Selasa (3/9/2013) kemarin, saya pergi melayat Ibu Indrawati yang meninggal akibat leukemia beberapa hari sebelumnya. Semasa hidupnya Ibu Indrawati ini termasuk tokoh penggerak pelayanan di Paroki Santo Paskalis.
Sudah barang tentu, kabar kematiannya membuat umat berduka. Umat datang menghormati beliau dengan melayat serta mendoakannya.
Saya pun termasuk yang terkesan dengan semangat beliau. Namun, lantaran sibuk, saya tidak sempat melayat ke rumah duka Gatot Subroto. Saya baru sempat melayat ketika jenazah almarhumah disemayamkan di gereja Paskalis. Itu pun, saya datang terlambat.
Ya sudah, akhirnya saya putuskan berdoa sejenak dan bertemu dengan keluarga bapak Iemawan, suami almarhumah. Saya menyampaikan salam hormat sekaligus turut berduka cita yang mendalam.
Setelah upacara selesai sekitar jam 09.00 WIB saya ikut rombongan mengantarkan jenazah ke krematorium. Dalam bayangan saya, krematoriumnya seperti yang ada di daerah Cilincing. Beberapa tahun lalu ketika saya pertama kali datang, proses kremasi jenazah rekan saya masih menggunakan kayu bakar. Proses itu memakan waktu yang cukup lama.
Krematorium Cilincing seperti rumah atau bangunan tua zaman dahulu. Tak cuma itu, suasananya membuat bulu kuduk saya agak merinding.
Setiba di Krematorium Heaven di daerah Pluit, tempat pembakaran jenazah Ibu Indrawati, saya agak terkejut. Ternyata bayangan saya keliru. Bangunan krematorium itu justru tampak megah layaknya gedung perkantoran. Tidak tampak menyeramkan.
Saya lihat dari kaca, mbak-mbak petugasnya cantik dan pakai seragam rapi.
Belum lagi, lantai serta dindingnya pakai keramik lebar. "Mahal pastinya,"gumam saya.
Terus, jangan tanya pintu liftnya! Kayaknya, lalat bisa terpeleset kalau menyenggol pintu lift saking kinclongnya.
Begitu masuk lift yang ternyata muat cukup banyak orang terdengar perintah,“Lantai lima…lantai lima. Pencet lima!” maksudnya tombol angka lima.
“Tinggi juga gedungnya ya.” Dalam hati terkagum-kagum.
Saya masih memerhatikan tombol-tombol lift. Kok angkanya tidak berurutan?