Pergelaran pemilihan presiden tinggal satu bulan lagi. Tiga kandidat capres Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo sudah melakukan banyak strategi dan taktik dalam masa kampanye untuk menggaet massa pemilih. Debat resmi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah tiga kali digelar menyisakan dua kali lagi.Â
Debat maupun dialog juga banyak dilakukan oleh lembaga lainnya seperti kampus, televisi, kadin, Muhammadiyah, dan lain-lain. Namun, elektabilitas para capres tidak banyak berubah. Pasangan Prabowo-Gibran masih mengungguli pasangan capres lainnya sekitar 45 persen, sedang pasangan lainnya masing-masing masih di posisi kurang lebih 20 persen.
Melihat fakta seperti ini, sepertinya penyampaian visi-misi para kandidat capres kurang efektif. Masyarakat masih loyal dengan pilihannya sebelum penyampaian visi-misi para kandidat.Â
Seperti pada acara debat presiden ketiga, walaupun Prabowo banyak blunder dan tidak bisa menjawab pertanyaan lawan, disertai dengan ekspresi emosi pada lawan debatnya, toh suara Prabowo tidak banyak berubah. Banyak pengamat mengatakan bahwa acara debat hanya mampu merubah persepsi kalangan elit dan terdidik sekitar 5 persen.
Akhirnya kita perlu melihat bagaimana tipologi pemilih di Indonesia. Banyak pengamat membagi tipologi pemilih menjadi pemilih rasional dan emosional. Pemilih rasional adalah pemilih yang mendapatkan cukup pendidikan sehingga dalam menentukan pilihan terhadap seorang kandidat presiden akan mempertimbangkan logika akal sehatnya.Â
Siapa calon presiden yang mempunyai visi yang baik namun realistis, program kerjanya seperti apa, dan bagaimana track recordnya di masa lalu. Sedang pemilih emosional kadang juga disebut sebagai pemilih tradisional merupakan pemilih yang sudah memiliki kedekatan emosional dengan capres tertentu atau partai politik tertentu.Â
Seperti pemilih PDIP, PKS, dan PKB bisa dianggap sebagai pemilih emosional karena faktor ideologi. Dari dua tipologi pemilih ini, saya menambahi satu tipe pemilih lagi, yaitu pemilih pragmatis.Â
Pemilih pragmatis merupakan pemilih yang tidak didasarkan pada pertimbangan rasional maupun emosional, namun pertimbangan manfaat apa yang mereka peroleh terutama dalam jangka pendek. Pemilih ini akan memilih calon tertentu biasanya karena faktor ekonomi, seperti mendapatkan uang, sembako, kaos, dan lain-lain.
Ketika melihat faktor tipologi pemilih ini, maka tidak heran jika banyak masyarakat yang tidak begitu terdampak dari acara-acara debat antar capres di televisi. Argumen sebaik apapun yang disampaikan oleh salah satu capres tidak mudah merubah pilihan masyarakat.Â
Oleh karena itu wajar jika Prabowo-Gibran elektabilitasnya paling tinggi, karena didukung oleh logistik yang paling banyak dibanding kandidat lainnya. Ditambah lagi dukungan Jokowi sebagai presiden terhadap Prabowo yang sudah terang-terangan walaupun dibanyak kesempatan Jokowi mengatakan kalau akan netral dan tidak cawe-cawe. Namun, fakta di lapangan mengatakan lain.
Peran Jokowi dalam pilpres 2024 sangatlah besar. Dalam uraian majalah tempo diberitakan bahwa Jokowi juga menggunakan instrumen kekuasan untuk menggalang dukungan terhadap Prabowo-Gibran. Indikasi TNI-POLRI tidak netral juga banyak dikritik para pengamat. Kebijakan bagi-bagi sembako oleh Jokowi dan menterinya juga makin marak dilakukan. Tidak heran jika kubu Prabowo menargetkan pilpres 2024 menang dalam satu putaran.
Jadi ya beginilah kondisi sosial politik masyarakat kita. Pilpres bukan menjadi ajang dialektika kontrukstif dalam mencari pemimpin terbaik, namun pertarungan wacana dengan segala instrumen kekuatan politik dan ekonomi untuk memonopoli dan memanipulasi suara rakyat. Kita tidak bisa semata-mata menyalahkan rakyat secara umum karena mereka dikondisikan oleh para elit dan politisi busuk agar menerima dan mempercayai narasi-narasi yang mereka buat dengan mengatasnamakan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H