Bab 4: Momen-Momen Berharga
Minggu-minggu setelah pertemuan mereka yang kedua, Fira dan Ghean mulai rutin bertemu di kafe. Setiap pertemuan selalu dipenuhi dengan tawa, cerita, dan diskusi mendalam tentang penulisan dan seni. Fira merasa inspirasi mengalir deras dari percakapan mereka, dan setiap kali Ghean menyentuh laptopnya, ia merasakan detak jantungnya bergetar.
Di antara tawa dan cerita, mereka berbagi impian dan ketakutan masing-masing. Fira mengungkapkan ketakutannya tentang masa depannya sebagai penulis—apakah karyanya akan diterima? Apakah ia bisa menyelesaikan novel ini? Ghean mendengarkan dengan penuh perhatian, memberi dukungan yang selalu Fira butuhkan.
“Fira, setiap penulis pasti meragukan kemampuannya. Yang terpenting adalah terus menulis. Jangan biarkan ketakutan itu menghentikanmu,” Ghean memberi semangat.
Fira mengangguk, merasa diperkuat oleh kata-kata Ghean. “Kamu benar. Setiap kali aku mulai menulis, aku merasa hidup. Dan aku tidak ingin kehilangan perasaan itu.”
Satu sore, setelah menyelesaikan satu bab baru, Fira merasa sangat puas. Mereka duduk di kafe, menyeruput kopi yang baru disajikan. “Aku rasa aku mulai menemukan suara karakternya,” kata Fira dengan semangat. “Mereka mulai hidup dalam kepalaku.”
Ghean tersenyum. “Itu luar biasa! Ceritakan lebih lanjut. Aku ingin tahu.”
Dengan antusias, Fira menjelaskan perkembangan cerita dan bagaimana karakter-karakternya mulai saling berinteraksi. Ghean mendengarkan dengan seksama, memberi saran yang membuat Fira merasa lebih percaya diri. Setiap kali Ghean memberikan masukan, Fira merasa semangatnya semakin menggelora.
Namun, di balik semua kebahagiaan itu, Fira juga merasa sedikit cemas. Ia mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Ghean lebih dari sekadar teman. Ada ketertarikan yang semakin dalam, tetapi ia juga takut untuk mengungkapkannya. Apa yang akan terjadi jika hubungan ini berubah? Apakah persahabatan mereka akan tetap sama?
Suatu hari, saat mereka duduk di kafe dengan kopi di tangan, Fira merasa ada sesuatu yang berbeda di udara. Suasana itu tegang, dan Fira bisa merasakan getaran dalam hatinya. Ghean menatapnya, seolah menunggu Fira mengatakan sesuatu.
“Aku...,” Fira mulai, tetapi suaranya terhenti. Ia menelan ludah, berjuang dengan kata-katanya.