Mohon tunggu...
Galang Aji Prakoso
Galang Aji Prakoso Mohon Tunggu... Teknisi - impeesa

22 yo | journalist wanna be | aircraft technician | english enthusiast | travel addict

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Wisata Suku Baduy

14 Desember 2020   12:00 Diperbarui: 14 Desember 2020   12:10 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi/ Galang Aji Prakoso

Menelusuri jalur setapak menuju kesederhanaan dan kearifan

5 September 2020 pukul 05.00 WIB aku sudah berpakaian sporty ala anak gunung lengkap dengan backpack  men-starter motor kesayanganku untuk bergegas menuju stasiun Tangerang. 

Meskipun sebenarnya mata masih berat (karena tadi kerja sift siang dan tidur pukul 02.00) aku merasa sangat bersemangat untuk melakukan petualangan yang aku pastikan akan sangat seru kali ini. Ya, petualangan menuju ke sebuah suku pedalaman asli dari Provinsi Banten, yaitu Suku Baduy.

Petualangan ini sebenarnya sudah aku rencanakan dari bulan Agustus yang lalu, namun harus aku batalkan karena urusan pekerjaan. Sejujurnya, bisa dibilang ini adalah petualangan dadakan. Sama sekali tidak ada persiapan fisik, atau perbekalan dari jauh-jauh hari. Booking seat pun baru tadi malam. Oh iya, pada petualangan kali ini, aku ditemani guide super humble dari @wisatasukubaduy, akang Atep dan Anjay.

Setelah sampai di Stasiun Tangerang, aku bergegas menuju loket untuk membeli tiket menuju Stasiun Rangkasbitung, meeting point kami nanti. Saat kereta melaju, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk kembali merajut mimpi (haha, dasar pelor). 

Untuk menuju Rangkas, aku harus berganti kereta di Stasiun Duri dan Stasiun Tanah Abang.  Pukul 09.00 kereta tiba di Stasiun Rangkasbitung.  Saat turun dari kereta, aku bertemu 2 rekan trip , Kini dan Nadya (dua gadis cantik asal Depok). Kami bertiga bergegas keluar stasiun untuk mencari bubur ayam . Setelah perut terisi, kami berjalan menuju tempat parkir dan disana sudah ada beberapa rekan trip lainnya yang menunggu. 

Mereka berenam dan semuanya dari Bandung, makanya mereka dijuluki sebagai Bandung Squad. Kami masih harus menunggu rekan lainnya juga , karena total peserta trip ada 15 orang.  Penantian yang sedikit lama membuat Nadya kepanasan sampai-sampai julid pada rekan trip yang telat (haha dasar wanita) . 

Pukul 10.20 kami berangkat menuju Terminal Ciboleger, gerbang peradaban antara suku Baduy luar dengan dunia modern. Perjalanan menggunakan elf menuju Ciboleger sangat mengasyikan. Kami cepat akrab satu sama lain dan dalam perjalanan dipenuhi canda-tawa dan perjulidan yang masih berlanjut.

Sesampainya di Ciboleger , kami istirahat sebentar untuk re-packing, Ishoma, dan briefing. Disini kami kembali memeriksa barang bawaan kami masing-masing, memastikan tidak ada sabun, pasta gigi, sampo, atau hal-hal per-skincare-an lainnya karena itu dilarang. Pukul 13.00 kami memulai perjalanan . 15 peserta trip, dua orang guide, dan lima orang suku Baduy Dalam . Kata Kang Atep, perjalanan dari gerbang peradaban menuju Kampung Cibeo (tujuan akhir kami di Baduy Dalam) membutuhkan waktu sekitar  4 jam.

Perjalanan dimulai. Track awal kami masih berupa bebatuan cor hingga sejauh 1 km. Setelah itu kami tidak lagi melihat bangunan semen, ataupun hiruk-pikuk modernisasi. Yang ada hanyalah jalur terjal berupa undak-undakan batu yang terkadang diselingi tanah. Awal-awal sih masih terbilang lumayan lah, karena tidak melulu tanjakan (alias banyak bonusnya) . Tapi sejujurnya, track bebatuan yang ditata seperti tangga ini lebih cepat membuat lelah . 

