"If we start being honest about our pain, our anger, and our shortcomings instead of pretending they don't exist, then maybe we'll leave the world a better place than we found it." -- Russell Wilson
Krisis global yang diakibatkan pandemi Covid-19 menjadi malapetaka bagi masyarakat di berbagai belahan negara. Namun, dunia bukan pertama kalinya dihantam krisis global.Â
The Great Depression tahun 1930-an dan krisis ekonomi Asia tahun 1998 telah menorehkan catatan kelam dalam sejarah perekonomian yang bermuara pada krisis global.Â
Keadaan ekonomi yang memburuk berdampak pada naiknya pemutusan hubungan kerja dan peningkatan angka pengangguran yang pada gilirannya akan berdampak pada kondisi psikis masyarakat.
Tak dapat dipungkiri, minimnya pendapatan dan banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan telah membawa gelombang kemiskinan dan masalah kejiwaan pada level yang cukup serius dan masif.Â
Di kota New York misalnya, ketika Great Depression menghantam Amerika, banyak ditemui warga yang membangun rumah tinggal (bahkan mungkin tidak cocok disebut rumah tinggal) berbentuk gubuk yang dibangun dari bahan-bahan rongsokan.Â
Selain gubuk, banyak pula dijumpai warga yang memilih tinggal dan tidur di taman-taman kota. Namun tak sedikit pula warga yang memilih untuk tinggal di pipa-pipa pembuangan dengan balutan kertas koran atau majalah bekas sebagai pengganti pakaian yang melindungi mereka dari serangan udara dingin.
Kondisi yang dirasa amat berat ini membuat sebagian masyarakat memilih mengakhiri hidupnya. Antara tahun 1928 hingga tahun 1932 kenaikan jumlah kasus bunuh diri juga meningkat lebih dari 30%.
Ketika krisis moneter tahun 1998 menerpa negara-negara Asia termasuk Indonesia, kasus bunuh diri khususnya di Jakarta juga mengalami tren kenaikan. Krisis berkepanjangan yang berakibat pada himpitan ekonomi ditengarai menjadi faktor utama.Â
Pada periode tahun 1997 hingga tahun 1998 angka kasus bunuh diri tercatat naik hingga 33,3%.
"Krisis semakin berat sedangkan tidak semua masyarakat memiliki daya tahan." ujar Prof. Dr. Dadang Hawari seorang psikiater dan Guru Besar Fakultas Kedokteran UI.Â
Bagi masyarakat yang tak mampu bertahan khususnya masyarakat kalangan kelas bawah yang rentan terdampak krisis, mereka seolah tak memiliki banyak pilihan dan bisa dibilang mereka menemui jalan buntu.Â
Sebagian masyarakat yang secara psikis tak mampu menahan beban lebih memilih untuk bunuh diri. Di satu sisi, masyarakat yang memiliki daya tahan secara psikis namun secara ekonomi tak mampu bertahan akhirnya terpaksa menempuh jalan tak halal dengan menjadi pelaku kriminal.
Situasi dan kondisi yang sungguh desperate kala itu sedang mencoba kembali menampakkan dirinya, kali ini berupa musibah pandemi Covid-19. Meskipun faktor penyebab situasi depresi kala itu begitu berbeda dibandingkan situasi saat ini, namun faktor ekonomi tetap menjadi salah satu penyebab utama depresi.Â
Dari beberapa informasi yang saya himpun, setidaknya terdapat empat faktor penyebab gangguan terhadap kesehatan mental di kala pandemi saat ini:
Rasa kekhawatiran dan ketakutan akan tertular Covid-19 rupanya menciptakan ketakutan yang serius. Adanya kebijakan menjaga jarak dan ajakan untuk tidak keluar rumah menciptakan rasa keterasingan bagi sebagian masyarakat. Rasa keterasingan ini cukup memengaruhi kondisi mental seseorang.Â
Apalagi bagi mereka yang tidak terbiasa berdiam diri di rumah. Selain rasa keterasingan, rasa bosan karena berdiam di rumah terus menerus juga turut memberikan sumbangsih terhadap risiko kemungkinan bunuh diri.
2. Faktor Ekonomi
Tak dapat dielakkan lagi kalau faktor ekonomi seringkali menjadi major cause dari berbagai permasalahan mental. Pengangguran dan tekanan ekonomi menciptakan ketidakpastian finansial dan rasa keputusasaan, mengingat saat ini tidak ada yang tahu pasti kapan pandemi akan berakhir.Â
Pada kuartal II tahun 2020, perekonomian Indonesia terpantau tumbuh negatif 5,32%. Bahkan hingga akhir Juli 2020 tercatat sejumlah 2,14 juta tenaga kerja formal dan informal terdampak pandemi Covid-19. Faktor ekonomi yang disebabkan pandemi memang tidak secara langsung membawa dampak buruk pada kesehatan mental.
Namun akan terasa nyata dan langsung bagi mereka para pekerja informal sepert mitra ojek online, pedagang kaki lima, warung dan masyarakat yang mengandalkan pendapatan harian mengingat adanya pembatasan sosial dan larangan untuk keluar rumah.Â
Bagi pekerja formal, dampak pandemi semakin terasa nyata ketika mayoritas perusahaan memutuskan untuk mengurangi jumlah tenaga kerja mereka karena perusahaan terus merugi. Tidak sedikit mereka yang tetap bertahan harus memilih pengurangan gaji sebagai opsinya.
3. Stres dan Trauma
Stres dan trauma yang eksisting saat ini didominasi peran media sosial dan media massa. Terlalu sering mengakses informasi seputar Covid-19 juga dapat menimbulkan rasa cemas yang berlebihan hingga berujung depresi.Â
Namun stres dan trauma yang dirasakan masyarakat akan dirasakan lebih berat lagi oleh tenaga kesehatan. Sumber stres mereka bisa dibilang cukup ekstrim seperti menyaksikan pasien Covid-19 meninggal sendirian, atau khawatir akan tertular langsung dari pasien, jam istirahat yang amat sangat berkurang atau bahkan tidak ada, belum lagi mereka harus meninggalkan keluarganya untuk waktu yang lama.Â
Dalam sebuah survei yang diselenggarakan oleh Departemen Keperawatan Jiwa UI dan Divisi Penelitian Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) terhadap 2.132 perawat seluruh Indonesia pada bulan April-Mei 2020.Â
Mayoritas tenaga kesehatan mengalami kecemasan dan depresi serta terdapat beberapa dari mereka yang berpikir untuk bunuh diri karena tak mampu menahan beban kerja yang semakin berat.
4. Stigma dan Diskriminasi
Di Indonesia, stigma dan diskriminasi terasa amat nyata. Terlebih bagi mereka tenaga kesehatan (lagi-lagi tenaga kesehatan mohon dikoreksi kalau saya salah yaa) yang harus bekerja di rumah sakit. Tak sedikit tetangga, keluarga, rekan, atau orang sekitar mereka yang menghindar.Â
Ada yang tiba-tiba menutup pintu, melarang naik kendaraan umum, bahkan yang lebih ekstrim seperti diusir dari tempat tinggal dan ancaman diceraikan istri atau suami juga ada. Namun rupanya hal ini juga banyak dialami oleh mantan pasien Covid-19.Â
Hemat saya, Covid-19 bukanlah aib, sehingga kita tidak perlu bertindak berlebihan. Cukup ikuti protokol kesehatan yang berlaku dan tingkatkan kesadaran akan kebersihan.
Apa yang dapat kita lakukan?
Beberapa faktor di atas memang tidak menggambarkan keseluruhan faktor penyebab depresi khususnya di saat pandemi seperti ini, namun saya berharap ketika pembaca telah mengenali beberapa penyebab tersebut dapat melakukan mitigasi atau mengambil tindakan preventif seperti lebih bijak dalam memilih informasi yang Anda konsumsi baik di media sosial ataupun media massa.Â
Tidak lupa menjaga komunikasi dengan keluarga, sahabat, dan rekan kerja juga menjadi salah satu alternatif solusi untuk menjaga kesehatan mental. Menjaga pola hidup sehat dengan berolahraga teratur dan menjaga asupan gizi serta menekuni hobi baru yang bisa dilakukan di rumah menurut saya dapat mengurangi tingkat kecemasan dan depresi agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Apabila disekitar lingkungan sobat Kompasianer baik keluarga, teman, atau diri sendiri sudah merasa beban yang dipikul terlalu berat dapat menghubungi layanan psikologis gratis yang disediakan oleh pemerintah yaitu layanan Sejiwa.Â
Layanan ini adalah layanan kesehatan yang diinisiasi atas hasil Kerja sama antara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA), Kementerian Kesehatan, Satgas Percepatan Penanganan Covid-19, PT Telkom, Infomedia, dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).Â
Layanan ini ditujukan untuk membantu menangani potensi ancaman tekanan psikologi masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Layanan ini dapat dihubungi melalui hotline 119 ext 8.
Terima kasih,
Salam hangat.
Jakarta, 22 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H