“Tapi dirimu telah dipertaruhkan dan dipermalukan, apalah arti martabat seorang putri..seorang ratu bila ia hanyalah sebagai bahan taruhan dan diperebutkan” kata-kataku seolah menohok tepat di ulu hati Drupadi. “Dan Dritarasta, Bishma dan Drona...semua hanya diam...tertegun ketika kain sari yang paduka pakai ditarik oleh Dursasana”.
Aku memahami setiap kata-kata dari ucapanku, bahkan setiap karakter yang membentuk kata-kata tersebut. Mpu Wiyasa telah menggambarkan sosok Drupadi sebagai ikon emansipasi menurut versi-nya, seorang wanita yang bersuamikan lima lelaki, sesosok wanita cantik namun juga cerdas sehingga berani menertawakan kekonyolan Dursasana ketika terjatuh di kolam istana para Pandawa. Namun disisi lain berdasarkan nilai-nilai yang kuanut, atau bertolok ukur pada belief-belief yang mendasari mindset-ku..Drupadi adalah wanita bersuamikan lima lelaki, wanita yang pernah menjadi hadiah sayembara, kemudian wanita yang menjadi bahan taruhan judi dadu antara Yudhistira suaminya sendiri dengan Dursasana, raja para Kurawa.
“Ya..” Drupadi menghela nafas. “Wanita dengan segala keindahannya seringkali menjadi taruhan, tetapi ku tak menjual harkat dan harga diriku”.
“Wanita dengan segala kecantikannya dapat menjadi racun dunia, namun melalui martabatnya keagungan suatu peradaban dapat terjaga”
“Dapat pula hancur bila tak terjaga”.
Dan ku hanya diam.
“Ku tahu segenap mayapada dan Khrisna membela para Pandawa, sehingga hancurlah para Kurawa di medan Kurukhsetra... dan para Pandawa itu tak lain adalah hendak menegakkan martabatku yang dicampakkan Dursasana”.
Dingin demikian menyengat, berputar-putar dikepalaku berkelabatan segala sosok wanita mulai dari Cleopatra, Dyah Pitaloka, Prajnaparamitha, sang ratu sexpionase Mata Hari, hingga Inul Daratista... ditambah lagi jetlag akibat lompatan quantum yang tak terhingga. Sulit kupahami dalam misiku kali ini dalam mencari arti ‘femininity dan femininisme’, sesulit pemahamanku terhadap wanita..dengan segala kerumitan cara berfikir dan perasaan mereka. Antara Pandawa dan Kurawa..tipis bedanya antara penghargaan dengan penindasan harkat wanita. Kusadari sekarang, bahkan kecerdasan seorang Yahudi sekaliber Sigmund Freud sekalipun tak dapat mengupas tuntas segala hal tentang wanita, bahkan melalui riset ilmiah yang ditekuninya selama 30 tahun sekalipun.
Aku pusing, aku harus kembali ke studioku dan meninggalkan peran sherpa yang telah kurasuki.
“Aku harus pergi” pamitku pada Drupadi.
Drupadi menatapku lekat-lekat. “Kemana?” tanyanya kemudian dengan nada heran.