“Ya?” tanya Ghean, penasaran.
“Aku ingin mengucapkan terima kasih. Selama ini, kamu telah membantuku lebih dari yang bisa aku ungkapkan. Kamu membuatku merasa berharga dan terinspirasi,” Fira akhirnya mengungkapkan perasaannya.
Ghean tersenyum, dan Fira bisa melihat kilau di matanya. “Aku senang mendengar itu. Kamu juga memberiku perspektif baru tentang penulisan. Setiap kali aku mendengarkan ceritamu, aku merasa bersemangat untuk menciptakan sesuatu juga.”
Mereka berdua tersenyum, tapi Fira masih merasakan ketegangan itu. Ia ingin berbagi lebih banyak tentang perasaannya, tetapi kata-kata terasa terjebak di tenggorokannya. Mungkin itu bukan waktu yang tepat.
Seiring waktu, Fira mulai lebih percaya diri dengan tulisannya. Ia menambahkan elemen baru, mengembangkan karakter, dan bahkan mulai menggambarkan suasana yang lebih mendalam. Ghean selalu ada untuk memberinya umpan balik, dan Fira merasakan hubungan mereka semakin kuat.
Suatu malam, setelah mereka selesai menulis di kafe, Ghean mengajaknya untuk berjalan-jalan di sekitar taman. Fira merasa senang, tetapi juga cemas. Langkah mereka terasa ringan, tetapi Fira bisa merasakan ketegangan di dalam dirinya.
Saat mereka berhenti di sebuah bangku taman, Fira menatap Ghean, dan detak jantungnya semakin cepat. “Ghean, aku… aku ingin bertanya tentang sesuatu.”
“Ya?” Ghean menatapnya dengan penuh perhatian, membuat Fira merasa seolah dunia terhenti sejenak.
“Apa kamu percaya pada cinta yang tumbuh dari persahabatan?” Fira akhirnya mengeluarkan pertanyaannya, merasa berani.
Ghean terdiam sejenak, kemudian tersenyum. “Aku percaya bahwa cinta bisa tumbuh dari mana saja, termasuk dari persahabatan. Kadang, hubungan terbaik dimulai dari saling memahami dan mendukung satu sama lain.”
Fira merasa jantungnya berdegup kencang. “Jadi, kamu setuju bahwa kita bisa lebih dari sekadar teman?”