Pembahasan tentang filsafat selalu terkait dengan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Hal ini merupakan yang paling umum dan sering dipelajari dalam filsafat. Namun, apakah kita sudah mengetahuinya ? Sebenarnya apa sih ketiga hal itu ? Bersumber dari buku Saku Filsafat Islam kita akan membahasnya, terutama pandangan-pandangan Suhrawardi tentang Ontologi apa itu ?
Ontologi
Ontologi adalah suatu ilmu yang membahas esensi/hakikat, substansi, kuiditas dan eksistensi sesuatu yang ada; wujud (eksistensi) dan maujud (eksisten).
Esensi/kuiditas adalah hakikat suatu materi atau immaterial yang memiliki satu nilai yang penting. Esensi bergantung dengan eksistensi sehingga jelaslah bayangan, batas atau tepiannya.
Substansi adalah suatu materi atau immaterial yang memiliki nilai dasar (kuiditas). Namun juga memiliki empat kategori aksiden yang berubah yaitu kualitas (kamm), kuantitas (kaif), posisi (wadh) dan tempat (ain). Keberadaan aksiden tergantung keberadaan substansi.
Kuiditas qua kuiditas, artinya tanpa eksistensi dan itu tidak memiliki efek, eksistensial lah yang memberikan efek bukan kuiditas. Jika tidak ada realitas yang dapat mempersatukan kuiditas-kuiditas yang berbeda dan menggabungkannya kita tidak dapat mempredikatkan satu kuiditas dengan kuiditas lain dalam satu pernyataan.
Eksistensial/Wujud terbagi menjadi 3, Realitas wujud, ambiguitas wujud, gerak substansial.
Realitas wujud, Wujud (eksistensi) adalah realitas yang menyusun maujud (eksisten). Jadi bisa dibilang maujud ini adalah luaran dari wujud. Pada realitas luarannya tidak lain adalah aksiden yang mengubah dan membatasi realitas tunggal, yaitu wujud. Wujud ini menjadi berbagai maujud yang tak terhitung jumlahnya. “Wujud” dalam pengertian inilah yang sesungguhnya melandasi semua realitas, entah konkret (material) atau abstrak (immaterial).
Ambiguitas Wujud, merupakan realitas yang muncul berdasarkan gradasinya. Ada Cahaya: Cahaya matahari, cahaya lilin, cahaya lampu. semuanya satu wujud/realitas yaitu cahaya tapi dengan predikat yang berbeda (matahari, lilin dan lampu). Wujud ini memiliki tingkatan dan gradasinya masing-masing. Ini terjadi di eksistensial bukan di esensi.
Gerak Substansi, Gerak Substansi dimana maujud selalu bergerak atau berpindah dari tingkatan-tingkatannya yang menyebabkan ambiguitas wujud. Maujud tidak selalu dalam keadaan tetap (being) melainkan selalu berkembang (becoming). Maujud selalu bergerak atau berubah dari keadaan sebelumnya, sekarang dan yang akan datang, perubahan itu bersifat berkesinambungan. Maujud ini dibedakan dengan benda mati yang keadaannya tetap (being) dan bersifat deterministik. Manusia sebagai makhluk hidup yang bebas dan memiliki karsa dan potensi yang nyaris tak terbatas selalu bergerak dengan tingkatan eksistensialnya berdasarkan mental-spiritualnya (becoming).
Epistemologi, menurut Filsafat Hikmah
Epistemologi tak bisa dipisahkan dari ontologi, proses mengetahui terjadi dengan kehadiran wujud obyek itu sendiri di dalam diri subyek. Dalam hal ini subyek dan obyek pemgetahuan menjadi satu. Maka proses mengetahui ini identik dengan meng-ada.
