Dari hampir 200 orang yang ditangkap polisi, hampir rerata tubuh mereka penuh taro, dan penampilan fisik mereka pun sudah menjelaskan siapa mereka sebenarnya. Artinya, mereka ini memang orang-orang yang dibayar memang untuk menciptakan kerusuhan.
Yang hampir sama dengan peristiwa Mei 1998 hanyalah, mereka yang tetembak peluru tajam tanpa diketahui siapa yang menembak, karena aparat kepolisian sendiri tidak dibekali dengan senjata. Disinilah misteri adanya pihak ketiga yang memancing diair keruh, yang memang menginginkan agar kerusuhan tersebut pecah menjadi besar.
Sebelumnya pihak kepolisian sudah melakukan berbagai antisipasi, termasuk juga menggagalkan penyelundupan senjata yang akan digunakan pihak tertentu dalam kerusuhan yang memang sudah direncanakan tersebut.
Kepolisian harus bisa mengungkapkan kasus penembakan korban dalam kerusuhan, juga menangkap mastermind yang merencanakan kerusuhan, juga pihak-pihak yang terlibat dalam mendanainya. Ini menjadi PR Kapolri untuk segera mengungkapkan dan memprosesnya.
Kalau ini tidak bisa terungkap, maka Pemerintahan Jokowi akan kehilangan legitimasi, bukan cuma institusi kepolisian. Gerakan aksi ini boleh dibilang gagal secara pelaksanaannya, karena target yang diinginkan tidak tercapai.
Padahal diharapkan dari aksi kerusuhan ini bisa menciptakan kerusuhan massal, yang bisa diikuti disetiap daerah.Â
Sepertinya Mastermind gagal mengeksekusi skenario yang sudah diciptakan. Bekerjanya sistem Intelijen negara yang mendeteksi secara dini, sehingga setiap rencana digagalkan sebelum dieksekusi.
Kegagalan demi kegagalan sudah dihadapi, gagal mendelegitimasi KPU, gagal mendelegitimasi Hasil Pemilu, dan juga gagal mendiskualifikasi Jokowi-Ma'ruf. Bisa jadi terselip juga rencana untuk penggulingan kekuasaan, namun itupun dianggap tidaklah efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H