....
“ Draupadi has five husbands - but she has none -
She had five sons - and was never a mother …
The Pandavas have given Draupadi …
No joy, no sense of victory
No honour as wife
No respect as mother -
Only the status of a Queen …
But they all have gone
And I'm left with a lifeless jewel
And an empty crown …
My baffled motherhood
Wrings its hands and strives to weep... "
Puisi ‘Kurukhsetra’ karya Amreeta Syam tersebut terus berngiang di telingaku, ketika udara sangat dingin menyergap Kye Gompa, sebuah desa tertinggi di Himalaya. Disini, ketika lorong waktu di studioku melemparkanku kemari, di akhir kisah para Pandawa menempuh perjalanan terakhirnya menuju Inderaloka, perjalanan menggapai Shangrilla...
Dan ketika puisi itu terus berngiang-ngiang di kepalaku, seperti mendengar penyair yang suaranya terus ber-echo dan feed back dalam setiap sulur-sulur urat syaraf di kepalaku, mataku lekat tak berkedip sekejap pun memandang sosok cantik yang terkenal dalam hikayat yang dikisahkan Mpu Wiyasa. Seperti mimpi, namun mimpi ini telah berhasil membawa ithiasa mahabharata kedalam alam nyataku melalui lompatan quantum.
“Sherpa..” suara lembutnya menghentakanku dari alam pikiranku.
“Sherpa..” Ia mengulangi panggilannya lagi. Aku tak menjawab, mataku tertunduk namun sejurus kemudian aku berdiri dan menghampiri. Udara dingin terasa sangat menyengat, kunyalakan perapian di gubuk ini. Para Pandawa telah meninggalkan Drupadi sendiri disini, Kye Gompa,dan yang kutahu akhir kisah mereka adalah satu persatu mereka akan wafat dan menggapai shangrilla. Di sekeliling tampak hanya beberapa kelap-kelip cahaya pelita dari gubuk-gubuk lain di desa ini, cahaya yang terpendar ditingkahi kristal-kristal salju, dan dingin pun terasa semakin menusuk.
“Draupadi has five husbands - but she has none....
Dan kuperhatikan bulir-bulir kristal bening jatuh dari sudut-sudut mata bidadarinya, lalu bulir-bulir itu membeku sebelum sempat menyentuh lantai kayu gubuk ini.
“No joy, no sense of victory...” puisi itu terus menderaku.
“kisahku hanyalah ithiasa, sesuluh, yang baik untuk engkau pelajari..yang jelek engkau buang”. Drupadi tersenyum. “apa yang berkecamuk di pikiranmu?”
“Tak ada penghargaan untuk seorang istri..” jawabku datar, mengalir begitu saja dari mulutku mengikuti bait puisi yang terus terngiang di relung-relung guratan neuron-ku.
“Akhir kisah, dan memang inilah yang harus terjadi ketika satu per satu suami-suamiku meninggalkanku dalam perjalanan ke inderaloka” jawab Drupadi setengah bergumam, seolah gamang dengan pernyataannya sendiri.
“Suami-suami...” pikiranku disesakkan dengan bayangan lima pandawa yang perkasa, memperistri seorang Drupadi. Mataku nanar menatap lidah-lidah api yang semburat cahayanya mengusir sengatan dingin malam Himalaya. Drupadi menatapku tajam. “ tergantung bagaimana engkau menilai” ujarnya kemudian. Lalu kuberpaling menatap Drupadi..ah wajah tuanya yang masih rupawan terlalu menawan sehingga kutundukkan pandanganku.
“Tergantung bagaimana engkau menilai” ulangnya lagi. “Bagi sebagian adat tentu menganggapku perempuan lacur karena bersuamikan lima lelaki, namun itu demi kepatuhan para suamiku terhadap ibunda Dewi Kunti”.
Poliandri, bagi akalku sangat sulit dimengerti. Sedangkan poligami saja tidak dapat diterima oleh sebagian orang dan budaya masyarakat tertentu. Namun kuarahkan persepsiku pada titik nol, toh nilai-nilai terhadap segala peristiwa adalah karya cipta manusia semata.
“semua yang terjadi di jagad mayapada ini adalah hanya sekedar peristiwa, engkaulah yang memberi arti bagi peristiwa itu apakah baik..ataukah buruk, tergantung bagaimana engkau menilai. Pengalaman dan didikan yang engkau terima yang menjadi tolok ukur terhadap peristiwa sehingga engkau dapat memberi penilaian baik atau burukkah peristiwa atau keadaan itu. Tapi tak lebih, semua hanyalah sekedar peristiwa dan akan menjadi ithiasa bagi generasi selanjutnya” ujar Drupadi sambil mengembangkan senyumnya seolah membaca alam pikiranku. Dalam hati aku membenarkan ungkapannya, semua tergantung dari mindset kita sendiri. Bagi yang dapat menerima dan membenarkan poligami, tentu poligami bukanlah hal yang aneh. Demikian juga terhadap poliandri, tergantung mindset kita dalam memberikan penilaian.
“Dan bagiku, aku mencintai kelima suamiku...yang kutahu demikian”, seloroh Drupadi kemudian.
“Only the status of a Queen … But they all have gone” Puisi itu kembali berkecamuk, menggigit bagai sengatan dingin yang menderaku saat ini.
“Puan telah dipertaruhkan” desahku. “oleh ayah paduka raja Drupad dalam swayamvara”
“Dan Arjuna telah memenangkan pertaruhan itu..” sahut Drupadi.
“Kemudian dalam pertandingan dadu antara Yudhistira dengan Dursasana..” lanjutku kemudian.
“Paduka telah dipermalukan tatkala Yudhistira telah dikalahkan”
“Ya, tapi Krishna telah menyelamatkanku” tukas Drupadi.
“Tapi dirimu telah dipertaruhkan dan dipermalukan, apalah arti martabat seorang putri..seorang ratu bila ia hanyalah sebagai bahan taruhan dan diperebutkan” kata-kataku seolah menohok tepat di ulu hati Drupadi. “Dan Dritarasta, Bishma dan Drona...semua hanya diam...tertegun ketika kain sari yang paduka pakai ditarik oleh Dursasana”.
Aku memahami setiap kata-kata dari ucapanku, bahkan setiap karakter yang membentuk kata-kata tersebut. Mpu Wiyasa telah menggambarkan sosok Drupadi sebagai ikon emansipasi menurut versi-nya, seorang wanita yang bersuamikan lima lelaki, sesosok wanita cantik namun juga cerdas sehingga berani menertawakan kekonyolan Dursasana ketika terjatuh di kolam istana para Pandawa. Namun disisi lain berdasarkan nilai-nilai yang kuanut, atau bertolok ukur pada belief-belief yang mendasari mindset-ku..Drupadi adalah wanita bersuamikan lima lelaki, wanita yang pernah menjadi hadiah sayembara, kemudian wanita yang menjadi bahan taruhan judi dadu antara Yudhistira suaminya sendiri dengan Dursasana, raja para Kurawa.
“Ya..” Drupadi menghela nafas. “Wanita dengan segala keindahannya seringkali menjadi taruhan, tetapi ku tak menjual harkat dan harga diriku”.
“Wanita dengan segala kecantikannya dapat menjadi racun dunia, namun melalui martabatnya keagungan suatu peradaban dapat terjaga”
“Dapat pula hancur bila tak terjaga”.
Dan ku hanya diam.
“Ku tahu segenap mayapada dan Khrisna membela para Pandawa, sehingga hancurlah para Kurawa di medan Kurukhsetra... dan para Pandawa itu tak lain adalah hendak menegakkan martabatku yang dicampakkan Dursasana”.
Dingin demikian menyengat, berputar-putar dikepalaku berkelabatan segala sosok wanita mulai dari Cleopatra, Dyah Pitaloka, Prajnaparamitha, sang ratu sexpionase Mata Hari, hingga Inul Daratista... ditambah lagi jetlag akibat lompatan quantum yang tak terhingga. Sulit kupahami dalam misiku kali ini dalam mencari arti ‘femininity dan femininisme’, sesulit pemahamanku terhadap wanita..dengan segala kerumitan cara berfikir dan perasaan mereka. Antara Pandawa dan Kurawa..tipis bedanya antara penghargaan dengan penindasan harkat wanita. Kusadari sekarang, bahkan kecerdasan seorang Yahudi sekaliber Sigmund Freud sekalipun tak dapat mengupas tuntas segala hal tentang wanita, bahkan melalui riset ilmiah yang ditekuninya selama 30 tahun sekalipun.
Aku pusing, aku harus kembali ke studioku dan meninggalkan peran sherpa yang telah kurasuki.
“Aku harus pergi” pamitku pada Drupadi.
Drupadi menatapku lekat-lekat. “Kemana?” tanyanya kemudian dengan nada heran.
“ke duniaku, di zaman ketika wanita sembilan kali lebih banyak jumlahnya dibandingkan lelaki” jawabku sambil menatap wanita cantik yang telah paruh baya ini. “Dan aku masih menghargai harkat dan martabat wanita” aku berkata demikian sambil melirik ujung kain sarinya yang melambai dihembus dinginnya angin malam Kye Gompa. Saat terakhir di dunia rekaan Mpu Wiyasa, di hadapan wanita yang maha cantik tak terkira-kira.
Ekspektasiku meyakini sejurus lagi ku akan sirna dari hadapan Drupadi, lalu entah kemana lagi arus kwanta akan membawaku. Tapi entah pikiran setan apa yang terbersit di benakku hingga sepersekian detik kemudian kutarik ujung kain sari yang melilit tubuh Drupadi, berharap ia terulur dan melepaskan balutannya lalu teronggok di lantai. Tarikanku membuat kain tersebut terurai, dan tubuh Drupadi terputar..dadaku bagaikan bergemuruh, berdegup-degup..kerongkonganku tercekat dan jakunku naik turun demi mengaromai bau harum semerbak yang menghampiri indera penciumanku. Adrenalinku terpacu sehingga tak kurasakan lagi hawa dingin yang menusuk tulang. Saat putaran terakhir tubuh Drupadi pada lapis kain terakhir yang kusentakkan, kuharapkan pemandangan yang akan memabukkanku..tetapi sungguh....
Kulihat Drupadi tersenyum sekilas, namun sekelabatan cahaya putih meningkahi, berpendar menyilaukan dan berputar-putar..aku takjub bukan kepalang..lalu kilauan cahaya itu perlahan memudar dan sirna menyisakan hanya cahaya api unggun yang tadi kunyalakan.
Drupadi telah moksa.
....
“And I'm left with a lifeless jewel
And an empty crown …
My baffled motherhood
Wrings its hands and strives to weep..”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H