Mohon tunggu...
Ajinatha
Ajinatha Mohon Tunggu... Freelancer - Professional

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Inikah Penghalang Jokowi Menerbitkan Perppu KPK?

3 Oktober 2019   16:25 Diperbarui: 3 Oktober 2019   16:31 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun sedang berlangsung proses Judicial review UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini, namun tidak menghalangi Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK oleh Presiden, bahkan bisa jadi proses Judicial review-nya dihentikan jika terbitnya Perppu.

Pakar Hukum Tata Negara Ahmad Redi mengatakan dalam undang-undang MK hanya diatur mengenai larangan permohonan uji materiil bagi peraturan pelaksanaan undang-undang yang sedang di Judicial Review di MK.

"Perppu merupakan hak preogratif Presiden yang tidak terpengaruh cabang kekuasaan lain," jelasnya, Rabu (2/10/2019).

Justru, ia menjelaskan, jika ada Perppu maka permohonan judicial review di MK atas undang-undang tersebut harus dihentikan karena undang-undang yang diuji ke MK telah diubah lewat terbitnya Perppu.

Penjelasan ini mematahkan pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, yang mengatakan bisa salah kalau menerbitkan Perppu disaat sedang ada sengketa terkait UU KPK di MK.

"Pikiran kita adalah karena sudah masuk sengketa di MK, ya salah juga. Kita tunggu dulu bagaimana proses MK menindaklanjuti gugatan itu. Jadi jelas, Presiden bersama Parpol pengusung sudah sama," ujarnya saat dijumpai di gedung parlemen Senayan, Selasa (2/10/2019).

Pernyataan Surya Paloh diatas jelas Baru hanya sebatas pikirannya, bukanlah berlandaskan aturan dan Undang-Undang MK yang berlaku. Jadi argumentasi tersebut bersifat sangat pribadi tidak berdasarkan landasan hukum.

Pernyataan tersebut disampaikannya kepada Presiden Jokowi saat pertemuan dengan beberapa petinggi partai dengan Jokowi di Istana Bogor beberapa hari lalu.

Menurutnya, dalam pertemuan tersebut dibahas soal kesepakatan partai-partai pengusung pemerintah atas beberapa pikiran yang cukup kritis dan aksi mahasiswa untuk terbitkan Perppu KPK.

Sebetulnya secara konstitusional tidak Ada halangan bagi Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu KPK. Persyaratan adanya kegentingan sudah terpenuhi dengan adanya tuntutan mahasiswa, masyarakat, dan penggiat anti korupsi.

Yang menghalangi Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK hanyalah Partai koalis pendukung Jokowi-Ma'ruf. Bahkan politisi PDI-P sendiri menolak dengan tegas penerbitan Perppu KPK, karena dianggap tidak menghormati keberadaan mereka sebagai inisiator revisi UU KPK.

Seharusnya PDI-P lebih sensitif merespon penolakan masyarakat, penggiat anti korupsi, juga mahasiswa terhadap revisi UU KPK, karena reaksi yang diperlihatkan sudah sangat mengancam stabilitas politik dan keamanan negara.

Kalau sampai terjadi Chaos maka yang akan dipersalahkan masyarakat adalah Presiden selaku kepala negara, bukanlah Partai politik. Presiden dalam hal ini jelas akan lebih mendengar tuntutan masyarakat ketimbang Partai politik, meskipun Partai politik juga tidak bisa diabaikan begitu saja.

Terkait ngototnya PDI-P ingin merevisi UU KPK menimbulkan kecurigaan masyarakat. PDI-P merupakan salah satu Partai terbanyak menyumbang kader partai yang terjerat kasus korupsi. Revisi UU KPK dianggap sarat dengan kepentingan politik.

Politikus PDI-P, Arteria Dahlan, menyatakan Jokowi dapat melakukan perbuatan melanggar hukum atau inkonstitusional jika menerbitkan Perppu KPK.

Arteria menilai tidak ada landasan hukum yang jelas untuk menerbitkan Perppu KPK. "Pertanyaannya apakah kondisi objektif saat ini mewajibkan seorang Presiden untuk menerbitkan Perppu?" kata Arteria di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (30/9).

Menurut Arteria, landasan hukum dalam penerbitan Perppu KPK yakni adanya kegentingan mendesak. Kegentingan mendesak ini biasanya karena adanya kekosongan hukum atau tidak berjalannya  pemerintahan dan penegakan hukum.

Frasa "kegentingan mendesak" itu bersifat multitafsir, tidak melulu karena adanya kekosongan hukum atau tidak berjalannya Pemerintahan dan penegakan hukum.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menilai kondisi kegentingan yang dibutuhkan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) adalah hak subjektif Presiden Joko Widodo.

"(Kegentingan) itu gampang, kan memang sudah agak genting sekarang, itu hak subjektif presiden bisa juga, tidak bisa diukur dari apa genting itu. Presiden menyatakan keadaan masyarakat dan negara seperti ini dan saya harus ambil tindakan (menerbitkan perppu) itu bisa dan sudah biasa dan tidak ada dipersoalkan itu," kata Mahfud MD di Istana Merdeka Jakarta, Kamis.

Demo mahasiswa dan tuntutan berbagai elemen masyarakat yang sudah mengganggu stabilitas politik dan keamanan, adalah sesuatu yang cukup mendesak Pemerintah, dan mengganggu konsentrasi Pemerintah dalam menjalankan Pemerintahan.

Apakah kegentingan yang mendesak itu harus menunggu dulu sampai terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Menunggu sampai terjadinya chaos, sehingga semua aktivitas terhenti, Karena dalam keadaan kacau?

Kalau hal seperti itu yang terjadi patut diduga Partai koalisi yang menginginkan revisi UU KPK, adalah Partai politik yang memang tidak memikirkan kepentingan Bangsa dan negara, yang ada hanya kepentingan politik partai yang menjadi pemikirannya.

Para petinggi Partai politik pendukung Jokowi-Ma'ruf, harus bersikap bijak dalam mencermati situasi yang terjadi dalam masyarakat. Tidak bisa egois dalam merespon berbagai situasi terkini.

Pada akhirnya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kondisi dilematis yang dialami oleh Presiden Jokowi berasal dari kuatnya tekanan PDI-P yang merupakan parpol pendukung utamanya.

Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa PDI-P memiliki peranan yang besar dalam menentukan kebjakan yang pada turunannya akan menjadi produk hukum.

Sumber : Satu / Dua / Tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun