Prolog:
Ada pepatah yang mengatakan bahwa kehidupan adalah rangkaian kebetulan. Satu kebetulan kecil bisa mengubah seluruh arah hidup seseorang. Bagi Fira, hidupnya selalu terencana---dari waktu bangun tidur hingga kapan ia harus menyeruput kopi pertamanya. Ia tipe orang yang percaya bahwa kesuksesan berasal dari persiapan, bukan dari kebetulan.
Namun, pada suatu pagi yang tampaknya biasa di sebuah kafe kecil di sudut kota, Fira akan segera menyadari bahwa tidak semua hal dalam hidup bisa direncanakan. Kadang-kadang, justru kebetulan-kebetulan kecil yang mengubah segalanya.
Ia duduk di sudut meja favoritnya, seperti biasa. Laptop terbuka, kopi di sebelahnya, dan tatapan kosong yang terfokus pada layar yang masih kosong. Seminggu sudah ia berjuang mencari kata-kata, mencoba menyelesaikan naskah novel yang terus buntu. Hingga, tanpa diduga, seseorang masuk ke dalam hidupnya---seseorang yang membawa serta segelas kopi dan segudang hal tak terduga.
Siapa sangka, pertemuan yang begitu sederhana dan kebetulan itu bisa mengubah cara Fira memandang hidup. Satu tegukan kopi, satu percakapan ringan, dan satu kebetulan yang akan membuat hatinya berdebar dengan cara yang tidak pernah ia rencanakan.
Dan di sinilah, cerita mereka dimulai.
Bab 1: Pagi yang Tak Biasa
Fira duduk di sudut favorit kafe itu, tempat di mana ia selalu merasa paling nyaman. Kafe ini bukan hanya sekadar tempat untuk menikmati secangkir kopi hangat, tetapi juga pelarian dari keruwetan hidupnya. Di luar, orang-orang berlalu-lalang, suara kendaraan bising, dan hiruk-pikuk kota terus berdenyut. Tapi di sini, di dalam dinding yang penuh poster vintage dan aroma biji kopi yang baru disangrai, Fira merasa dunia sedikit lebih tenang.
Laptopnya menyala di hadapan, dan layar kosong yang menatapnya seperti ejekan tanpa kata. Naskah novel yang seharusnya sudah rampung kini masih terhenti di bab pertama. Setiap kali jari-jarinya mendekati tuts keyboard, otaknya malah terasa kaku, beku. Mungkin ini yang dinamakan "writer's block", atau mungkin kopi ini kurang kuat, pikirnya sambil menyeruput cappuccino yang sudah hampir dingin.
"Serius, aku perlu keajaiban," gumamnya.
Saat itulah, pintu kafe terbuka dan seseorang masuk dengan langkah tergesa-gesa. Pria itu tampak sangat sibuk---rambutnya sedikit berantakan, dan ada kantung plastik kecil di tangan kirinya, seolah ia baru saja selesai berbelanja di minimarket terdekat. Pandangannya berkeliling mencari meja kosong, tetapi semua sudah terisi, kecuali kursi kosong di seberang Fira.