Mohon tunggu...
Ajie Buhron
Ajie Buhron Mohon Tunggu... -

Seorang yang telah lulus jurusan Hukum Internasional, yang menyukai hal-hal berkenaan dengan perkembangan dunia militer dan hubungan internasional, penikmat "video games", pecinta "super car", kini baru mendapatkan gelar "master" dalam bidang "International Law and Law of International Organization" dari salah satu Universitas Negeri di Belanda.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Apache, Chinook, Black Hawk, TNI AD Quo Vadis?

21 Februari 2013   00:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:58 2424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_228333" align="aligncenter" width="300" caption="AH-64D, sumber gambar: http://defense-studies.blogspot.nl/2012/09/us-agrees-to-sell-8-ah-64d-to-indonesia.html"][/caption]

Sebagaimana bidak catur, alutsista memiliki kemampuan yang berbeda antara satu dan lainnya. Kemampuan tersebut disesuaikan dengan peran yang diemban oleh bidak tersebut, dan dikarenakan adanya perbedaan kemampuan ini, maka tidak mungkin menggantikan satu jenis bidak catur dengan bidak lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada alutsista, pada dasarnya alutsista dan berbagai teknologi militer lainnya memiliki kemampuan yang berbeda, dan kemampuan tersebut ditentukan atau disesuaikan berdasarkan misi yang akan diemban.

Dalam komentarnya mengenai kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet, B.J Habibie menyatakan bahwa teknologi militer seperti pesawat tempur, mengedepankan “misi” dalam kriteria rancang bangunnya, karena teknologi militer dibangun dengan tujuan mencapai misi guna memenangkan pertempuran.[1] Dengan demikian maka “misi apa yang akan diemban suatu alutsista” harusnya menjadi hal dasar yang digunakan sebagai pertambangan dalam pembelian alutsista.

Apache”, “Chinook”, dan “Black Hawk” adalah tiga jenis alutsista yang berbeda, ketiga helikopter tersebut memiliki tujuan misi yang berbeda, kemampuan yang berbeda, spesifikasi yang berbeda, dan sayang-nya fungsinya tidak dapat saling menggantikan. Karena itu sungguh tidak tepat untuk membandingkan ketiga helikopter tersebut hanya sebatas dari segi spefikasi. Untuk menentukan helikopter mana yang yang sebaiknya dipilih oleh TNI AD, maka aspek “misi apa yang ingin dicapai penerbad agar TNI bisa memenangkan pertempuran” dan pilihan “fokus kemampuan angkut, serbu, atau kemampuan serang” harus dijadikan dasar pertimbangan.

Angkut, Serbu, Serang, Apa bedanya?

Sebagaimana yang telah disebutkan di paragraph sebelumnya, “Apache”, “Chinook”, dan “Black Hawk” adalah tiga jenis helicopter yang berbeda, dengan tujuan misi, kemampuan, dan spesifikasi yang berbeda. “Chinook” atau CH-47 adalah helicopter Angkut. Sebagaimana termuat pada situs Boeing, Chinook CH-47 D/F/G adalah heli angkut berat serba guna,[2] definisi “serba guna” di sini bukan berati helicopter ini bisa menjalankan peran helicopter lainnya, namun maksud “serba guna” disini adalah selain fungsi utama helicopter ini untuk keperluan angkut berat dalam suatu operasi militer; contohnya: keperluan angkut  pasukan, membawa artileri, hingga keperluan angkut "supply" di medan tempur, helicopter ini juga dapat difungsikan untuk keperluan sipil selain perang, seperti: evakuasi medis, penaggulangan bencana, hingga pemadam kebakaran.[3]

Sementara itu  sebagaimana termuat pada situs perusahaan Sikorsky, “Black Hawk” atau “UH-60M” dikategorikan sebagai heli “serba guna” atau “multi misi”.[4] Hal tersebut dikarenakan helicopter ini bisa dimodifikasi sesuai tuntutan misi. Dengan mengorbankan kemampuan angkut helicopter ini dan melengkapinya dengan perangkat senjata, helicopter ini dapat diubah menjadi varian bersenjata yang diberi nama “battle hawk”.[5] Dalam halaman berita pada situs yang sama, disebutkan bahwa helicopter ini menjadi pilihan angkatan bersenjata Swedia untuk melengkapi pasukannya yang tergabung pada koalisi ISAF di Afghanistan.[6] Fungsi yang akan diemban oleh helicopter ini di Afghanistan adalah untuk keperluan evakuasi, serba guna, dan SAR.[7] Helikopter dengan kemampuan angkut; yakni mengirim atau menjemput pasukan untuk  dan kargo untuk pada suatu area yang menjadi obyektif operasi militer inilah yang dikategorikan sebagai “heli serbu”.[8] Dengan kata lain, helikopter “serbu” adalah heli yang memiliki kemampuan untuk mengirimkan atau menjemput pasukan atau barang dari dan ke suatu wilayah operasi “tempur” atau wilayah yang bersifat “hostile”.

“Apache” atau “AH-64” merupakan helikopter “serang”. Situs perusahaan Boeing menyebutkan bahwa helicopter ini memiliki kemampuan untuk menemukan, menjejak dan kemudian menyerang sasaran, baik siang dan malam.[9] Kemampuan tersebut tentu merupakan aset yang penting bagi penebad (Penerbang Angkatan Darat) untuk mendukung gerak laju pasukan yang berada di bawahnya, terutama pasukan infanteri mekanis atau MBT (main battle tank) yang bergerak cepat di medan pertempuran. Pada situs yang sama, terdapat dua varian yang ditawarkan oleh Boeing, pertama adalah varian dasar “AH-64A”, varian ini sudah dilengkapi dengan perangkat penjejak sasaran beserta sensor penjejak untuk malam hari, dan dapat dipersenjatai dengan senjata presisi berpemandu laser, seperti rudal “hellfire”. [10] Varian lainnya adalah “AH-64D longbow”, pada varian terakhir, helicopter ini telah dilengkapi dengan penambahan perangkat “longbow” yang terdiri dari radar dan berbagai perangkat sensor, yang meningkatan kemampuan akurasi persenjataan untuk menjangkau sasaran yang lebih jauh, sekaligus memberikan kemampuan untuk mendeteksi sasaran (bergerak atau diam) dan mampu mengkalsifikasikan 128 ancaman yang berbeda, berikut menilai prioritas ancaman (sehingga pilot memutuskan dengan cepat mana sasaran yang harus diserang terlebih dahulu). [11] Selain itu, helicopter “AH-64D longbow” memiliki berbagai perangkat, sistem jaringan dan komunikasi digital, untuk meningkatan kemampuan mengenali kondisi dan situasi di sekelilingnya.[12] Penambahan perangkat tersebut juga memungkinkan untuk melaksanakan manajemen operasi militer pada medan tempur, serta mampu untuk memberikan informasi sasaran atau kondisi medan tempur secara “real-time” kepada komandan di medan perang.[13]

Dari ketiga pilihan tersebut, maka pilihan mana helicopter yang hedak diakuisisi TNI AD sebaiknya didasarkan pada pertimbangan “misi” dan “fokus” pembangunan kemampuan Penerbad. Apabila Penerbad akan ditugaskan untuk misi yang fungsi dan fokusnya adalah sebagai “sarana angkutan” tentu helicopter untuk keperluan “angkut” seperti Chinook adalah pilihan yang sesuai, sementara apabila Penerbad akan ditugaskan untuk mendukung operasi pasukan khusus, tentu helikopter “serbu” yang mampu mengirim dan menjemput pasukan dari wilayah tempur/hostile seperti Black Hawk adalah pilihan yang sesuai. Sebaliknya apabila Penerbad akan ditugaskan untuk mendukung dan difokuskan untuk kemampuan serang, tentu helicopter seperti Apache adalah pilihan yang tepat.

Sekarang pertanyaannya Quo Vadis TNI AD? Apa misi dan fokus pembangunan kekuatan TNI AD? Dalam hal ini ada beberapa dokumen yang bisa dijadikan patokan untuk menentukan "misi" dan "fokus" apa yang sebaiknya dikembangkan, yang akan di bahas pada bagian selanjutnya di bawah.

Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor: Per/03/M/II/2008 Tentang buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 (Permen Buku Putih 2008) pasal 1, menyatakan bahwa Buku Putih Pertahanan 2008 merupakan kebijakan pertahanan Negara secara menyeluruh untuk dilaksanakan penyelenggara pertahanan Negara. [14] Dengan demikian, sebagai alat pertahanan Negara berdasarkan Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pasal 5,[15] tentu TNI harus memperhatikan kebijakan yang termuat dalam Buku Putih Pertahanan dalam membangun kekuatannya. Berdasarkan Buku Putih 2008 yang dianggap masih berlaku,[16] ancaman terhadap NKRI digolongkan menjadi dua bentuk yakni militer dan non-militer. [17] Untuk menghadapi ancaman non-militer seperti ancaman ideologi, politik, ekonomi, dan budaya, tentu pendakatan militer yang melibatkan perangkat atau alutsista militer bukanlah pilihan yang tepat, namun tidak demikian terhadap ancaman yang bersifat militer.

Buku Putih Pertahanan 2008 menyebutkan bahwa ancaman militer terhadap Indonesia terdiri dari agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi terror bersenjata, ancaman kemanan laut dan udara, serta konflik komunal.[18] Pada salah satu tulisan di Koran elektronik kompas.com disebutkan bahwa, kemungkinan terbesar operasi militer konvensional yang digelar TNI dalam menghadapi ancaman bersenjata, adalah operasi lawan gerilya, penanggulangan teror, patroli dan pengawalan perbatasan, operasi intelijen, dan territorial serta diperbantukan kepada Polri untuk melakukan upaya penanggulangan konflik antar masyarakat, serta memberikan bantuan untuk mengatasi kondisi darurat.[19] Pada tulisan yang sama disebutkan untuk melakukan operasi seperti yang termuat diatas, maka TNI dituntut untuk memiliki kemampuan mobilitas tinggi, sehingga dapat mengerahkan pasukan dalam jumlah yang besar dan cepat.[20] Untuk hal ini, penulis memiliki pendapat yang berseberangan dengan penulis pada tulisan tersebut.

Adalah benar, bahwa untuk menanggulangi gerakan pengacau kemamanan bersenjata pada suatu wilayah, khususnya gerakan separatis dan teroris adalah dengan menjaga kendali atas wilayah tersebut, yang berarti Negara harus mampu mengerahkan kekuatan bersenjatanya untuk mengamankan wilayah tersebut, namun selain itu agar efektif dapat menyerang sasarannya, kekuatan bersenjata tersebut harus memiliki kemampuan “identifikasi” dan “daya serang yang presisi”. Hal tersebut dikarenakan, tidak seperti perang konvensional, pasukan gerakan separatis yang melaksanakan perang greliya atau teroris, tidak memiliki satuan atau pasukan yang jelas, seragam yang mudah teridentifikasi, serta memiliki persenjataan atau perlengkapan yang tidak berbeda dengan yang dimiliki TNI atau lembaga pemerintahan setempat, bahkan terkadang sulit dibedakan dengan masyarakat sekitar. hal tersebut mempersulit proses identifikasi dan penyerangan. Terlebih lagi baik gerakan greliya dan teroris kerap menjalankan taktik “hit and run”, dimana setelah serangan dilaksanakan gerakan tersebut akan bersembunyi diantara masyarakat lokal. Sehingga pengiriman kekuatan militer yang sifatnya massif dan cepat tanpa didukung kemampuan untuk mengidentifikasi dan menyerang secara presisi, dapat menimbulkan tingginya korban sampingan dari pihak sipil (collateral damage).[21] Hal ini lah yang menyebabkan operasi militer dengan melibatkan pasukan massif yang cepat, selayaknya operasi militer konvensional tidak efektif dalam menghadapi perang gerakan greliya.[22]

Dalam bukunya mengenai greliya, A.H. Nasution menjelaskan agar dapat merebut keuntungan dari musuh terdapat lima aspek yang harus di perhatikan, yakni waktu, ruang, manajemen, ideologi, dan dukungan rakyat.[23] Penggunaan kekuatan militer yang menimbulkan korban sipil atau masyarakat setempat, jelas akan memberikan keuntungan bagi pihak greliya untuk menanamkan ideologi melalui propaganda kepada masyarakat setempat, bahwa “kekuatan militer” tersebut sebagai pihak yang jahat,[24] di sisi lain hal tersebut juga akan menimbulkan “resistensi” dari masyarakat setempat, yang dapat menimbulkan adanya suatu bentuk dukungan rakyat terhadap gerakan greliya tersebut. Pandangan mengenai pentingnya menghindari collateral damage juga termuat pada buku panduan melawan perang greliya yang dikeluarkan oleh Headquarters Departement of Army, Headquarters Marine Corps Combat Development Command Departement of Navy, dan Headquarter United Sate Marines Corps, (selanjutnya akan disebut COIN Manual), dalam buku tersebut dinyatakan bahwa “[P]ada dasarnya penggunaan kekuatan bersenjata menimbulkan berbagai reaksi,[…] operasi COIN harus mengkalkulasikan dengan cermat jenis dan jumlah kekuatan yang dikerahkan dan siapa yang mengerahkan kekuatan tersebut pada setiap operasi. Suatu operasi militer yang membunuh lima insurjen adalah kontra produktif apabila dapat menyebabkan pihak insurjen dapat merekut lima puluh atau lebih insurjen baru […] Sehingga, adalah penting untuk komandan lapangan mengadopsi kesesuaian dan tingkatan yang terukur dari suatu kekuatan militer, sehingga dengan tepat dapat mencapai misi tanpa menimbulkan hilangnya nyawa atau kerugian yang tidak diperlukan”.[25]

Merujuk pada pandangan yang termuat diatas, maka menurut hemat penulis sesungguhnya TNI membutuhkan alutsista yang memiliki kemampuan menyerang dengan cepat (yang berarti mobilitas tinggi), kemampuan mendeteksi sasaran dengan baik dan mampu menyerang secara presisi. Dalam hal ini merujuk pada pilihan helicopter yang termuat di atas adalah “AH-64D Longbow”.

Pemikiran dibalik AH-64D Longbow

Mengapa TNI AD harus memilih AH-64D Longbow? Dari segi spesifikasi seperti yang telah ditulis, bahwa helicopter ini memiliki kemampuan untuk menjejak dan menyerang sasaran dengan presisi. Hal ini menjadi penting dikarenakan; pertama, inti dari operasi lawan insurjen adalah memenagkan hati dan pikiran masyarakat setempat, sehingga mencegah pihak insurjen untuk merekut anggota baru, kedua sebagaimana termuat dalam buku pokok greliya, A.H. Nasution, manajemen dan ideologi merupakan aspek yang penting dalam memenangkan perang gereliya.[26] Sehingga apabila suatu kekuatan militer dapat “menjejak” dan “menyerang” individu dari pihak insurjen yang memiliki kecakapan dalam hal “manajemen pertempuran”, maka gerakan gereliya tersebut akan kehilangan koordinasi, sehingga dapat mengakibatkan pihak-pihak insurjen akan berperang sendiri-sendiri, sehingga kecil kemungkinan mereka akan berhasil.[27] Selain itu kehilangan kepala/komandan gerakan insurjen, dapat mempengaruhi moral pihak insurjen, sehingga mempengaruhi ideologi atau keteguhan hati dan kesungguhan pihak insurjen dalam melakukan perlawanan.[28] Hal serupa juga termuat pada kitab kuno mengenai perang yang ditulis oleh Sun Tzu, yang menyatakan bahwa komandan merupakan faktor penting dalam melakukan operasi militer,[29] sehingga kehilangan komandan dapat menyebabkan pasukan menjadi kehilangan kendali, dan memungkinkan pihak lainnya mendapatkan keunggulan di medan perang, yang berujung pada kemanagan.

Dalam prakteknya pada konflik bersenjata di masa kini, Negara-negara telah menerapkan konsep untuk menyerang satu target individual dalam rangka memenagkan perang melawan gerkan gereliya, seperti sebagaimana yang termuat di atas. Sebagai contoh Amerika Serikat, pada konflik di Afghanistan menggunakan pesawat tidak berawak sebagai sarana utama, untuk mencari sasaran, berikut mengeksekusi sasaran dalam operasi anti greliya.[30] Seperti kasus serangan untuk menyingkirkan Mohamad Atef, kepala gerakan Al-Qaeda di Kabul dari medan perang pada November 2001.[31] Konsep serupa dapat diterapkan oleh TNI AD melalui Penerbad, dalam hal ini pesawat tidak berawak “Searcher MK II” atau pesawat tempur “Super Tucano” milik TNI AU dapat digunakan untuk melakukan proses mencari dan mengidentifikasi sasaran, karena kedua alutsista tersebut memiliki kemampuan beroperasi yang lama di medan tempur, kemudian informasi sasaran yang tersebut ditransmisikan kepada helicopter “AH-64D Longbow” untuk mengeksekusi sasaran dengan senjata presisi, sehingga dengan demikian, akan mencegah atau mengeliminir collateral damage.

Cara yang sama juga dapat di terapkan dalam melawan gerakan teroris. Walau pada prinsipnya berdasarkan Pasal 1 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan sebagai Undang-Undang melalu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 (UU Terorisme),[32] menegaskan bahwa tindakan terorisme adalah perbuatan pidana, namun apabila kelompok terorisme tersebut dapat mengorganisasikan kelompoknya senhingga memenuhi syarat kelompok bersenjata sebagai mana yang termuat pada Article 1 of the Additional Protocol to The Geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict to The Geneva convention, 8 June 1977 (Additional Protocol II),[33] maka status kelompok teroris tersebut telah berubah menjadi pihak dalam sengketa bersenjata, diamana dalam hal tersebut berdsarkan UU TNI pasal 6 (1) (a), TNI memiliki kewenagan dalam menaggulanginya.[34]

Penaggulangan kelompok teroris yang telah dianggap sebagai pihak dalam sangketa bersenjata dengan melibatkan alutsista yang memiliki kemampuan menjejak dan menyerang secara presisi, telah diperaktekan oleh berbagai Negara. Selain Amerika Serikat, Israel juga turut melaksanakan praktek tersebut, contohnya pada pada kasus serangan misil Israel terhadap Petinggi Hamas di tahun 2004.[35] Dimana pada kasus tersebut angkatan bersenjata Israel menggunakan helicopter Apache untuk menembakan misil “hellfire” yang dengan presisi mengeksekusi sasarannya.

Selain perang greliya dan terorisme, salah satu bentuk ancaman yang dinyatakan dalam Buku Putih Pertahanan 2008 adalah ancaman agresi. Dikarenakan tindakan agresi ini melibatkan serangan dari Negara lain, maka terdapat hukum international yang mengatur serta memberikan definisi mengenai agresi, yakni pada Definition of Aggression, United Nations General Assembly Resolution 3314 (XXIX). Pada resolusi tersebut pasal 3 (d) disebutkan bahwa, suatu bentuk serangan bersenjata oleh angkatan bersenjata suatu negara baik darat, laut, atau udara terhadap Negara lain dikategorikan sebagai agresi.[36] Walau Negara Indonesia tidak memiliki musuh secara nyata yang berpotensi melakukan serangan agresi terhadap wilayah Indonesia, namun bukan berarti Indonesia tidak akan pernah diserang oleh Negara lain, sebagai contoh Kontingen Indonesia dalam pasukan penjaga perdamaian yang di tempatkan di wialyah konflik yang tidak stabil, seperti Darfur di Sudan,[37] yang mungkin mendapat resiko serangan bersenjata dari salah satu pihak yang bertikai. Dengan memiliki alutsista yang memiliki mobilitas, daya gempur, dan deteksi yang presisi, seperti megerahkan helicopter Apache untuk melindungi patroli pasukan perdamaian tentu memberikan efek gentar, yang dapat mencegah serangan dari salah satu pihak untuk melakukan serangan.

Selain mencegah timbulnya serangan dari salah satu pihak, penggelaran pasukan penjaga perdamaian modern telah menganut konsep yang disebut sebagai “robust peace keeping force”, konsep tersebut tidak lagi menjadikan pasukan penjaga perdamaian sebagai pihak pasif yang hanya bisa membela diri, namun dapat mengerahkan kekuatan bersenjata pada tingkatan taktis untuk menjalankan mandatnya, dengan kewenangan yang diberikan oleh dewan kemanan, beserta izin pemerintah dari Negara penerima.[38] Untuk keperluan tersebut Apache AH-64D Longbow dengan segala kemampuannya akan menjadi suatu asset yang sangat penting, terlebih lagi apabila kemampuannya digabungkan dengan alutsista mutakhir lainnya seperti MBT Leopard II untuk mendukung operasi pasukan penjaga perdamaian, karena selain memiliki daya gempur yang besar, komposisi tersebut juga memiliki fleksibilitas dan mobilitas, sehingga pelaksana operasi militer dapat mejalankan operasi militer taktis yang mencakup berbagai skenario.

Kesimpulan dan Saran

Merujuk pada buku putih tahun 2008, untuk menjawab ancaman militer terhadap Indonesia, terutama untuk menjalakan misi melawan gerakan Insurjensi, terorisme, dan agresi, sebaiknya pembangunan alutsista TNI AD difokuskan pada kemampuan untuk mendeteksi dan menyerang secara presisi, dalam hal ini pilihan akuisisi helikopter untuk Penerbad dijatuhkan pada pengadaan AH-64D Longbow atau helikopter serang dengan kemampuan setara.

Apabila pada akhirnya tidak memilih mengembangkan kemampuan serang, dan TNI AD memilih untuk mengembangkan kemampuan angkut sebainya pilihan dijatuhkan pada penambahan MI-17, dengan alasan penyeragaman alutsista, sehingga akan mempermudah logistik, perawatan, dan pelatihan awak beserta pilot.

Apabila TNI AD memilih mengembangkan kemampuan serbu, sebaiknya pilihan helicopter dijatuhkan pada Bell 412 atau Super Puma, selain kemampuannya setara denagan Black Hawk kedua helicopter tersebut dapat diproduksi oleh industri dalam negeri dalam hal ini PT DI.

Catatan Kaki:

[1] Habibie: Sukhoi Itu Perusahaan Pesawat Tempur, Viva News, 2 Juni 2012, http://us.nasional.news.viva.co.id/news/read/320218-habibie--sukhoi-itu-perusahan-pesawat-tempur, akses 19 Feb 2013.

[2] CH-47D/F Overview, http://www.boeing.com/rotorcraft/military/ch47d/index.htm, akses 19 Feb 2013.

[3] Ibid.

[4] UH-60M Black Hawk Helicopter: Overview, http://www.sikorsky.com/Products/Product+Details/Model+Family+Details/Model+Details?provcmid=bfa955f4a9d98110VgnVCM1000001382000aRCRD&mofvcmid=57aaebb600e98110VgnVCM1000001382000aRCRD&mofid=47aaebb600e98110VgnVCM1000001382000a____&movcmid=609669a3a73a8110VgnVCM1000001382000aRCRD&moid=509669a3a73a8110VgnVCM1000001382000a____ ,akses 19 Feb 2013.

[5] Battle Hawk tm , http://www.sikorsky.com/Products/Product+Details/Model+Family+Details/Model+Details?provcmid=bfa955f4a9d98110VgnVCM1000001382000aRCRD&mofvcmid=57aaebb600e98110VgnVCM1000001382000aRCRD&mofid=47aaebb600e98110VgnVCM1000001382000a____&movcmid=040769a3a73a8110VgnVCM1000001382000aRCRD&moid=f30769a3a73a8110VgnVCM1000001382000a____ , akses 19 Feb 2013.

[6] Press Releases: Sikorsky Nears Completion of 15 UH-60M Helicopters to Fulfill Sweden’s ISAF Requirement, 13 September 2013, http://www.sikorsky.com/About+Sikorsky/News/Press+Details?pressvcmid=f0c117ea500c9310VgnVCM1000004f62529fRCRD , akses 19 Feb 2013.

[7] ibid.

[8] The Military Dictionary, DIANE, 1987, hal:37 – (DOD, NATO) Assault aircraft: Powered aircraft, including helicopters which moves assault troops and cargo into an objectives area and which provide for their resupply, http://books.google.nl/books?id=NrNOiA1DDOIC&pg=PA35&dq=%22armed+helicopter%22&hl=en&ei=AudPTYjoJoyxhQe7m6HFDg&sa=X&oi=book_result&ct=result&redir_esc=y#v=onepage&q=%22armed%20helicopter%22&f=false, akses 19 Feb 2013.

[9] AH-64: Overview, http://www.boeing.com/rotorcraft/military/ah64d/index.htm, akses 20 Feb 2013.

[10] ibid.

[11] ibid.

[12] ibid.

[13] ibid.

[14] Menteri Pertahanan Nomor: Per/03/M/II/2008 Tentang buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 (Permen Buku Putih 2008) pasal 1.

[15] Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pasal 5.

[16] Black Hawk Lebih Rasional, Kiki Syahnakri, kompas.com, 19 Feb 2013,  http://nasional.kompas.com/read/2013/02/19/16001675/Black.Hawk.Lebih.Rasional, akses 20 Feb 2013.

[17] Buku Putih Pertahanan 2008, Departemen Pertahanan Indonesia, Februari 2008, http://www.scribd.com/doc/14548701/Buku-Putih-Pertahanan-Indonesia-2008, akses 20 Feb 2013, hal 27.

[18] ibid.

[19] Black Hawk Lebih Rasional, Kiki Syahnakri, kompas.com, 19 Feb 2013,  http://nasional.kompas.com/read/2013/02/19/16001675/Black.Hawk.Lebih.Rasional, akses 20 Feb 2013.

[20] ibid.

[21] A. P. V. Rogers, “Zero-Casualty Warfare” in International Review of the Red Cross, No. 837, http://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/57jqcu.htm, consulted on 21 August 2012.

[22] D. Statman, “Targeted Killings”, dalam Theoretical Inquiries In Law, January 2004. hal 179.

[23] A.H. Nasution, “Pokok Pokok Gerilya.” Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa Lalu dan yang Akan Datang. Bandung : Penerbit Angkasa, 1984, http://gabriela-n-p-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-46358-Umum-POKOK%20POKOK%20GERILYA%20(Artikel%20dari%20Jenderal%20A.H.%20Nasution).html , hal 1-76.

[24] M. N. Schmitt, “Targeting And Humanitarian International Law In Afghanistan” dalam Naval War College International Law Studies, pp: 307-309, 2009, hal 310.

[25] D. H. Petraeus dan J.F. Amos, Counter Insurgency FM-3 MCWP 3-33.5 (COIN Manual), 2006, http://www.fas.org/irp/doddir/army/fm3-24.pdf,  Akses 20 Feb 2013, hal: (1-25).

[26] A.H. Nasution, “Pokok Pokok Gerilya.” Pokok Gerilya dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa Lalu dan yang Akan Datang. Bandung : Penerbit Angkasa, 1984, http://gabriela-n-p-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-46358-Umum-POKOK%20POKOK%20GERILYA%20(Artikel%20dari%20Jenderal%20A.H.%20Nasution).html , hal 1-76.

[27] ibid.

[28] ibid.

[29] Sun Tzu. The Art Of War (Translated with introduction and notes by L. Giles), United Kingdom: British Mueseum, 1910, hal 115.

[30] M. Drake, “current U.S. Air Force Drone Operation And Their Conduct In Compliance With international Humanitarian Law – An Overview” dalam Denver Journal of International Law and Policy, Fall 2011, Hal: 630.

[31] M. O’Connell “remarks: The Resort to Drones Under International Law” dalam Denver Journal of International Law and Policy, hal: 582.

[32] Pasal 1 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Terorisme.

[33] Article 1 of the Additional Protocol to The Geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict to The Geneva convention, 8 June 1977 (Additional Protocol II).

[34] UU TNI pasal 6 (1) (a) memiliki kewenagan dalam menaggulanginya.

[35] Israeli Missile Kills New Hamas Chief, The Guardian, 18 April 2004, http://www.guardian.co.uk/world/2004/apr/18/israel, akses 20 Feb 2013.

[36] Definition of Aggression, United Nations General Assembly Resolution 3314 (XXIX), article 3 (d).

[37] Indonesia to send peacekeeping battalion to Darfur, Nani Afrida, Jakarta Post, 08 June 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/08/indonesia-send-peacekeeping-battalion-darfur.html, akses 20 Feb 2013.

[38]United Nations Peace Keeping Operations Principle and Guidelines, United Nation Departement Of Peace Keeping Operations and Departement of Field Support, 2008, hal 34.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun