Memang sih, daya tahan warga Baduy (Baduy Dalam khususnya) tidak perlu diragukan lagi. Mereka pun sanggup berjalan kaki dari kampung mereka sampai Jakarta dalam waktu dua hari. Warga Baduy Dalam memang biasa berjalan kaki menuju kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Tangerang, atau Bogor untuk ber-rekreasi, menjual madu, atau terkadang untuk memenuhi undangan pemerintah saat ada pameran-pameran tertentu. Dimana mereka menginap? Di segala tempat yang layak digunakan untuk tidur. Terkadang mereka menumpang tidur di tempat sanak famili ataupun teman sesama Suku Baduy yang sudah berpindah ke kota.
(~ kembali ke dalam rumah ~) Setelah mendengar yang diutarakan Kamong, ayah menyalakan lilin dan menaruhnya ke dalam batok kelapa yang telah dilubangi. Rupanya, ayah hendak menyusul rombongan belakang. Kami agak cemas, sehingga kami membubarkan diri dari lingkaran. Sebagian menengok dan menanti rombongan belakang di teras rumah, sebagian menyeduh teh dan kopi untuk menyambut rombongan belakang.Â
Aku ikut menanti di teras rumah, bersama Kang Jagat dan Tigor. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan nampak sayup-sayup cahaya lilin dari dalam batok kelapa membersamai derap langkah kaki yang kelelahan. Rombongan belakang sudah tiba. Dengan dituntun ayah, mereka mampir ke sungai sebelum masuk ke dalam rumah.Sepertinya, "mampir ke sungai" ini adalah hal yang seyogyanya dilakukan para tamu. Boleh dianggap sebatas membersihkan diri dari lumpur, ataupun membersihkan diri dari hal-hal lain sebelum masuk dan menginap di tanah sakral ini (kembali ke keyakinan masing-masing).
Setelah semua orang sudah selesai dengan urusannya masing-masing (seperti berganti pakaian, sembahyang, dsb), kami semua kembali duduk  meluruskan kaki, ataupun sambil rebahan melingkari lilin yang tadi sempat kami tinggal. Percakapan kembali dilanjutkan. Kali ini dengan orang yang lebih banyak dan dengan cerita yang lebih gurih dan menarik. Oh iya, yang kakinya keram tadi ternyata tidak begitu parah, hanya keram ringan (Alhamdulillah). Personil trip sudah lengkap. Semuanya telah sampai di rumah Pak Sapri.Â
Setelah rasa pegal sudah sedikit teratasi dengan teh dan balsem, kami pun menyantap makan malam. Sederhana memang, hanya berlauk ikan asin, tempe tanpa MSG, dan sayur asam. Namun, kami sangat lahap menyantap masakan ambu itu hingga tak bersisa sama sekali. Setelah makan malam selesai, obrolan dilanjut lagi. Kali ini sedikit lebih formal, diawali ucapan terima kasih dari Akang Crew, perkenalan dari tuan rumah dilanjut dengan peserta trip, lalu tanya jawab mengenai kehidupan Baduy Dalam.Â
Pertanyaan yang diajukan amat banyak sejalan dengan rasa ingin tahu kami mengenai bagaimana warga Baduy Dalam ini masih berdiri kokoh dalam kedamaian, sementara dunia luar sedang dalam Big Chaos. Segala pertanyaan, entah perihal upacara adat, demografi Baduy, kepemilikan tanah, pertanian, mata pencaharian, hingga urusan MCK kami tanyakan. (kalau ada yang penasaran PC aku aja, atau ke Baduy langsung juga boleh).Â
Semakin larut, obrolan menjadi semakin dalam, hikmat, dan sedikit lebih intim. Disini aku semakin kagum dengan Baduy. Meskipun mereka konsisten dengan pegangan leluhur mereka, namun mereka memiliki pemikiran yang terbuka dan transparan.Â
Dari apa yang disampaikan ayah, yang aku tangkap sih memang tidak ada yang dibuat-buat ataupun ditutup-tutupi (jika kalian kemari, tetap tempatkan sopan santun diatas rasa keingin-tahuan kalian ya). Tak terasa, jam tangan berputar cepat menunjukkan pukul 23.00 . Kami harus beristirahat, memberi waktu bagi raga untuk memulihkan tenaga. Hari baru dan cerita baru menunggu untuk dijemput disini, di tanah Baduy yang bersahaja.
6 September di Baduy
Suara perangkat alat dapur membangunkanku subuh itu. Rupanya ambu,ayah,Kamong, dan Ma'ang sudah bangun dan nampaknya sedang bersiap-siap untuk memasak. "Masih jam empat" gumamku. Â Aku ingin kembali meringkuk ke dalam sleeping bag, namun sudah tidak bisa tidur lagi. Para rekan perempuan pun juga sudah bangun. Lalu aku berjalan menuju beranda rumah, mengambil air wudhu dari bejana penuh berisi air hujan lalu melaksakan sembahyang. Setelah itu aku mendekati Ayah, "mau pergi ke ladang yah?" tanyaku. Ayah menjawab "tidak, di rumah saja nemenin tamu".
Keseharian warga Baduy Dalam hampir seluruhnya adalah petani. Dalam setahun, warga Baduy Dalam hanya menanam padi sebanyak satu kali (tidak seperti petani modern yang menanam sebanyak dua kali dalam setahun) . Jika sedang tidak musim padi, mereka biasanya mengisi kekosongan ladang dengan singkong ataupun umbi-umbian lainnya. Selain hasil dari ladang, berpanen buah-buahan yang tumbuh melimpah di hutan jika masuk musimnya-pun juga menjadi  kegiatan rutin tahunan warga Baduy.Â