Setelah beberapa saat, kami sampai di kampung pertama dari suku Baduy Luar. Disini, masyarakatnya sudah mengenal beberapa hal berbau modernisasi dan teknologi. Disini juga, para warga menjual pernak-pernik khas Baduy (dibeli yaaa, ini menyangkut perputaran ekonomi  warga lho). Setelah istirahat untuk keperluan dokumentasi dan konsumsi, kami kembali melanjutkan perjalanan. 

Di perkampungan Baduy Luar, teknologi masih diperbolehkan untuk digunakan. Kami masih diperbolehkan untuk mengambil gambar sesuka hati (tetap jaga sopan santun dan jangan lupa meminta ijin jika ingin memotret penduduk). 

Oh iya, track di perkampungan Baduy Luar masih sama seperti tadi, ditambah beberapa jembatan bambu sebagai akses penghubung kampung ke kampung.  

Setelah beberapa perkampungan kami lewati, hujan deras tiba-tiba mengguyur tanah sakral ini. Kami berteduh cukup lama di sebuah perkampungan Baduy Luar, bernama Kampung Gazebo untuk menunggu hujan berhenti atau setidaknya sedikit mereda. 

Setelah sekitar satu jam, hujan mereda dan kami melanjutkan perjalanan menggunakan jas hujan. Jalur yang kami lewati seketika menjadi amat sangat licin. Selama kurang lebih lima jam, kami berjuang dibawah terpaan hujan yang terkadang mereda, terkadang deras (menyebalkan sekali karena awal-awal kami sempat lepas-pasang mantol) . 

Selama kurang lebih lima jam pula, kondisi jalur masih seperti itu, hutan-kampung-hutan-kampung. Hingga setelah entah pukul berapa dan seberapa jauh, kami tiba di perbatasan antara Baduy Luar dengan Baduy Dalam. 

Di perbatasan ini kami disambut oleh jembatan bambu tradisional dan tanjakan amat terjal setelahnya . Karena hujan masih deras , kami tak sempat berhenti untuk mematikan alat-alat elektronik kami di jembatan tersebut, sehingga kami baru bisa melakukannya saat sudah sampai di sebuah pondokan setelah jalur terjal yang bikin susah move-on (asliii, ngga nyangka banget jalurnya samlekom) . 

Jalur track di Baduy Dalam ini, lima kali lebih sulit dibandingkan jalur di Baduy Luar. Jalurnya berupa jalan setapak yang sempit dan alami. Lebih banyak tanjakan yang akan kalian temui. Perkampungan juga sudah tidak terlihat lagi. Kondisi lebih tepatnya adalah hutan-ladang-hutan-ladang. Ladang disini adalah jenis ladang bukaan tadah hujan di perbukitan. Tak heran jika jalanan terjal menjadi hidangan sore kami (makan tuh! Jangan menyepelekan makannya).  Masih dalam suasana hujan deras, jatuh bangun silih berganti kami rasakan. 

Oh iya, setelah dari pondokan tadi, kami terbagi menjadi dua kelompok , depan dan belakang. Aku ikut kelompok depan bersama Bandung Squad dan satu warga Baduy Dalam yang belakangan aku tahu namanya adalah Pak Sarip ( akrab dipanggil ayah) . Ayah memimpin kami  didepan sebagai penuntun ( Ing Ngarsa Sung Tuladha) . 

Selama berjalan dengan ayah, aku memiliki kesempatan untuk bertanya-jawab mengenai Suku Baduy (yang kepo PC aja, nanti aku kasih tau). Pembicaraan kami mengalir seiring derasnya hujan dan derasnya air di telapak kaki. Karena jalur setapak yang kami lewati, juga merupakan jalur air. Kondisi track semakin sulit, kanan kiri terkadang jurang yang curam, terkadang ladang. 

Yang mengherankan adalah, setiap ada yang jatuh, maka orang dibelakang yang tadinya menertawakan atau sekedar menegur pun akan ikut jatuh tak lama sesudahnya. Dari sini aku mulai menjaga ketat omongan dan tingkah laku, apalagi sudah mendekati waktu Maghrib. 

Dalam keadaan yang sudah amat berantakan dan lelah tentunya akhirnya kelompok kami tiba di Kampung Cibeo , tempat kami menginap dan belajar nantinya . Kurang lebih pukul 18.00 dalam keadaan gerimis mesra, kami tiba di rumah ayah. Sebelum masuk rumah, kami dituntun ayah menuju sungai dekat rumah untuk sekedar bersih-bersih dan buang air .

Setelah dari sungai, kami kembali ke rumah ayah dan segera masuk. Hal pertama yang ku lakukan adalah berganti pakaian, mengambil wudhu dari air di tumbler, dan menjamak sholat . Setelah itu kami beristirahat, menyeduh kopi, duduk melingkar dan bercanda tawa sembari menunggu kelompok belakang tiba. 

Kami duduk melingkari sebuah lilin dan sajian dari ambu (istri ayah) . Sepertinya sudah tidak perlu dijelaskan bahwa disini, listrik adalah sebuah larangan. Kami berbincang, saling memperkenalkan diri satu sama lain (percaya atau tidak, tadi di jalur sudah ada yang pdkt tapi belum saling kenal namanya haha) . 

Obrolan kami hangaaaat sekali. Setiap apa yang terucap, pasti memancing  tawa. Tawa kami menghangatkan rumah ayah. Rumah sederhana yang terdiri dari dapur dan ruang utama tempat kami mengobrol dan tidur nanti. Tidak ada bagian yang dipaku, tidak ada teknologi, tidak ada perabot plastik. Sebuah kesederhanaan yang masih bertahan karena konsistensitas dan integritas. Mereka tidak butuh dunia luar, tapi dunia luar yang butuh mereka.

Menyeduh hangatnya kebersamaan dalam secangkir cerita 

Sekitar pukul 18.00 rombongan depan telah sampai di rumah Ayah. Rumah tradisional khas Baduy Dalam, yang tak kutemukan sematan paku ataupun semen yang menempel. Sejenis rumah panggung beratap daun aren yang disusun sana-sini dan pertemuan sudut-sudut kayunya diikat menggunakan tali berwarna hitam. 

Tidak ada sekatan-sekatan kamar, ruang tamu, dan sebagainya. Hanya sedikit disekat untuk menandakan batas dengan ruang dapur. Selebihnya  adalah ruang multi-fungsi yang biasa digunakan untuk makan, mengobrol, dan tidur. Kami berkumpul, duduk melingkari nyala api lilin yang remang-remang menyinari ruangan tersebut.

Sambil menikmati sajian yang disiapkan oleh Ambu (istri Pak Sapri) dan logistik yang kami bawa, kami merajut obrolan tentang perjalanan tadi. Ditengah-tengah obrolan yang renyah itu, aku ketahui siapa saja nama-nama kelompok depan yang membersamaiku sejak di pondokan tengah ladang tadi. 

Mereka adalah Tigor, Kang Jagat, Mumuf , Yoyo, dan Mia. Umur kami tidak terpaut terlalu jauh (kecuali Kang Jagat, anaknya sudah empat hahaha) sehingga obrolan kami bisa satu frekuensi. Ditambah lagi sebagian besar dari kami memiliki hobi yang sama, yaitu berpetualang. Kehidupan tunggang gunung di Kampung Cibeo amat sangat sunyi. 

Hampir tidak ada suara selain dari senda-gurau kami. Hanya suara gemericik gerimis yang jatuh pada bejana-bejana dan periuk milik warga yang sengaja ditaruh di beranda rumah sebagai tadah hujan. Kondisi diluarpun gelap-gulita, tidak ada binar cahaya apapun (mungkin karena hujan, jadi warga tidak menyalakan obor di depan rumah).  

Setelah agak lama, ada yang mendorong pintu secara tiba-tiba. Ternyata itu Kamong dan Ma'ang, anak ayah yang ikut kelompok belakang . Ketibaan Kamong dan Ma'ang menandakan kelompok belakang sudah hampir tiba. "Yang lain dimana jang?" Tanya Kang Jagat pada Kamong dan Ma'ang. "Masih agak jauh, kami lari . Di belakang ada yang kakinya keram" sahut Kamong. Bayangkan, dua anak kecil (Kamong  13 tahun, Ma'ang 9 tahun) berlari melewati hutan dalam keadaan gelap gulita. 

Memang sih, daya tahan warga Baduy (Baduy Dalam khususnya) tidak perlu diragukan lagi. Mereka pun sanggup berjalan kaki dari kampung mereka sampai Jakarta dalam waktu dua hari. Warga Baduy Dalam memang biasa berjalan kaki menuju kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Tangerang, atau Bogor untuk ber-rekreasi, menjual madu, atau terkadang untuk memenuhi undangan pemerintah saat ada pameran-pameran tertentu. Dimana mereka menginap? Di segala tempat yang layak digunakan untuk tidur. Terkadang mereka menumpang tidur di tempat sanak famili ataupun teman sesama Suku Baduy yang sudah berpindah ke kota.

(~ kembali ke dalam rumah ~) Setelah mendengar yang diutarakan Kamong, ayah menyalakan lilin dan menaruhnya ke dalam batok kelapa yang telah dilubangi. Rupanya, ayah hendak menyusul rombongan belakang. Kami agak cemas, sehingga kami membubarkan diri dari lingkaran. Sebagian menengok dan menanti rombongan belakang di teras rumah, sebagian menyeduh teh dan kopi untuk menyambut rombongan belakang. 

Aku ikut menanti di teras rumah, bersama Kang Jagat dan Tigor. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan nampak sayup-sayup cahaya lilin dari dalam batok kelapa membersamai derap langkah kaki yang kelelahan. Rombongan belakang sudah tiba. Dengan dituntun ayah, mereka mampir ke sungai sebelum masuk ke dalam rumah.Sepertinya, "mampir ke sungai" ini adalah hal yang seyogyanya dilakukan para tamu. Boleh dianggap sebatas membersihkan diri dari lumpur, ataupun membersihkan diri dari hal-hal lain sebelum masuk dan menginap di tanah sakral ini (kembali ke keyakinan masing-masing).

Setelah semua orang sudah selesai dengan urusannya masing-masing (seperti berganti pakaian, sembahyang, dsb), kami semua kembali duduk  meluruskan kaki, ataupun sambil rebahan melingkari lilin yang tadi sempat kami tinggal. Percakapan kembali dilanjutkan. Kali ini dengan orang yang lebih banyak dan dengan cerita yang lebih gurih dan menarik. Oh iya, yang kakinya keram tadi ternyata tidak begitu parah, hanya keram ringan (Alhamdulillah). Personil trip sudah lengkap. Semuanya telah sampai di rumah Pak Sapri. 

Setelah rasa pegal sudah sedikit teratasi dengan teh dan balsem, kami pun menyantap makan malam. Sederhana memang, hanya berlauk ikan asin, tempe tanpa MSG, dan sayur asam. Namun, kami sangat lahap menyantap masakan ambu itu hingga tak bersisa sama sekali. Setelah makan malam selesai, obrolan dilanjut lagi. Kali ini sedikit lebih formal, diawali ucapan terima kasih dari Akang Crew, perkenalan dari tuan rumah dilanjut dengan peserta trip, lalu tanya jawab mengenai kehidupan Baduy Dalam. 

Pertanyaan yang diajukan amat banyak sejalan dengan rasa ingin tahu kami mengenai bagaimana warga Baduy Dalam ini masih berdiri kokoh dalam kedamaian, sementara dunia luar sedang dalam Big Chaos. Segala pertanyaan, entah perihal upacara adat, demografi Baduy, kepemilikan tanah, pertanian, mata pencaharian, hingga urusan MCK kami tanyakan. (kalau ada yang penasaran PC aku aja, atau ke Baduy langsung juga boleh). 

Semakin larut, obrolan menjadi semakin dalam, hikmat, dan sedikit lebih intim. Disini aku semakin kagum dengan Baduy. Meskipun mereka konsisten dengan pegangan leluhur mereka, namun mereka memiliki pemikiran yang terbuka dan transparan. 

Dari apa yang disampaikan ayah, yang aku tangkap sih memang tidak ada yang dibuat-buat ataupun ditutup-tutupi (jika kalian kemari, tetap tempatkan sopan santun diatas rasa keingin-tahuan kalian ya). Tak terasa, jam tangan berputar cepat menunjukkan pukul 23.00 . Kami harus beristirahat, memberi waktu bagi raga untuk memulihkan tenaga. Hari baru dan cerita baru menunggu untuk dijemput disini, di tanah Baduy yang bersahaja.

6 September di Baduy

Suara perangkat alat dapur membangunkanku subuh itu. Rupanya ambu,ayah,Kamong, dan Ma'ang sudah bangun dan nampaknya sedang bersiap-siap untuk memasak. "Masih jam empat" gumamku.  Aku ingin kembali meringkuk ke dalam sleeping bag, namun sudah tidak bisa tidur lagi. Para rekan perempuan pun juga sudah bangun. Lalu aku berjalan menuju beranda rumah, mengambil air wudhu dari bejana penuh berisi air hujan lalu melaksakan sembahyang. Setelah itu aku mendekati Ayah, "mau pergi ke ladang yah?" tanyaku. Ayah menjawab "tidak, di rumah saja nemenin tamu".

Keseharian warga Baduy Dalam hampir seluruhnya adalah petani. Dalam setahun, warga Baduy Dalam hanya menanam padi sebanyak satu kali (tidak seperti petani modern yang menanam sebanyak dua kali dalam setahun) . Jika sedang tidak musim padi, mereka biasanya mengisi kekosongan ladang dengan singkong ataupun umbi-umbian lainnya. Selain hasil dari ladang, berpanen buah-buahan yang tumbuh melimpah di hutan jika masuk musimnya-pun juga menjadi  kegiatan rutin tahunan warga Baduy. 

Selain buah-buahan, madu hutan dan aren yang cenderung bisa dipanen kapan saja juga menjadi sumber pundi-pundi bagi mereka. Tidak hanya bertani, beberapa warga lainnya memilih menjadi pengrajin yang memproduksi barang-barang kebutuhan mereka seperti pakaian, atap daun aren (atap rumah dari daun aren ini selalu diperbarui minimal setiap lima tahun sekali), perkakas dapur, dan sebagainya. Tak jarang, warga Baduy ini juga berburu  secara kelompok hingga berhari-hari di hutan. Hasil buruan biasa dinikmati bersama-sama. 

Meskipun hanya menanam padi sekali dalam setahun, warga Baduy tidak pernah kekurangan pangan. Cara mereka bertani secara organik, dapat menghasilkan padi yang berkualitas dengan kuantitas yang lebih banyak dari pertanian kimia. Lumbung-lumbung padi tempat mereka menyimpan harta, tidak pernah kosong. Malah cenderung bertambah jumlah lumbungnya. Kemandirian mereka dalam menyetok bahan pangan mereka sendiri, membentuk mereka untuk tidak bergantung pada subsidi pemerintah. Dalam aturan adat, padi hasil panen itu tidak boleh dijual (namun barter diperbolehkan).

Sekitar pukul 06.00, seluruh peserta trip telah bangun (kecuali Kang Atep yang tadi abis ngelembur hahaha) . Aku, bersama Arya dan Mumuf (dua mahasiswa UPI) berjalan-jalan ke sungai untuk memenuhi panggilan alam dan sekedar bermain air. 

Oh iya, meskipun seluruh kegiatan MCK di sungai dan tidak ada bilik penutup, tempat mandi laki-laki dan perempuan dipisahkan. Kami dilarang mandi menggunakan sabun, sampo,dan sebagainya. Sebagai gantinya, warga Baduy Dalam biasa menggunakan daun enje (kalau nggak salah) sebagai pengganti sabun dan sampo. Menurut mereka, sabun-sabun yang dibawa dari kota itu dapat mencemari air sungai, sumber kehidupan mereka. 

Setelah selesai memenuhi panggilan alam dan membasuh wajah, kami menyusuri perkampungan Cibeo. Suasananya sangat sejuk, teduh, dan menentramkan. Beberapa anak bermain tanah liat, dan beberapa bapak-bapak sedang berkumpul di sebuah rumah-rumahan dekat tanah lapang yang menurutku itu adalah titik tengah perkampungan. Mereka mengobrol dan sesekali melirik ke arah kami. Aku hanya mengangguk dari kejauhan. Setelah puas menelusuri perkampungan, kami kembali ke rumah Pak Sapri untuk sarapan.

Menu sarapan yang sederhana, menyambangi kesederhanaan di Baduy, membuatku berpikir bahwa bahagia itu sebenarnya juga sederhana. Setelah selesai sarapan, kami berkemas dan bersiap untuk perjalanan pulang. Sedih rasanya harus kembali ke rutintas secepat ini. 

