Ada tombol dengan angka satu sampai dengan tiga terus kemudian loncat ke angka lima, enam dan tujuh. "Lha empatnya mana? tanya saya dalam hati.
Saya baru ingat, pasti gedung ini punya orang Tionghoa. Soalnya, angka empat dalam bahasa Mandarin pengucapanya terdengar mirip dengan kata "mati".
Yang saya dengar dari teman-teman Tionghoa, kata "mati"dihindari agar tidak merambat ke bisnis.
“Lha tapi ini kan gedung untuk ngurusin orang mati. Kok malah tidak berani pasang angka empat?” tanya saya lagi.
Setiba saya di lantai lima ternyata sudah penuh orang yang datang. Ada satu ruangan besar yang dipisahkan dengan tirai menjadi dua ruangan. Namun, keduanya penuh dengan orang orang yang mendoakan jenazah untuk dikremasi.
Saya perhatikan suasana upacara penghormatan jenazah tersebut. Ternyata untuk menghormati jenazah perlu ada master ceremony alias MC pemandu jalannya upacara.
Belum lagi ruangannya yang bersih ber AC membuat saya agak kedinginan. Peti jenazah juga bagus dan berhias dengan rangkaian bunga yang indah. Belum lagi speaker yang melantunkan instrument lagu lagu yang membuai. Saya malah tidak merasa seperti sedang melayat.
“Bu Yo.” Saya potong obrolan Bu Yohanes dan Cik Onny yang kebetulan duduk di belakang saya.
“Serasa tidak sedang melayat ya bu,” kata saya.
Bu Yo tersenyum,"Kenapa?”
“Kita ini kan sedang melayat tapi suasananya beda. Gedungnya bersih pakai AC. Terus, ada bunga. Bunganya juga enggak kalah sama pengantin. Ada MC-nya lagi. Malah seperti kondangan,” kata saya.