Epistemologi yang berbasis melalui intuisi, yakni penyaksian batin, cita rasa, pencerahan, kehadiran. Dalam proses mengetahui ini pertama-tama menganalisa keadaan diri baik dari internal maupun eksternal (who am i). Salah satu contohnya seperti pencarian dari Strength, Weakness, Opportunity, Threatening. Strength harus dikaitkan dengan Opportunity, sedangkan Weakness dengan Threatening, yang didapat dari perasaan dan pengalaman kita. Kesemua pengetahuan itu bersifat langsung tanpa adanya representasi dalam pikiran subyek yang mengetahui, supaya, tidak menimbulkan regresi tanpa ujung. Kebenaran-kebenaran primer yang menjadi landasan dan premis dalam prosedur berpikir logis pasti dibutuhkan. Demikian pula pikiran tentang mengetahui diri kita (aku) sendiri. Ketika kita berpikir tentang diri kita, maka pada saat itu pengetahuan tentang diri kita sudah ada. Karena pengetahuan ini diraih secara eksperensial jadi terbebas dari benar salah, karena bersifat eksistensial. Namun ketika sudah direnungkan kembali dan diungkapkan maka ia terbuka atas kemungkinan salah karena sudah menjadi representasional dari hudhuri menjadi hushuli.
Aksiologi
Aksiologi terbagi menjadi dua yaitu etika dan estetika, ilmu ini biasanya terkait dengan ilmu praktis namun didasari pada filsafat teoritis.
Etika pada umumnya identik dengan moral atau moralitas, meskipun keduanya identik dengan tindakan baik-buruk manusia. Perbedaannya yaitu, jika moral membahas tindak-tanduk manusia itu sendiri, maka etika adalah ilmu yang membahas tentang yang baik dan yang buruk yang bersifat teknis filosofis.
Estetika merupakan ilmu yang mempelajari tentang keindahan bagaimana suatu sikap benar dan baik juga memiliki nilai-nilai yang disebut bagus dan indah.
Nilai-nilai dari etika dan estetika ini bisa kita terapkan dalam rangka menganalisa hubungan antar manusia, seperti kerjasama tim, Bagaimana kerja sama tim yang baik yang didasari pada tindakan politis yang tidak saling merugikan ?
Begitu juga dengan estetika, keakraban dengan teman merupakan hal yang paling kita senangi tetapi bagaimana keakraban itu tidak menjadi boomerang bagi hubungan kita dengan teman. Sikap kritis kita dipakai disini yaitu dengan mengetahui batas-batas apa yang tidak disukai dan disukai, kita dapat dikatakan mencintai jika kita satu sama lain saling mengetahui batas-batas yang tidak mengenakan bagi diri.
Dalam memulai pertemanan pengetahuan akan hal-hal yang disukai maupun yang tidak disukai pada seseorang mulai terlihat seiring berjalannya waktu, ini bukan tentang makanan yang dia sukai, hobi yang dia cintai namun menyangkut perasaan dalam hatinya yang menjadi batas-batas supaya relasi itu tetap sehat. Kita juga gak maukan dibilang monster atau zombi karena diri kita gak punya kesadaran akan perasaan terhadap diri kita sendiri mau pun pada orang lain. Hal ini harus dapat kita baca pada saat kita mulai menjalin relasi itu. Sikap kritis kita dalam membaca dan memahami hal-hal yang tampak maupun samar-samar digunakan demi terciptanya relasi yang sehat.
Sikap kritis untuk menilai suatu etika dan estetika yang benar baik bagus yaitu sikap berada di tengah, tidak kurang tidak lebih. Seperti dalam nichomachean ethic menurut aristoteles juga menurut para filosof muslim yaitu kebijaksanaan moderasi (al hadd al wasath) seperti aliran asy'arisme maupun maturidi. Menurut mu'tazilah kebaikan dan keburukan bersifat rasional dan intrinsik dalam fitrah manusia walaupun tidak kemudian kitab suci dan tradisi kenabian dihilangkan. Namun, menurut asy'ariah kebaikan dan keburukan ditentukan oleh institusi agama dan tak mesti rasional (walaupun terkadang rasional diperlukan).
