Konon kabarnya ide penerapan sistem Kontrak Kerja Outsourcing muncul saat Indonesia menghadapi Krisis di tahun 1997, ide ini atas inisiatif World Bank dan IMF, dan ini merupakan bentuk tekanan kedua lembaga tersebut terhadap pemerintah Indonesia.
Sebagai negara penghutang terbesar dan selalu butuh utang Luar negeri, tentunya pemerintah Indonesia tidak bisa menolak tekanan tersebut. World Bank dan IMF menekankan  sistem tersebut bukan tanpa kepentingan, sebagaimana kita ketahui negara ini banyak menampung investor asing.
Dengan adanya sistem outsourcing ini, perusahaan asing bisa mengemplang upah seminim mungkin tanpa perlu lagi memberikan berbagai tunjangan, dan perusahaan tersebut tidak bertanggung jawab terhadap buruh yang dipekerjakan.
Para pekerja menjadi tanggung jawab Agency Outsourcing yang mengelola kontrak kerja buruh dengan perusahaan. Sistem ini ternyata tidak saja berlaku pada perusahaan asing, perusahaan swasta lokal tapi juga sudah merambah ke perusahaan dibawah naungan BUMN.
Dengan penerapan sistem ini jelas buruh kehilangan berbagai haknya, bahkan kadangkala jam kerjanya pun tidak terbatas, melebihi waktu jam kerja tidak mendapatkan apa-apa, maka dari itu penulis melihat sistem ini samahalnya dengan sistem perbudakan yang dikelola dalam kemasan moderen.
Buruh diperas tenaganya namun hasil yang didapat tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan. Alangkah tidak beradabnya kita memperlakukan manusia tapi tidak secara manusiawi. Prinsip ekonomi kapitalis, dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung yang sebesarnya, inilah yang sedang diterapkan oleh pemerintah Indonesia.
Jadi sangat wajar jika para buruh di hari May Day ini melakukan pemberontakan dan menuntut hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Yang jelas sistem kontrak Outsourcing sangatlah tidak manusiawi, tidak akan mensejahterakan kehidupan buruh.
Kalau pemerintah benar-benar berniat dan mempunyai perhatian terhadap kesejahteraan buruh, maka pemerintah harus menghapus sistem Outsourcing, atau minimal mengevaluasi sistem dan upah yang diberikan sesuai dengan skill dan kemampuan buruh.
Sistem ini hanya memberikan keuntungan sepihak, perusahaan tidak perlu memikirkan berbagai macam tunjangan, dan karyawan yang tidak profesional selesai masa kontrak tidak lagi diperpanjang, tanpa perlu memberikan pesangon dan lain sebagainya.
Padahal amanat Undang-undang tidaklah demikian, pemerintah harus senantiasa berpikir untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya, dengan memberikan upah yang layak agar para rakyatnya yang bekerja dapat hidup layak dan sejahtera, dan rakyat pun dengan segala loyalitasnya pada pemerintah.
Membantu pemerintah dalam meningkatkan perekonomian negara, buruh juga harus meningkatkan kemampuan untuk menaikkan tarap hidup.Â
Dengan sistem outsourcing ini jelas antara pekerja dan perusahaan terjadi gap, dan efeknya para pekerja menjadi tidak loyal pada perusahaan, dengan demikian kerja maksimal seperti yang diharapkan akan sulit untuk tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H