“Jun, dunia sudah sakit, kehidupan juga sudah betapa absurdnya itu. Kau akan memilih mati atau menikmati teh bersama-ku nanti ?”
“Biar dunia meluncur ke neraka, aku akan harus selalu menikmati teh-ku, bersamamu. Biarkan dunia tenggelam bersama kesakitannya. Di perlukan kecerdasan untuk bertindak secara cerdas. Mungkin aku benar-benar menganggap diriku seorang yang intelek hanya karena sepanjang hidupku, aku tak pernah memulai atau menyelesaikan sesuatu. Ya! orang pintar tidak bisa menjadi apapun secara serius, hanya orang bodoh yang bisa menjadi sesuatu. Karena dia bersungguh-sungguh ingin menghilangkan kebodohannya dan terus menambah kemampuannya dan ia tak banyak berpikir untuk memutuskan”
“Jun, Kita hanya senang menunggu hasil, padahal setiap yang kita lakukan selalu memiliki sisi positif dan negatif. Kita tahu bahwa ketika kita sedang jatuh hati pasti akan ada sakit hati, tapi kenapa kita selalu mengulang hal yang sama dan senantiasa menunggu hasilnya.”
“Sudahlah Tyo, Jadilah cahaya maka semua orang akan merasakan kehadiranmu.”
Jun memasuki perkarangan rumahnya. Tyo pun bergegas menyalakan motornya dan melaju dengan cepat untuk pulang, padahal rumahnya, ada di sana, di hati Juni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H