Mohon tunggu...
Ajie Buhron
Ajie Buhron Mohon Tunggu... -

Seorang yang telah lulus jurusan Hukum Internasional, yang menyukai hal-hal berkenaan dengan perkembangan dunia militer dan hubungan internasional, penikmat "video games", pecinta "super car", kini baru mendapatkan gelar "master" dalam bidang "International Law and Law of International Organization" dari salah satu Universitas Negeri di Belanda.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Apache, Chinook, Black Hawk, TNI AD Quo Vadis?

21 Februari 2013   00:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:58 2424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor: Per/03/M/II/2008 Tentang buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 (Permen Buku Putih 2008) pasal 1, menyatakan bahwa Buku Putih Pertahanan 2008 merupakan kebijakan pertahanan Negara secara menyeluruh untuk dilaksanakan penyelenggara pertahanan Negara. [14] Dengan demikian, sebagai alat pertahanan Negara berdasarkan Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pasal 5,[15] tentu TNI harus memperhatikan kebijakan yang termuat dalam Buku Putih Pertahanan dalam membangun kekuatannya. Berdasarkan Buku Putih 2008 yang dianggap masih berlaku,[16] ancaman terhadap NKRI digolongkan menjadi dua bentuk yakni militer dan non-militer. [17] Untuk menghadapi ancaman non-militer seperti ancaman ideologi, politik, ekonomi, dan budaya, tentu pendakatan militer yang melibatkan perangkat atau alutsista militer bukanlah pilihan yang tepat, namun tidak demikian terhadap ancaman yang bersifat militer.

Buku Putih Pertahanan 2008 menyebutkan bahwa ancaman militer terhadap Indonesia terdiri dari agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi terror bersenjata, ancaman kemanan laut dan udara, serta konflik komunal.[18] Pada salah satu tulisan di Koran elektronik kompas.com disebutkan bahwa, kemungkinan terbesar operasi militer konvensional yang digelar TNI dalam menghadapi ancaman bersenjata, adalah operasi lawan gerilya, penanggulangan teror, patroli dan pengawalan perbatasan, operasi intelijen, dan territorial serta diperbantukan kepada Polri untuk melakukan upaya penanggulangan konflik antar masyarakat, serta memberikan bantuan untuk mengatasi kondisi darurat.[19] Pada tulisan yang sama disebutkan untuk melakukan operasi seperti yang termuat diatas, maka TNI dituntut untuk memiliki kemampuan mobilitas tinggi, sehingga dapat mengerahkan pasukan dalam jumlah yang besar dan cepat.[20] Untuk hal ini, penulis memiliki pendapat yang berseberangan dengan penulis pada tulisan tersebut.

Adalah benar, bahwa untuk menanggulangi gerakan pengacau kemamanan bersenjata pada suatu wilayah, khususnya gerakan separatis dan teroris adalah dengan menjaga kendali atas wilayah tersebut, yang berarti Negara harus mampu mengerahkan kekuatan bersenjatanya untuk mengamankan wilayah tersebut, namun selain itu agar efektif dapat menyerang sasarannya, kekuatan bersenjata tersebut harus memiliki kemampuan “identifikasi” dan “daya serang yang presisi”. Hal tersebut dikarenakan, tidak seperti perang konvensional, pasukan gerakan separatis yang melaksanakan perang greliya atau teroris, tidak memiliki satuan atau pasukan yang jelas, seragam yang mudah teridentifikasi, serta memiliki persenjataan atau perlengkapan yang tidak berbeda dengan yang dimiliki TNI atau lembaga pemerintahan setempat, bahkan terkadang sulit dibedakan dengan masyarakat sekitar. hal tersebut mempersulit proses identifikasi dan penyerangan. Terlebih lagi baik gerakan greliya dan teroris kerap menjalankan taktik “hit and run”, dimana setelah serangan dilaksanakan gerakan tersebut akan bersembunyi diantara masyarakat lokal. Sehingga pengiriman kekuatan militer yang sifatnya massif dan cepat tanpa didukung kemampuan untuk mengidentifikasi dan menyerang secara presisi, dapat menimbulkan tingginya korban sampingan dari pihak sipil (collateral damage).[21] Hal ini lah yang menyebabkan operasi militer dengan melibatkan pasukan massif yang cepat, selayaknya operasi militer konvensional tidak efektif dalam menghadapi perang gerakan greliya.[22]

Dalam bukunya mengenai greliya, A.H. Nasution menjelaskan agar dapat merebut keuntungan dari musuh terdapat lima aspek yang harus di perhatikan, yakni waktu, ruang, manajemen, ideologi, dan dukungan rakyat.[23] Penggunaan kekuatan militer yang menimbulkan korban sipil atau masyarakat setempat, jelas akan memberikan keuntungan bagi pihak greliya untuk menanamkan ideologi melalui propaganda kepada masyarakat setempat, bahwa “kekuatan militer” tersebut sebagai pihak yang jahat,[24] di sisi lain hal tersebut juga akan menimbulkan “resistensi” dari masyarakat setempat, yang dapat menimbulkan adanya suatu bentuk dukungan rakyat terhadap gerakan greliya tersebut. Pandangan mengenai pentingnya menghindari collateral damage juga termuat pada buku panduan melawan perang greliya yang dikeluarkan oleh Headquarters Departement of Army, Headquarters Marine Corps Combat Development Command Departement of Navy, dan Headquarter United Sate Marines Corps, (selanjutnya akan disebut COIN Manual), dalam buku tersebut dinyatakan bahwa “[P]ada dasarnya penggunaan kekuatan bersenjata menimbulkan berbagai reaksi,[…] operasi COIN harus mengkalkulasikan dengan cermat jenis dan jumlah kekuatan yang dikerahkan dan siapa yang mengerahkan kekuatan tersebut pada setiap operasi. Suatu operasi militer yang membunuh lima insurjen adalah kontra produktif apabila dapat menyebabkan pihak insurjen dapat merekut lima puluh atau lebih insurjen baru […] Sehingga, adalah penting untuk komandan lapangan mengadopsi kesesuaian dan tingkatan yang terukur dari suatu kekuatan militer, sehingga dengan tepat dapat mencapai misi tanpa menimbulkan hilangnya nyawa atau kerugian yang tidak diperlukan”.[25]

Merujuk pada pandangan yang termuat diatas, maka menurut hemat penulis sesungguhnya TNI membutuhkan alutsista yang memiliki kemampuan menyerang dengan cepat (yang berarti mobilitas tinggi), kemampuan mendeteksi sasaran dengan baik dan mampu menyerang secara presisi. Dalam hal ini merujuk pada pilihan helicopter yang termuat di atas adalah “AH-64D Longbow”.

Pemikiran dibalik AH-64D Longbow

Mengapa TNI AD harus memilih AH-64D Longbow? Dari segi spesifikasi seperti yang telah ditulis, bahwa helicopter ini memiliki kemampuan untuk menjejak dan menyerang sasaran dengan presisi. Hal ini menjadi penting dikarenakan; pertama, inti dari operasi lawan insurjen adalah memenagkan hati dan pikiran masyarakat setempat, sehingga mencegah pihak insurjen untuk merekut anggota baru, kedua sebagaimana termuat dalam buku pokok greliya, A.H. Nasution, manajemen dan ideologi merupakan aspek yang penting dalam memenangkan perang gereliya.[26] Sehingga apabila suatu kekuatan militer dapat “menjejak” dan “menyerang” individu dari pihak insurjen yang memiliki kecakapan dalam hal “manajemen pertempuran”, maka gerakan gereliya tersebut akan kehilangan koordinasi, sehingga dapat mengakibatkan pihak-pihak insurjen akan berperang sendiri-sendiri, sehingga kecil kemungkinan mereka akan berhasil.[27] Selain itu kehilangan kepala/komandan gerakan insurjen, dapat mempengaruhi moral pihak insurjen, sehingga mempengaruhi ideologi atau keteguhan hati dan kesungguhan pihak insurjen dalam melakukan perlawanan.[28] Hal serupa juga termuat pada kitab kuno mengenai perang yang ditulis oleh Sun Tzu, yang menyatakan bahwa komandan merupakan faktor penting dalam melakukan operasi militer,[29] sehingga kehilangan komandan dapat menyebabkan pasukan menjadi kehilangan kendali, dan memungkinkan pihak lainnya mendapatkan keunggulan di medan perang, yang berujung pada kemanagan.

Dalam prakteknya pada konflik bersenjata di masa kini, Negara-negara telah menerapkan konsep untuk menyerang satu target individual dalam rangka memenagkan perang melawan gerkan gereliya, seperti sebagaimana yang termuat di atas. Sebagai contoh Amerika Serikat, pada konflik di Afghanistan menggunakan pesawat tidak berawak sebagai sarana utama, untuk mencari sasaran, berikut mengeksekusi sasaran dalam operasi anti greliya.[30] Seperti kasus serangan untuk menyingkirkan Mohamad Atef, kepala gerakan Al-Qaeda di Kabul dari medan perang pada November 2001.[31] Konsep serupa dapat diterapkan oleh TNI AD melalui Penerbad, dalam hal ini pesawat tidak berawak “Searcher MK II” atau pesawat tempur “Super Tucano” milik TNI AU dapat digunakan untuk melakukan proses mencari dan mengidentifikasi sasaran, karena kedua alutsista tersebut memiliki kemampuan beroperasi yang lama di medan tempur, kemudian informasi sasaran yang tersebut ditransmisikan kepada helicopter “AH-64D Longbow” untuk mengeksekusi sasaran dengan senjata presisi, sehingga dengan demikian, akan mencegah atau mengeliminir collateral damage.

Cara yang sama juga dapat di terapkan dalam melawan gerakan teroris. Walau pada prinsipnya berdasarkan Pasal 1 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan sebagai Undang-Undang melalu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 (UU Terorisme),[32] menegaskan bahwa tindakan terorisme adalah perbuatan pidana, namun apabila kelompok terorisme tersebut dapat mengorganisasikan kelompoknya senhingga memenuhi syarat kelompok bersenjata sebagai mana yang termuat pada Article 1 of the Additional Protocol to The Geneva Convention of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict to The Geneva convention, 8 June 1977 (Additional Protocol II),[33] maka status kelompok teroris tersebut telah berubah menjadi pihak dalam sengketa bersenjata, diamana dalam hal tersebut berdsarkan UU TNI pasal 6 (1) (a), TNI memiliki kewenagan dalam menaggulanginya.[34]

Penaggulangan kelompok teroris yang telah dianggap sebagai pihak dalam sangketa bersenjata dengan melibatkan alutsista yang memiliki kemampuan menjejak dan menyerang secara presisi, telah diperaktekan oleh berbagai Negara. Selain Amerika Serikat, Israel juga turut melaksanakan praktek tersebut, contohnya pada pada kasus serangan misil Israel terhadap Petinggi Hamas di tahun 2004.[35] Dimana pada kasus tersebut angkatan bersenjata Israel menggunakan helicopter Apache untuk menembakan misil “hellfire” yang dengan presisi mengeksekusi sasarannya.

Selain perang greliya dan terorisme, salah satu bentuk ancaman yang dinyatakan dalam Buku Putih Pertahanan 2008 adalah ancaman agresi. Dikarenakan tindakan agresi ini melibatkan serangan dari Negara lain, maka terdapat hukum international yang mengatur serta memberikan definisi mengenai agresi, yakni pada Definition of Aggression, United Nations General Assembly Resolution 3314 (XXIX). Pada resolusi tersebut pasal 3 (d) disebutkan bahwa, suatu bentuk serangan bersenjata oleh angkatan bersenjata suatu negara baik darat, laut, atau udara terhadap Negara lain dikategorikan sebagai agresi.[36] Walau Negara Indonesia tidak memiliki musuh secara nyata yang berpotensi melakukan serangan agresi terhadap wilayah Indonesia, namun bukan berarti Indonesia tidak akan pernah diserang oleh Negara lain, sebagai contoh Kontingen Indonesia dalam pasukan penjaga perdamaian yang di tempatkan di wialyah konflik yang tidak stabil, seperti Darfur di Sudan,[37] yang mungkin mendapat resiko serangan bersenjata dari salah satu pihak yang bertikai. Dengan memiliki alutsista yang memiliki mobilitas, daya gempur, dan deteksi yang presisi, seperti megerahkan helicopter Apache untuk melindungi patroli pasukan perdamaian tentu memberikan efek gentar, yang dapat mencegah serangan dari salah satu pihak untuk melakukan serangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun