Mohon tunggu...
Dayangsumbi
Dayangsumbi Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Musik, Filosofi

Blogger Writer and Amateur Analys, S.Komedi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fenomenologi Ontologi Sartre dan Kritik Ali Syariati dalam Epistemologi Kembali Fitrah

1 Mei 2022   02:20 Diperbarui: 19 Mei 2022   16:16 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrator : Freepic

Manusia memiliki berbagai sebutan yang dianugerahi oleh Allah padanya. Apa saja sebutan itu dalam terminologi Al-Qur'an yang di sampaikan Ari Syariati dalam membahas hal-hal ikhwal yang ada di dalam konteks Filsafat terutama Filsafat Eksistensialisme.

Manusia dalam Al Qur'an disebut juga Ins, Insan, Basyar, Anam dan Naas.

Ins, yang berarti jinak, ramah dan menyenangkan merupakan bentuk dasar dari mental manusia, berbeda dengan teori John Lock bahwa manusia tidak memiliki mental bawaan (Tabula rasa). 

Nampaknya dugaan saya ins inilah bentuk dasar dari mental manusia sebagai makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa berdampingan dengan orang lain. Bawaan dasar yang belum tercampur dengan pengalaman dan persepsi hidupnya.

Insan, dihubungkan dengan bagian dada sampai kepala seperti kecerdasan atau daya intelek dan kesadaran. Insan berarti manusia yang memiliki kecerdasan dan kesadaran akan kehendaknya. 

Hal ini menurut beberapa sumber yaitu atribut akal dan qalb. Dalam Alquran menurut M. Quraish Shihab, kata insan digunakan untuk menunjukkan manusia dengan seluruh totalitas, jiwa dan raga. Perbedaan antara sesama itu karena perbedaan fisik, mental dan kecerdasan

Basyar, dihubungkan dengan bagian perut hingga kebawah yaitu seperti daya pendorong atau nafsu contohnya rasa lapar dan haus serta hasrat untuk bereproduksi. 

Mengambil Dalam filosofi ibnu sina, basyar dibagi menjadi 2, yaitu sifat hewani dan sifat nabati. Daya  hewani yaitu meliputi daya penggerak dan mengetahui (Instingtif). Daya nabati yaitu daya makan, tumbuh dan berkembang. Basyar ini yang jika kita tidak kontrol akan menjadi liar dan jatuh pada keadaan berlebihan. Basyar menurut Ali Syariati dalam hal ini merupakan atribut biologis dan fisiologis.

Eksistensi manusia menurut Jean Paul Sastre yaitu Being in it self dan being for it self. Senada dengan penyebutan manusia dalam Al Qur'an yaitu anam menurut Az-Zabidi bentuk dasarnya anama yang artinya mengembang atau yang diistilahkan dalam filsafat adalah mengada di dalam dirinya sendiri (Being in it self). 

Namun yang di ambil dari gagasan satre bukan pada bahwa manusia tanpa fundamen dan tanpa diciptakan. Tetapi, mengambil istilah Sartre juga, yaitu keadaan mengada manusia secara tidak sadar sehingga ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. 

Manusia juga memiliki kesatuan dengan dirinya sendiri seperti hewan, tumbuhan dan bintang-bintang. Dalam Lisanul Arab dijelaskan bahwa istilah anam digunakan oleh kalangan Arab untuk merujuk semua mahluk hidup di bumi ini termasuk juga manusia.

Namun, tak luput juga manusia makhluk yang terus bergerak menjadi (Becoming) dalam istilah bahasa arab istilah manusia ini yaitu naas kata ini berasal dari nawasa artinya bergerak, tidak menetap pada satu keadaan, bimbang. Dalam istilah filsafat Sartre yaitu being for it self. Being for it self menurut Sartre adanya yang berkesadaran dan itu merupakan jarak. Karena becoming-nya ini manusia mempunyai keinginan untuk memiliki identitas atau makna pada eksistensinya.

Manusia memiliki identitas yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai khalifatullah. Relasi interaksi 2 identitas ini disebut Habluminallah wa habluminannas. 

Dalam menjalani keduanya menurut Ali Syariati manusia di anugerahi 3 karakteristik yaitu insan (Intelek dan kesadaran), iradah (Kehendak bebas) dan daya kreasi (Daya cipta). Allah memberikan sifatNya yaitu Iradah pada manusia untuk kepentingan manusia di muka bumi. Namun, Allah tetaplah mukhalafatu lil hawaditsi.

Ke-tiga karakteristik ini berfungsi pada semestinya yaitu untuk berdzikir (Mengingat) Allah. Pertama, Insan, daya intelek dan kesadaran ini yang membuat pengetahuan berkembang dinamis dan pesat. Hal ini pula yang seharusnya mendekatkan diri kita kepada pengetahuan sejati, pengetahuan yang bersumber pada guru pertama bagi bani adam yaitu Allah SWT.

Yang kedua, Kehendak bebas, hal ini hanya terbatas pada akankah mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangannya, yaitu dengan mendekatkan diri pada apa yang benar lagi baik juga indah bagi Allah atau sebaliknya mengkehendaki sesuatu yang dimurkai Allah.

Dan yang ketiga, daya kreasi (Daya cipta), manusia produktif merupakan seseorang yang memiliki daya kreasi atau cipta sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya serta orang lain. 

Menurut Nabi muhammad mukmin yang paling baik yaitu yang bermanfaat bagi sekitarnya. Islam memberikan banyak pelajaran bagi manusia produktif yaitu orang yang beramal saleh dan kesalingan menasihati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kebenaran. Dan Menggunakan baik-baik waktunya untuk amal saleh yaitu beribadah mengumpulkan bekal kita menghadap Allah SWT.

Ketiganya ini merupakan kesadaran menjadi (Becoming) dalam menuju identitas manusia yang hakiki.

Setelah kita melakukan ibadah dibulan ramadhan ini, melakukan ibadah puasa dan ibadah lainnya untuk dapat men-de-dominasi daya basyar kita, apakah kita akan dapat kembali kepada fitrah namun yang jadi pertanyaan pada kali ini adalah apa itu fitrah ?

Basyar (Ego), hasrat bawaan manusia yang mesti dikontrol supaya kita dapat kembali kepada fitrah. Basyar ini merupakan bagian dari manusia yang paling menawan atau memenjarakan manusia. Ali Syariati menyebutnya The dark recesses of his lower self, yang menjadikan manusia tawanan paling rendah dan lumpur yang busuk.

Meskipun merupakan penjara paling buruk, kebangkitan manusia dari model penjara ini adalah model perjuangan yang paling menantang dan terjal karena pertama-tama hal ini sulit diatur dan dideteksi kedalam kategori kepastian, walau sangat dekat dan bagian dari manusia, basyar merupakan hal yang signifikan dalam menentukan kejatuhan manusia kedalam situasi batas yang paling pedih dan dalam, atau menurut Ali Syariati merupakan kesatuan antara penjara dan tawanan, sulit dibedakan satu sama lain dan selalu ada mengiringi hidup manusia.

Kebebasan Eksistensialisme bagi Sartre hanya berlaku pada keberadaan yang disebut being-for-itself, bukan being-in-itself yang ada begitu saja tanpa melekat predikat semacam aktif-pasif, positif-negatif, hidup-mati dan sejenisnya, yang memberikan notifikasi keadaan yang dapat bergerak dan berubah. Manusia sebagai kategori being-for-itself  merupakan keberadaan yang bukan sekedar ada tetapi juga mampu menyadari keberadaan yang lain dalam ruang lingkup kesadaran relasi dengan yang lain. Dasar inilah yang menjadi prasyarat bagi manusia untuk mengatakan " saya ada dan sekaligus bukan 'lukisan' yang membuatnya mampu menentukan  cara mengadanya di dunia.

Kemampuan being inilah yang hanya dimiliki manusia, kualitas inilah yang tidak dimiliki oleh binatang, tumbuhan dan bintang-bintang yang hanya sekedar ada, wujud-wujud ini tidak memiliki kebebasan untuk bergerak menuju suatu titik aktual yang menjadi tujuan penyempurnaannya.

Bagi Syariati, manusia yang being atau menyadari keberadaannya ini, maka inilah yang disebut Insan. Manusia yang bergerak dari titik materialis biologisnya (Basyar) menuju tujuan penyempurnaan dirinya menjadi (Insan) sehingga layak disebut khalifah. Pergerakan inilah yang disebut naas, yaitu manusia yang bergerak atau berproses menyadari keberadaannya dari titik basyar menuju insan.

Sebaliknya, manusia yang berdiam diri tenggelam dalam dimensi basyar-nya belaka tanpa menjadi naas dan menuju menjadi insan akan berderajat sama seperti yang disebut anam atau sama dengan semua makhluk yang ada dimuka bumi, yaitu binatang, tumbuh-tumbuhan dan bintang-bintang bahkan dapat lebih rendah dari wujud-wujud itu.

Lalu, setelah menjadi insan kemanakah arah manusia mengerahkan kemampuan menjadinya atau kemanakah gerak arah insan yang menyempurnakan dirinya ? Disinilah kritik Ali Syariati kepada Sartre dan juga Nietzsche yang merumuskan Being dari kebebasan tindakan manusia tanpa arah dan tujuan (Absurdism dan nihilism). Disinilah letak fundamental dari eksistensialisme Ali Syariati, yaitu bahwa tujuan kemenjadian manusia itu adalah Allah itu sendiri.

Meski menggunakan pengandaian suatu tujuannya kepada Allah, Syariati tidak sependapat dengan pandangan sufistik, yaitu pandangan yang menjadikan Allah sebagai titik final penyempurnaannya atau Innalillahi wa inna ilaihi rojiun sebagai suatu perjalanan "kedalam Allah". Menurut Syariati kata Ilaihi sebagai "kepadaNya", seperti penafsiran konvensional ulama.

Arti dari ini, pengandaian Ali Syariati bahwa penyempurnaan manusia tidak berada didalam suatu pusat titik yang menjadi titik akhir, tetapi suatu proses perjalanan yang terus menerus bagi manusia di dalam alam ketuhanan yang maha luas. Itulah makna khalifah, wakil Tuhan yang senantiasa meminta kepada Allah untuk petunjuk jalan yang lurus terus menerus.

Perjalanan manusia menuju penyempurnaannya bukan tanpa hambatan sebelumnya. Manusia dari titik basyar menuju insan harus melalui titik naas yaitu suatu gerakan atau proses penyadaran dirinya bahwa ia merupakan hamba Allah sehingga menjadi insan. Namun proses itu bukanlah akhir, ia mesti tetap "kembali kepadanya" dan meminta petunjuk jalan yang lurus terus menerus, mesti melawan sekaligus membebaskan dirinya dari penjara basyar. Tanpa pernah melangkah keluar, berproses keluar dari situasi batas tersebut (Basyar), maka manusia akan teralienasi dan terdehumanisasi dari amanah yang diberikan kepadanya.

Oleh sebab itu ada istilah dalam menyambut 1 syawal, kita kembali fitrah berulang-ulang selama setelah bulan suci Ramadan dan sepanjang hidup manusia dimuka bumi. Kembali fitrah mengambil dari argumen sebelumnya yaitu merupakan keadaan kesadaran diri untuk terus melampaui basyar menjadi naas, sehingga dapat menjadi manusia yang diinginkan Allah yaitu sebagai insan, iradah dan memiliki daya kreasi (Cipta). Namun, insan, iradah, serta memiliki daya kreasi (Cipta) bukan puncak akhir, puncak akhir adalah untuk terus menerus berkesadaran kembali kepadaNya. Tanpa melupakan perihal ins, kembali fitrah juga merupakan kemenjadian manusia yang berkesadaran akan keramahan pada yang lainnya, bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Kesadaran-kesadaran ini perlu dilakukan oleh masyarakat sehingga kita tidak terjebak pada basyar sehingga tergelincir derajatnya kepada sama dengan para binatang, tumbuhan dan bintang-bintang (Sama dengan seluruh makhluk ciptaan Allah) bahkan dapat lebih rendah dari wujud-wujud itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun