat sudah seharusnya pemerintah belajar berfikir logis serta berhitung terhadap untung rugi bagi rakyat dari setiap kebijakan yang akan dibuat, jangan hanya main hitung-hitungan untung rugi secara politis seperti yang cenderung dipraktekkan selama ini.
Seharusnya Jokowi belajar dari Pendahulunya, SBY. SBY tidak alergi dengan program pendahulunya (Megawati) yang bernama PPK (Program Pengembangan Kecamatan), meski mereka pernah berselisih paham secara politik. SBY mengakui keberhasilan Program PPK dan oleh karenanya kemudian dia melanjutkan pola tersebut melalui Program PNPM dengan bentuk yang telah disempurnakan dan sasaran yang lebih spesifik, yaitu Rumah Tangga Miskin.
Lalu kenapa rezim Jokowi yang notabene merupakan anak emas Megawati malah ingin menghancurkan program yang telah bertahan selama tiga periode presiden dan telah pula diakui oleh Bank Dunia tersebut? Loh, kenapa malah nyinggung-nyinggung Jokowi? Ya iya lah, Kan Marwan Jafar itu anak buahnya Jokowi? Harusnya Jokowi bisa mengatur anak buahnya donk.
Penulis melihat bahwa pemerintahan Jokowi saat ini jauh lebih buruk dari rezim yang pernah berkuasa di republik ini, yang tidak mau terlihat kalah cerdik dalam urusan penciptaan program pro-rakyat dari lawan politik dan takut mengakui keberhasilan para pendahulunya, meski itu jelas terlihat baik bagi rakyat dan telah berhasil dalam prakteknya, bukan cuma sukses sebatas teori semata.
Jika masih seperti ini gaya pemerintahan Jokowi, patut dipertanyakan kembali komitmennya terhadap Gerakan Revolusi Mental yang pernah diusung semasa kampanye dahulu, atau jangan-jangan malah mental rezim saat ini yang harus lebih dulu direhab.
Seandainya kali ini Pemerintahan Jokowi jadi merealisasi wacana penarikan dana SPP eks PNPM tersebut ke kas negara, maka untuk kedua kalinya Jokowi telah berhasil menambah angka pengangguran di indonesia setelah sebelumnya telah sukses merumahkan ribuan Konsultan PNPM. Selamat ya Pak Jokowi, anda memang Presiden idaman rakyat. Salam pak dari kami, #SalamGigitJari.
Bila beberapa hari yang lalu publik indonesia, khususnya masyarakat Aceh mengecam ulah PM Australia, Tony Abbott yang mengungkit-ungkit kembali bantuan untuk Tsunami Aceh, maka kali ini kesalahan serupa telah diulang oleh Rezim Jokowi sendiri. Betapa tidak, kan Modal SPP yang pernah diberikan ke UPK oleh Pemerintah itu bebtuknya juga Hibah, sama seperti yang Australia berikan untuk Aceh dulu, yang sangat tidak etis untuk diminta kembali.
Dalam kecamannya terhadap Australia tempo hari, masyarakat aceh menyumpahi Tony Abbott agar “Puree Singkee” (mengidap penyakit kutukan yang menjangkiti mereka yang suka mengungkit-ungkit suatu pemberian kepada orang lain, bentuknya seperti kurap yang tumbuh di siku tangan).
Semoga Jokowi dan anak buahnya, yakni Marwan Jafar beserta para pembisiknya tidak Puree Singkee juga akibat disumpahi rakyat seantero negeri ini. Amit-amit kalau punya Presiden kurapan…ihhhh!!!
Reposted from: https://atjehcare.wordpress.com/2015/03/07/dana-simpan-pinjam-ex-pnpm-milik-siapa/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H