Menurut tradisi platonik yang bersumber pada aristoteles akal dibedakan menjadi dua yaitu akal praktis dan teoritis, akal teoritis merupakan akal rasional yang lebih bersifat intelektual meski tidak terpisah dari akal teoritis pada kebijaksaan inilah akal praktis bersumber. Akal praktis juga ditentukan oleh kepemilikan habit, kecenderungan etis yang merupakan hasil dari latihan perilaku baik dan buruk.
Filosof yang menulis di bidang ini, termasuk Al-Kindi, Abu Bakar Al-Razi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Miskawaih, Nasr Al-Din Al-Thusi, dan sebagainya — umumnya selalu membahas daftar sifat baik dan sifat buruk. Dalam daftar sifat baik ini biasanya tercakup: moderasi (ta‘dîl), yakni sifat pertengahan dalam segala hal dan perkawanan (dengan anak, pasangan, kerabat, masyarakat, dan seterusnya). Ibn Sina, misalnya, merinci sifat-sifat baik itu ke dalam: kesabaran, keberanian, kebijaksanan, kedermawanan, kemurahhatian, kesediaan memaafkan, keteguhan hati, kerendahhatian dan kesetiaan pada janji. Mudah diduga bahwa lawan dari sifat-sifat itu identik dengan sifat-sifat buruk. Setelah itu, biasanya diungkap teknik-teknik menanamkan sifat-sifat baik dan melakukan terapi atas sifat-sifat buruk.
Selain membahas etika baik-buruk, tema kebahagian juga mendominasi disertakan dalam pembahasannya. Masalah ini di mulai dengan pembahasan unsur-unsur yang menyusun kebahagiaan seperti apa itu kebahagiaan ? Apa yang menyebabkan orang bahagia ? Para filosof muslim biasanya membagi tiga tingkatan kebahagiaan: pertama, kebahagiaan yang bersifat badani. Kedua, kebahagiaan yang lebih tinggi dan memuaskan yaitu kebahagiaan yang bersifat intelektual. Yang ketiga kebahagiaan spiritual atau kebahagiaan illahi. Puncak dari kebahagiaan ini yaitu kecintaan kita kepada Tuhan. Ibnu Miskawaih mencirikan tanda-tanda bahwa seseorang itu bahagia sebagai berikut: penuh energi, optimistis, penuh keyakinan, tabah/ulet, murah hati, memiliki sikap istiqamah, dan rela (qanâ‘ah). Mudah diduga bahwa sifat-sifat baik mendukung pada peraihan kebahagiaan dan sifat-sifat buruk menjauhkan orang darinya.
Pembahasan yang tidak terlewatkan juga yaitu pembahasan tentang apa saja yang merusak kebahagiaan, termasuk kehilangan milik kita yang berharga seperti kehilangan orang-orang yang kita cintai dan harta. Serta perasaan takut mati.
Terapi terhadap orang yang memiliki gangguan kebahagiaan ini umumnya mengambil bentuk apathea, yakni pelepasan dari keterikatan dan kesibukan duniawi dan jebakan-jebakan nafsunya. Juga kesadaran bahwa musibah dan hal-hal yang tidak kita inginkan sudah merupakan sifat bawaan atau kodratullah penciptaan dan dengan demikian orang harus siap menerima dan menghadapinya. Sedang takut akan kematian adalah kesadaran bahwa kematian adalah niscaya dan itu membawa kita pada keadaan yang lebih tinggi. Ada adagium tentang ini, "ketika kita hidup kematian belum datang dan ketika kematian datang kita sudah tiada".
Itulah ulasan mengenai nilai pokok filsafat islam yang dapat kita pelajari. Dari membahas Ontologi, esensi dan substansi yang terkait dengan proses meng-ada (eksistensial). Lalu, epistemologi proses pencarian untuk dapat mengetahui tentang meng-ada itu baik wujud maupun maujud. Sehingga kita dapat mengidentifikasi nilai dan dampak dari pengetahuan tentang meng-ada itu (aksiologi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H