Bertemu keluarga baru yang seru, kembali ke alam, solidaritas dalam perjalanan, semuanya adalah pelajaran berharga untukku di 6 September ini. Ke-ingin-tahu-an-ku pada kehidupan Baduy terjawab sudah. Namun, jika diajak kesini lagi-pun, tentu saja dengan senang hati. Baduy tidak akan cukup diselesaikan dalam satu episode, satu bab, atau satu kali kunjungan. Mungkin aku akan kesini lagi suatu saat . Ingin rasanya kembali kesini saat musim buah tiba.

Pukul 10.30 kami telah bersiap untuk berjalan lagi, kembali menuju gerbang peradaban. Kami bersalaman dengan ambu, dan mengucapkan rasa terima kasih karena sudah diterima di rumahnya untuk menginap dan belajar. Yaaa, aku menganggap perjalananku kali ini adalah sebagai pembelajaran, tentang segala hal yang telah aku sebutkan. Garis merahnya adalah kesederhanaan. 

Kali ini Ma'ang tidak ikut mengantar. Hanya Ayah, Aldi, dan Kamong. Kami kembali terpecah menjadi dua kelompok setelah melewati hutan lindung. Dan kali ini, aku ikut di kelompok belakang, yang dipimpin oleh Ayah dan Kamong. Kami berjalan santai menikmati udara segar hutan Baduy, ke-asri-an yang sebentar lagi kami tinggalkan dan tergantikan oleh asap kendaraan. 

Sejujurnya meskipun aku suka hujan seperti perjalanan kemarin, aku lebih suka cuaca yang cerah seperti ini. Perbukitan hijau dapat kulihat dengan jelas tanpa terselimuti kabut. Sesekali kami berhenti untuk menghela nafas dan mengambil air. Sudah kubilang kan, jalur tracking menuju Baduy ini adalah jalur air (ini berarti dua makna ya hehehe). Maksudnya adalah yang pertama, jika hujan turun, maka jalur yang kita lalui ini juga akan dilalui air. Hal inilah yang menjadi penyebab jalur menjadi sangat licin. Makna yang kedua, disepanjang jalur akan banyak sekali sumber mata air yang bisa ditemukan, makanya aku sebut jalur air. Kami juga mampir untuk mandi di sungai dekat jembatan akar (tempat iconic di perbatasan Baduy Dalam dan Luar). 

Saat sampai di perkampungan Baduy Luar, kami beruntung bisa melihat acara perkawinan ala Baduy Luar. Pukul 16.00 kami telah tiba di desa Cakuem (gerbang peradaban selain Ciboleger). Dari sini kami menggunakan elf untuk menuju Stasiun Rangkasbitung. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku naik elf bukan didalamnya, melainkan diatasnya (norak asli hahaha). Sangat seru dan cukup menguji adrenaline, ditambah ranting-ranting pohon yang kadang menyambar. 

Kami mengejar kereta terakhir dari Rangkasbitung yang menuju Tanah Abang, yaitu pukul 18.30. Di tengah perjalanan, rombongan Bandung Squad turun duluan, mereka tidak ikut naik kereta seperti yang lain. Sepertinya, mereka akan menginap semalam lagi di rumah Isbel (rekan trip asli Banten yang ikut Bandung Squad karena kuliahnya di Bandung). 

Tepat pukul 18.30 kami tiba di Stasiun Rangkas. Dengan sedikit terbirit-birit kami berlari menuju loket. Untunglah, kami tidak ketinggalan kereta. Sore itu, kereta terakhir menuju Tanah Abang sangat ramai. Aku tidak kebagian tempat duduk, sehingga harus berdiri melewati  12 stasiun lainnya sebelum akhirnya sampai di Stasiun Tanah Abang. 

Di dalam kereta, aku lebih banyak merenung memikirkan tentang Baduy. Satu hal yang belum terjawab dan lupa untuk kutanyakan. Apa alasan mereka masih berpegang teguh pada hidup dengan kesederhanaan, sementara kehidupan itu sendiri adalah sesuatu yang terus berkembang menuju ke segala hal yang instan (?) . Biarlah,.. Biar itu menjadi alasanku untuk kembali lagi ke Baduy.

Terima kasih Baduy.. Kau membuka mataku, tentang satu lagi kekayaan Indonesiaku ini. Negeri seribu serba-serbi, yang sedang di eksploitasi oleh penguasanya sendiri .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun