“ke duniaku, di zaman ketika wanita sembilan kali lebih banyak jumlahnya dibandingkan lelaki” jawabku sambil menatap wanita cantik yang telah paruh baya ini. “Dan aku masih menghargai harkat dan martabat wanita” aku berkata demikian sambil melirik ujung kain sarinya yang melambai dihembus dinginnya angin malam Kye Gompa. Saat terakhir di dunia rekaan Mpu Wiyasa, di hadapan wanita yang maha cantik tak terkira-kira.
Ekspektasiku meyakini sejurus lagi ku akan sirna dari hadapan Drupadi, lalu entah kemana lagi arus kwanta akan membawaku. Tapi entah pikiran setan apa yang terbersit di benakku hingga sepersekian detik kemudian kutarik ujung kain sari yang melilit tubuh Drupadi, berharap ia terulur dan melepaskan balutannya lalu teronggok di lantai. Tarikanku membuat kain tersebut terurai, dan tubuh Drupadi terputar..dadaku bagaikan bergemuruh, berdegup-degup..kerongkonganku tercekat dan jakunku naik turun demi mengaromai bau harum semerbak yang menghampiri indera penciumanku. Adrenalinku terpacu sehingga tak kurasakan lagi hawa dingin yang menusuk tulang. Saat putaran terakhir tubuh Drupadi pada lapis kain terakhir yang kusentakkan, kuharapkan pemandangan yang akan memabukkanku..tetapi sungguh....
Kulihat Drupadi tersenyum sekilas, namun sekelabatan cahaya putih meningkahi, berpendar menyilaukan dan berputar-putar..aku takjub bukan kepalang..lalu kilauan cahaya itu perlahan memudar dan sirna menyisakan hanya cahaya api unggun yang tadi kunyalakan.
Drupadi telah moksa.
....
“And I'm left with a lifeless jewel
And an empty crown …
My baffled motherhood
Wrings its hands and strives to weep..”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H