Mohon tunggu...
Thomas aji
Thomas aji Mohon Tunggu... -

numpang lahir di pyongyang bandtools gede di newyorkarto skrang bertahan hidup di njakarta dan ternyata tidak hanya sekedar hidup tapi bener bener hidup. Merdeka!!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ke Rumah Duka yang Tidak Berduka

5 September 2013   08:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:20 1785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa (3/9/2013) kemarin, saya pergi melayat Ibu Indrawati yang meninggal akibat leukemia beberapa hari sebelumnya. Semasa hidupnya Ibu Indrawati ini termasuk tokoh penggerak pelayanan di Paroki Santo Paskalis.

Sudah barang tentu, kabar kematiannya membuat umat berduka. Umat datang menghormati beliau dengan melayat serta mendoakannya.

Saya pun termasuk yang terkesan dengan semangat beliau. Namun, lantaran sibuk, saya tidak sempat melayat ke rumah duka Gatot Subroto. Saya baru sempat melayat ketika jenazah almarhumah disemayamkan di gereja  Paskalis. Itu pun, saya datang  terlambat.

Ya sudah, akhirnya saya putuskan berdoa sejenak dan bertemu dengan keluarga bapak Iemawan, suami almarhumah. Saya menyampaikan salam hormat sekaligus turut berduka cita yang mendalam.

Setelah upacara  selesai sekitar jam 09.00  WIB saya ikut rombongan mengantarkan jenazah ke krematorium. Dalam bayangan saya, krematoriumnya seperti yang ada di daerah Cilincing. Beberapa tahun lalu ketika saya pertama kali datang, proses kremasi jenazah rekan saya masih menggunakan kayu bakar. Proses itu memakan waktu yang cukup lama.

Krematorium Cilincing seperti rumah atau bangunan tua zaman dahulu. Tak cuma itu, suasananya membuat bulu kuduk saya agak merinding.

Setiba di Krematorium Heaven di daerah Pluit, tempat pembakaran jenazah Ibu Indrawati, saya agak terkejut. Ternyata bayangan saya keliru. Bangunan krematorium itu justru tampak megah layaknya gedung perkantoran. Tidak tampak menyeramkan.
Saya lihat dari kaca, mbak-mbak petugasnya cantik dan pakai seragam rapi.

Belum lagi, lantai serta dindingnya pakai keramik lebar. "Mahal pastinya,"gumam saya.

Terus, jangan tanya pintu liftnya! Kayaknya, lalat bisa terpeleset kalau menyenggol pintu lift saking kinclongnya.
Begitu masuk lift yang ternyata muat cukup banyak orang terdengar perintah,“Lantai lima…lantai lima. Pencet lima!”  maksudnya tombol angka lima.

“Tinggi juga gedungnya ya.” Dalam hati terkagum-kagum.

Saya masih memerhatikan tombol-tombol lift. Kok angkanya tidak berurutan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun