"Untuk mami, nasinya seperti biasa ya sayang." Kini ia sedang membersihkan minyak dari wajan.
"Nasi Merah?" Tanyaku setelah membuka penanak nasi elektrik.
"Sekali-kali. Bukannya itu kesukaaanmu, ya sayang??" Tanyanya.
"Jangan panggil sayang gitulah. Lagipula aku disini sekedar membantu. Tidak enak." Kataku sambil sedikit mengerlingkan mata ke sebuah bingkai foto berisi seorang pria mengenakan jas dan dasi yang entah kenapa begitu menarik dilihat pagi ini.
"Tidak apa-apa. Bantuanmu disini juga berguna kok. Lagipula Mami sangat-sangat terbantu dengan keberadaanmu, say..." Tampak ia ingin melanjutkan kata-katanya, sekaligus ia mengerti gerakan mataku menatap foto pria yang ada di dalam bingkai tersebut.
"Tidak apa-apa, nak. Dia cuma pergi sebentar. Lagipula bukan berarti kejadian tersebut adalah salahmu, bukan?" Tanyanya.
Kini ia menggerakan tangannya ke arah tivi yang berada di antara ruang keluarga dengan ruang makan. Dalam sekejap tivi tersebut menyala dengan laporan berita dari wartawati di sebuah saluran tivi.
"Sebuah kejadian tidak terduga terjadi pagi ini di sebuah daerah di kawasan..."
Aku masih sibuk menghitung jumlah tempe, tahu, serta aneka lauk yang tersedia di meja makan.
"Ya ampun, astaga."
"Kenapa mams?"
"Coba perhatikan." Katanya tidak lepas dari berita di tivi.
Aku memperhatikan secara seksama bahwa gambar sebuah gedung yang rusak parah beserta beberapa titik api yang muncul di beberapa lantai termuat di layar tivi. Tampak beberapa orang berhamburan tak jelas. Ada yang dalam keadaan terluka ringan maupun berat. Isi tulisan headline tak luput dari perhatianku. Gedung petinah di kota Bitulang meledak. 90 Orang dikabarkan terluka.