Awali Sekolah dengan Menulis Masa Depan
Oleh Aji Wicaksono
Pendidik di SD Al Islam 2 Jamsaren Surakarta
Â
Anak-anak seakan menyerbu memasuki kelas dan berebut bangku di hari pertama masuk sekolah. Wajah bahagia anak-anak menandakan siap berbagi kisah dan menekuni ilmu di sekolah. Setiap sekolah mengawali tahun ajaran baru dengan kegiatan pengenalan lingkungan sekolah (PLS) yang terfokus pada kelas satu atau siswa baru. Sedangkan siswa kelas dua dan seterusnya diisi perkenalan guru, penyusunan struktur organisasi kelas, dan berbagai kegiatan yang bersifat edukatif.
Selasa, 18 Juli 2017 menjadi hari bersejarah di SD Al Islam 2 Jamsaren. Mengawali sekolah, anak-anak kelas empat, lima, dan enam di SD Al Islam 2 Jamsaren kami ajak untuk menulis sebuah cerita yang berkisah tentang cita-cita. Kami mengundang sembilan  penulis dari keluarga besar Bilik Literasi untuk mengajari anak-anak menulis cerita.
Sebanyak empat ratusan cerita tentang cita-cita telah terdokumentasikan. Kegiatan tersebut kami lakukan dengan harapan anak-anak termotivasi belajarnya untuk mewujudkan cita-cita. Festival Penulis Cilik 2017 yang diadakan oleh buku tulis SIDU menjadi alasan untuk mengadakan kegiatan menulis tersebut. Menulis cita-cita berarti menuliskan keinginan terbesar jika mereka besar nanti.
Menyoal cita-cita, rasanya kita perlu mengingat kembali tradisi kurung ayam. Balita dikurung dalam sebuah kurungan ayam yang ditutupi kain. Berbagai macam benda yang mewakili profesi seperti gitar (musisi), spidol  (pengajar/guru), sarung tinju (atlit), pesawat-pesawatan (pilot) dan lain-lain diletakkan di sekeliling kurungan tersebut. Orang tua harus memperhatikan benda yang pertama kali diambl oleh balita tersebut. Jika si balita mengambil sepidol maka itu bertanda sang bayi kelak akan menjadi seorang guru. Tradisi tersebut sebenarnya memberi petunjuk kepada orang tua untuk berperan aktif membantu dan mengembangkan potensi yang dimiliki anaknya.
Konsep berpikir anak saat ini tentang cita-cita ternyata telah mengalami perubahan. Perubahan pola pikir ini dapat terasai dari beberapa lagu tentang cita-cita yang akrab ditelinga kita. Tahun 90-an kita mengakrabi lagu Basuki (alm) dan Jhosua tentang cita-cita. Lagu Jawa berjudul "Kuncung" yang dinyanyikan Basuki (alm) Â menyiratkan bahwa dokter masih menjadi profesi impian kala itu /Aku dikudang mbesok gedhe dadi dokter/ .Â
Selanjutnya, lagu anak yang dinyanyikan Jhosua berjudul "Cita-citaku" seolah menuntun anak-anak saat itu untuk bercita-cita lebih tinggi, yaitu profesor. Anak-anak di desa saat itu yang mendengarkan lagu Jhosua tersebut sebenarnya tidak begitu paham apa itu profesor. Mereka beranggapan bahwa profesor itu pekerjaannya membuat pesawat terbang. Tidak dipungkiri, dengan lagu tersebut Jhosua berhasil mengubah pola pikir anak-anak saat itu yang semula ingin menjadi dokter kemudian berubah cita-cita ingin menjadi profesor.Â
Anak-anak semakin tercerahkan lagi bahwa cita-cita itu bukan sekadar profesi ketika mendengar lagu "Cita-citaku" yang dinyanyikan Tegar, penyanyi cilik yang bekas pengamen itu. Lagu yang dinyanyikan Tegar (tahun 2000-an) semakin menjelaskan bahwa cita-cita tidak harus berwujud pekerjaan namun lebih dari itu cita-cita merupakan sebuah tujuan hidup /Cita-citaku menjadi orang kaya/.
Beberapa tulisan anak yang terkumpul dapat ditafsirkan bahwa cita-cita tidak musti berupa profesi. Guru, dokter, petani, menteri, bahkan presiden tidak lagi menjadi profesi impian anak-anak saat ini. Mereka lebih memilih menjadi orang terkenal, pengusaha sukses, pesepak bola, artis, penyanyi, penemu atau pencipta sesuatu, dan pakar teknologi. Seperti cerita Zidane, siswa kelas VI jika besar nanti, ia ingin sekali membuat aplikasi yang membutuhkan identitas untuk mengaktifkannya. Kahla Felicia Az-Zalfa, siswi kelas VI menuliskan, bahwa ia ingin sekali beribadah haji bersama keluarganya. Berbeda dengan Kahla dan Zidane, Habib yang juga siswa kelas VI berkeinginan menjadi atlet bola voli nasional. Habib beranggapan bahwa pemain voli itu sangat keren.
Konsep cita-cita yang seperti itu ternyata tidak hanya terjadi pada peserta didik di SD Al Islam 2 Jamsaren. Kompas, 24 Juli 2017 memuat artikel Sahnan Rangkuti berjudul "Ketika Presiden Bukan Lagi Cita-cita Idaman" yang mengutip pertanyaan Presiden Joko Widodo tentang cita-cita kepada seorang anak bernama Rafi Fadilah (11), siswa Kelas VI SD 36 Pekanbaru, Riau.
 Rafi menyatakan dengan lantang ingin menjadi youtuber. Mendengar jawaban Rafi, presiden pun terperanjat. Sebagian besar peserta acara Hari Anak Nasional 2017 di Gedung Daerah Riau, Pekanbaru, juga tertawa riuh. Lalu, Presiden bertanya, "Mengapa bercita-cita jadi youtuber? Pasti sering buka Youtube, ya? Bapak mau tahu, seperti apa youtuber itu," tanya Presiden, Minggu (23/7). Menurut Rafi, jika aktif menggunakan Youtube dan mengunggah video-video menarik, akan banyak pelanggan alias subscriber-nya. "Jika banyak subscriber-nya, nanti bisa dapat uang banyak," kata Rafi. Dari jawaban Rafi tersebut, Syahnan menyimpulkan bahwa teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini memang telah mengubah dunia, termasuk dunia anak-anak. Kini, mereka punya mimpi berbeda tentang profesi yang dicita-citakan.
Cita-cita penting dan perlu ditulis. Menulis cita-cita berarti mendokumentasikan masa depan  anak-anak dan bangsa ini. Guru mengajak anak untuk menulis kisah tentang cita-cita menjadi kerja literasi dan semogalah menjadi amalan yang berfaedah. Selanjutnya tanggung jawab orang tua siswa bekerja sama dengan sekolah untuk mendokumentasikannya menjadi sebuah buku kumpulan cerita tentang cita-cita yang akan dibaca banyak mata. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H