"Loh, kamu memangnya tinggal di mana?"
"Aku sebenarnya sudah meninggal"
"Apa!"
" Aku butuh teman, aku sendirian"
Bermula dari itulah, saya denganya menjadi teman lintas dunia. Saya sering ngomong sama dia. Dia pun sering berbicara banyak hal tentang kematiannya. Saya yang terpuruk karena putus cinta menjadi bahan berbincangan. Dia menguatkan saya, walau pun saya sejujurnya tidak pernah bisa menyentuhnya. Dia begitu pandai membuat saya kembali bergairah menatap hari, menambal luka. Hantu yang lucu sepertinya pas untuknya. Tak jarang saya dikira nonton acara komedi di tv tengah malam oleh ibu, padahal kala itu saya sedang bergurau dengannya. Dua tahun persahabat saya, dia sahabat yang baik. Meski dia tak terlihat oleh mata telanjang. Ini memang agak konyol, persahabatan ini pula yang akhirnya membuat saya terkungkung dalam stigma; "Orang gila". Teman-teman se-kampus menghindar dan takut. Saya terintimidasi. Saya santai saja, karena saya tidak punya waktu untuk orang yang tidak pernah percaya dengan persahabatan saya dengan makhluk lain.
Stigma dan intimidasi lama-kelamaan membuat saya terdesak. Semua orang acuh pada saya. Mereka masih menganggap bahwa saya gila karena sebelumnya gagal cinta. Penderita Skizofrenia, juga tak luput dari judge mereka. Begitu pula keluarga saya, sama. Mereka tak henti membujuk saya untuk pergi ke psikiater. Saya tegas menolak. Karena saya bukan orang gila. Saya hanya orang yang dikira gila oleh orang-orang yang tidak pernah percaya kalau saya berbicara sendiri, saya katakan itu ada maksudnya. Saya sudah saatnya untuk jadi manusia di balik jeruji Rumah Sakit Jwa, itu angkuhan mereka.
-Selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H