Jangan salah, bukan Cadar dan Celana cingkrang aja yang bisa dibilang "radikal", menulis juga ada yang radikal. Cuma saja dalam konteks ini, radikal dalam artian ekstrim.
Pada awal-awal di Kompasiana, tulisan-tulisan saya banyak yang ekstrim. Keluar dari kaidah-kaidah penulisan yang baku. Memang lebih bebas mengekspresikan ide-ide dan pemikiran.
Itulah yang membuat saya selalu rindu untuk terus menulis saat itu. Ingin rasanya mengekspresikan pemikiran seperti itu, tapi sudah tidak bisa, banyak sekali yang ditakutkan.
Padahal tulisan-tulisan yang radikal seperti itu sangat menarik pembaca, karena dituangkan secara bebas, namun tetap dalam koridor gaya artikel blogger, bebas tapi bertanggung jawab.
Bisa jadi pengaruh dari usia, sehingga keberanian untuk mengekspresikan pemikiran yang berbeda sudah berkurang. Kalaupun dipaksakan pastinya tidaklah lepas bebas seperti dahulu.
Terlebih lagi sejak dapat "Centang Biru", menulis lebih hati-hati, tidak bisa seenaknya seperti dahulu. Menjaga kualitas tulisan lebih diutamakan, meskipun tidak berkualitas amat sih.
Dari segi aturan yang diberlakukan Kompasiana, sebetulnya tidak banyak berubah dengan sebelumnya, hanya saja dengan semakin dikenalnya Kompasiana, sebagai penulis pun kita menjadi lebih hati-hati.
Biar bagaimanpun, buruk baiknya yang kita tuliskan, tetap saja ada imbasnya pada Kompasiana. Inilah yang membuat saya juga semakin hati-hati. Padahal menulis secara radikal itu sangat mengasyikkan.
Beberapa K'ners saya lihat ada yang tulisannya begitu radikal, berani menabrak pakem-pakem penulisan pada umumnya, sehingg tulisannya pun enak dibaca.
Entah kenapa saya malah tidak bisa lagi menulis dengan cara seperti itu, ada ja'im juga sih, takut dibilang tidak berkembanglah, tidak bisa jaga kualitaslah. Padahal memang gak berkualitas amat tulisannya.
Tulisan-tulisan politik saya dulu sangat ekstrim, berani kritik SBY dengan frontal. Sekarang nyali saya sudah ciut untuk nulis politik seperti itu. Sehingga dari segi bahasapun dimanis-manisin.