Oleh: Aji Muhammad Iqbal
Pengesahan Revisi Undang-Undang Minerba oleh DPR RI baru-baru ini membawa kekhawatiran yang cukup serius. Salah satu poin kontroversialnya adalah pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi, sebagaimana diatur dalam Pasal 51A ayat (1).Â
Kebijakan tersebut menimbulkan tanda tanya besar tentang arah masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Sebab berpotensi mengaburkan garis batas antara dunia akademik dan kepentingan bisnis.Â
Mirisnya, revisi UU ini dilakukan dengan tergesa-gesa, tanpa kajian mendalam dan minimnya partisipasi publik. Bahkan, RUU Minerba ini tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas), sehingga keputusan DPR terlihat ugal-ugalan dan kurang transparan.
Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi pusat ilmu pengetahuan justru akan diracuni oleh godaan aktivitas komersial. Kampus akan kehilangan hak moralnya untuk bicara bahaya bisnis ekstraktif bagi kerusakan lingkungan dan konflik horizontal.Â
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2024, industri pertambangan menjadi salah satu sektor dengan kontribusi besar terhadap konflik agraria di Indonesia. Sepanjang tahun 2024 saja, industri ini tercatat telah memicu sedikitnya 41 letusan konflik agraria, mencakup luas lahan sebesar 71.101,75 hektar, dan berdampak pada 11.153 kepala keluarga.
Konflik agraria paling banyak terjadi akibat operasi perusahaan di sektor nikel dan batubara. Industri batubara memunculkan 14 konflik agraria, sedangkan industri nikel memicu 11 kasus.Â
Selain itu, pertambangan emas (8 kasus), pasir (4 kasus), serta laterit, seng, tembaga, dan timah masing-masing memicu satu kasus. Kondisi ini menunjukkan, aktivitas eksploitasi sumber daya alam tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga memicu ketegangan sosial di berbagai daerah.
Di sisi lain, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai sekitar 4.000 kampus. Dengan jumlah kampus sebanyak itu, dikhawatirkan konflik agraria seperti ini akan semakin meluas, mengingat perguruan tinggi juga bisa menjadi aktor baru dalam perebutan lahan.
Hal Ini bukan hanya soal pergeseran fungsi dharma, tetapi juga ancaman serius terhadap ekosistem pendidikan. Konflik kepentingan akan bermunculan, komersialisasi pendidikan semakin tak terhindarkan, dan kerusakan lingkungan semakin menjadi-jadi.
Jika perguruan tinggi sampai disibukkan dengan aktivitas tambang, nilai-nilai akademik akan terancam. Kampus tidak lagi fokus pada riset yang berpihak pada masyarakat, tetapi malah berpihak pada korporasi dan segelintir pihak.Â
Sungguh nista jika alasan para elit politik adalah untuk membiayai pengelolaan kampus. Daripada membuka pintu bagi kampus untuk terjun ke tambang, pemerintah seharusnya mendukung riset yang berbasis solusi.
Misalnya riset AMDAL, untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Dengan begitu, kampus tetap dapat berkontribusi secara intelektual tanpa harus menodai martabatnya.
Terkait kebijakan ini, penulis mencium bau tak sedap akan gelagat elit politik di parlemen. Semacam ada itikad untuk membungkam suara kritis dari kampus. Padahal, kampus dan rakyat adalah ujung tombak penyeimbang kontrol pemerintah.Â
Namun, dengan kebijakan seperti ini, kampus justru akan menjadi mesin produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini membuka peluang bagi negara untuk terjebak dalam permainan oligarki demi kepentingan segelintir pihak, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Â
Jangan sampai perguruan tinggi kita kehilangan jati dirinya menjadi alat bagi kepentingan segelintir elit. Pada akhirnya, kapitalisasi pendidikan semakin tak terelakkan. Jika demikian, sungguh berat negeri ini!
Tabik!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI