Peristiwa 21-22 Mei 2019 lebih tepat dikatakan Kerusuhan Massa bukanlah People Power, tidak seperti People Power Mei 1998, dimana semua elemen masyarakat bersatu padu, dengan kebulatan tekad secara bersama ingin menggulingkan Tirani kekuasaan yang sudah diluar batas.
Sementara kerusuhan Massa Mei 2019, tidaklah didukung semua elemen masyarakat, bahkan Mahasiswa yang biasanya selalu menjadi Agen perubahan, tidak tertarik sama sekali untuk terlibat. Mahasiswa sudah mencium kepentingan politik yang mendasari aksi tersebut, dan mahasiswa juga sadar kalau aksi tersebut disusupi kepentingan pihak ketiga.
Makanya peristiwa Mei 1998 disebut "People Power," karena semua masyarkat bergerak untuk satu titik fokus yang sama, bergerak tanpa ada Yang memobilisasi, sehingga masing-masing masyarakat berperan sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya.
Ada ibu-ibu rumah tangga yang menyiapkan dapur umum untuk kepentingan Mahasiswa dan masyarakat yang turun kejalan, ada juga yang secara suka rela menyiapkan kebutuhan makanan dan minuman dimobil yang dikendarai, dan dibagikan kepada massa yang turun kejalan.
Semua bergerak atas dasar kepentingan yang sama, bukan disebabkan oleh adanya narasi-narasi yang memanaskan, atau juga berbuat sesuatu atas nama Jihad dan sebagainya. Semua melakukan dan bertindak dengan kesadaran, bahwa Tirani kekuasaan harus dikalahkan.
Sangat berbeda dengan kerusuhan Massa yang terjadi pada tanggal 21-22 Mei yang baru lalu, dimana Massa sudah dipengaruhi oleh Narasi Curang, dan Polri tidak netral berpihak pada penguasa, Pemerintah Jokowi dzolim, sudah memperkosa hak demokrasi masyarkat.
Jadi tidak aneh kalau akhirnya aksi Massa menjadi brutal, meskipun katanya pendukung Prabowo tetap dengan aksi damai. Artinya semua situasi sudah dikondisikan, bukanlah reaksi spontan dari masyarakat seperti halnya "People Power" Mei 1998.
Aksi kerusuhan Massa sudah disusupi berbagai kepentingan politik, bukan lagi murni aksi masyarakat. Lihat saja pihak kepolisian menemukan bukti-bukti bahwa sebagian besar pelaku kerusuhan yang ditangkap, adalah Massa yang dibayar, yang sama sekali tidak peduli dengan persoalan politik.
Aksi yang dilakukan pun begitu liar, karena sebagian besar dari pelaku sudah dicekokin narkoba dan minuman keras sebelum melakukan aksi. Mereka bisa tiba-tiba muncul dengan tindakan brutalnya, tidak lagi bisa dikontrol oleh aparat keamanan, mereka sudah seperti robot yang dikendalikan.
Dari hampir 200 orang yang ditangkap polisi, hampir rerata tubuh mereka penuh taro, dan penampilan fisik mereka pun sudah menjelaskan siapa mereka sebenarnya. Artinya, mereka ini memang orang-orang yang dibayar memang untuk menciptakan kerusuhan.
Yang hampir sama dengan peristiwa Mei 1998 hanyalah, mereka yang tetembak peluru tajam tanpa diketahui siapa yang menembak, karena aparat kepolisian sendiri tidak dibekali dengan senjata. Disinilah misteri adanya pihak ketiga yang memancing diair keruh, yang memang menginginkan agar kerusuhan tersebut pecah menjadi besar.
Sebelumnya pihak kepolisian sudah melakukan berbagai antisipasi, termasuk juga menggagalkan penyelundupan senjata yang akan digunakan pihak tertentu dalam kerusuhan yang memang sudah direncanakan tersebut.
Kepolisian harus bisa mengungkapkan kasus penembakan korban dalam kerusuhan, juga menangkap mastermind yang merencanakan kerusuhan, juga pihak-pihak yang terlibat dalam mendanainya. Ini menjadi PR Kapolri untuk segera mengungkapkan dan memprosesnya.
Kalau ini tidak bisa terungkap, maka Pemerintahan Jokowi akan kehilangan legitimasi, bukan cuma institusi kepolisian. Gerakan aksi ini boleh dibilang gagal secara pelaksanaannya, karena target yang diinginkan tidak tercapai.
Padahal diharapkan dari aksi kerusuhan ini bisa menciptakan kerusuhan massal, yang bisa diikuti disetiap daerah.Â
Sepertinya Mastermind gagal mengeksekusi skenario yang sudah diciptakan. Bekerjanya sistem Intelijen negara yang mendeteksi secara dini, sehingga setiap rencana digagalkan sebelum dieksekusi.
Kegagalan demi kegagalan sudah dihadapi, gagal mendelegitimasi KPU, gagal mendelegitimasi Hasil Pemilu, dan juga gagal mendiskualifikasi Jokowi-Ma'ruf. Bisa jadi terselip juga rencana untuk penggulingan kekuasaan, namun itupun dianggap tidaklah efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H