Mohon tunggu...
Dayangsumbi
Dayangsumbi Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Musik, Filosofi

Blogger Writer and Amateur Analys, S.Komedi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fenomenologi Ontologi Sartre dan Kritik Ali Syariati dalam Epistemologi Kembali Fitrah

1 Mei 2022   02:20 Diperbarui: 19 Mei 2022   16:16 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun merupakan penjara paling buruk, kebangkitan manusia dari model penjara ini adalah model perjuangan yang paling menantang dan terjal karena pertama-tama hal ini sulit diatur dan dideteksi kedalam kategori kepastian, walau sangat dekat dan bagian dari manusia, basyar merupakan hal yang signifikan dalam menentukan kejatuhan manusia kedalam situasi batas yang paling pedih dan dalam, atau menurut Ali Syariati merupakan kesatuan antara penjara dan tawanan, sulit dibedakan satu sama lain dan selalu ada mengiringi hidup manusia.

Kebebasan Eksistensialisme bagi Sartre hanya berlaku pada keberadaan yang disebut being-for-itself, bukan being-in-itself yang ada begitu saja tanpa melekat predikat semacam aktif-pasif, positif-negatif, hidup-mati dan sejenisnya, yang memberikan notifikasi keadaan yang dapat bergerak dan berubah. Manusia sebagai kategori being-for-itself  merupakan keberadaan yang bukan sekedar ada tetapi juga mampu menyadari keberadaan yang lain dalam ruang lingkup kesadaran relasi dengan yang lain. Dasar inilah yang menjadi prasyarat bagi manusia untuk mengatakan " saya ada dan sekaligus bukan 'lukisan' yang membuatnya mampu menentukan  cara mengadanya di dunia.

Kemampuan being inilah yang hanya dimiliki manusia, kualitas inilah yang tidak dimiliki oleh binatang, tumbuhan dan bintang-bintang yang hanya sekedar ada, wujud-wujud ini tidak memiliki kebebasan untuk bergerak menuju suatu titik aktual yang menjadi tujuan penyempurnaannya.

Bagi Syariati, manusia yang being atau menyadari keberadaannya ini, maka inilah yang disebut Insan. Manusia yang bergerak dari titik materialis biologisnya (Basyar) menuju tujuan penyempurnaan dirinya menjadi (Insan) sehingga layak disebut khalifah. Pergerakan inilah yang disebut naas, yaitu manusia yang bergerak atau berproses menyadari keberadaannya dari titik basyar menuju insan.

Sebaliknya, manusia yang berdiam diri tenggelam dalam dimensi basyar-nya belaka tanpa menjadi naas dan menuju menjadi insan akan berderajat sama seperti yang disebut anam atau sama dengan semua makhluk yang ada dimuka bumi, yaitu binatang, tumbuh-tumbuhan dan bintang-bintang bahkan dapat lebih rendah dari wujud-wujud itu.

Lalu, setelah menjadi insan kemanakah arah manusia mengerahkan kemampuan menjadinya atau kemanakah gerak arah insan yang menyempurnakan dirinya ? Disinilah kritik Ali Syariati kepada Sartre dan juga Nietzsche yang merumuskan Being dari kebebasan tindakan manusia tanpa arah dan tujuan (Absurdism dan nihilism). Disinilah letak fundamental dari eksistensialisme Ali Syariati, yaitu bahwa tujuan kemenjadian manusia itu adalah Allah itu sendiri.

Meski menggunakan pengandaian suatu tujuannya kepada Allah, Syariati tidak sependapat dengan pandangan sufistik, yaitu pandangan yang menjadikan Allah sebagai titik final penyempurnaannya atau Innalillahi wa inna ilaihi rojiun sebagai suatu perjalanan "kedalam Allah". Menurut Syariati kata Ilaihi sebagai "kepadaNya", seperti penafsiran konvensional ulama.

Arti dari ini, pengandaian Ali Syariati bahwa penyempurnaan manusia tidak berada didalam suatu pusat titik yang menjadi titik akhir, tetapi suatu proses perjalanan yang terus menerus bagi manusia di dalam alam ketuhanan yang maha luas. Itulah makna khalifah, wakil Tuhan yang senantiasa meminta kepada Allah untuk petunjuk jalan yang lurus terus menerus.

Perjalanan manusia menuju penyempurnaannya bukan tanpa hambatan sebelumnya. Manusia dari titik basyar menuju insan harus melalui titik naas yaitu suatu gerakan atau proses penyadaran dirinya bahwa ia merupakan hamba Allah sehingga menjadi insan. Namun proses itu bukanlah akhir, ia mesti tetap "kembali kepadanya" dan meminta petunjuk jalan yang lurus terus menerus, mesti melawan sekaligus membebaskan dirinya dari penjara basyar. Tanpa pernah melangkah keluar, berproses keluar dari situasi batas tersebut (Basyar), maka manusia akan teralienasi dan terdehumanisasi dari amanah yang diberikan kepadanya.

Oleh sebab itu ada istilah dalam menyambut 1 syawal, kita kembali fitrah berulang-ulang selama setelah bulan suci Ramadan dan sepanjang hidup manusia dimuka bumi. Kembali fitrah mengambil dari argumen sebelumnya yaitu merupakan keadaan kesadaran diri untuk terus melampaui basyar menjadi naas, sehingga dapat menjadi manusia yang diinginkan Allah yaitu sebagai insan, iradah dan memiliki daya kreasi (Cipta). Namun, insan, iradah, serta memiliki daya kreasi (Cipta) bukan puncak akhir, puncak akhir adalah untuk terus menerus berkesadaran kembali kepadaNya. Tanpa melupakan perihal ins, kembali fitrah juga merupakan kemenjadian manusia yang berkesadaran akan keramahan pada yang lainnya, bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Kesadaran-kesadaran ini perlu dilakukan oleh masyarakat sehingga kita tidak terjebak pada basyar sehingga tergelincir derajatnya kepada sama dengan para binatang, tumbuhan dan bintang-bintang (Sama dengan seluruh makhluk ciptaan Allah) bahkan dapat lebih rendah dari wujud-wujud itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun