" Hendaknya kita buat penjara luas yang menjadi bagian dari sesuatu, sehingga si tawanan tidak menyangka bahwa ini adalah kuburan dan akhir hayatnya. Bilamana sang Sultan ingin melepaskannya, cukuplah bagi beliau membuka celah kecil di atas tembok, celah yang akan memberinya sedikit cahaya, bukan memberika secercah asa. Suatu keharusan langit tak terlihat, sehingga tak terbesit keinginan untuk lari melepaskan diri, biarkan dindingnya telanjang tanpa tembok, agar kekasarannya membangkitkan aroma kesedihan atas kenikmatan yang tertinggal diluar, biarkan pula tanahnya gundul, agar serangga dan cacing-cacing tanah merayap di kakinya, dengannya ia tahu makna akan hidup yang tersia-sia dan kehinaan."
Semuanya bergegas menyiapakan pembangunan penjara yang diinstruksikan.
KOTA CAIRO
Setelah beberapa hari, sampailah sang tawanan di dataran tinggi Cairo, gelap menyelimuti. Namun kota dengan penahanan kolosal itu menjelma seperti hewan melata dirongga kegelapan, kerlap-kerlip lampu temaram mengelilingi, bayangan bepuluh-puluh menara tampak memanjang, rongga dadanya penuh sesak bau harum kota Cairo, percampuran dari udara lembab, air sungai Nil, kolam-kolam, pepohonan, dan sisa-sisa tulang manusia. Akhirnya, sampailah ia pada kota yang sudah lama didengar perbincangkan, kota yang akan jadi akhir dari pengembaraannya. Akan ia langkahkan kakinya menuju perkemahan-perkemahan universitas Al Azhar sampai kepayahan, kemudian duduk di salah satu tiangnya untuk berdiskusi dengan imam-imam empat madzhab, akan menaiki undakan-undakan gunung Muqotom, merenungkan peredaran cakrawala dan mengetahui bagaimana berputarnya zaman. Sudah selayaknya, perjalanan dengan berbagai halangan dan rintangan mengantarkannya kepada kota ini. Ia yakin malapetaka ini akan sirna, borgol pada kedua tangannya akan terlepas, sebentar lagi ia akan bertemu dengan sang Sultan, sang Sultan akan mengukuhkan kebenaran kata-katanya dan menemukan kebohongan tukang adu domba beserta fitnahnya, menghadiahkan kebebasan dan kesempatan untuk hidup di kota ini.
Disaat yang lain seorang pengawal mendekat, ia memegang penutup mata, dengan segan ia berkata:
'' Ma'af tuan, ini perintah. Saya akan menutup kedua mata tuan sebelum tuan memasuki kota."
Syeikh berkata dalam kedukaan:
" Kamu sekalian akan menghalangiku dari melihat pemandangan yang sudah lama aku idam-idamkan? tidak apa-apa, akan ku lihat pemandangan kota ini dengan pandangan hatiku
PERMOHONAN AMPUNAN
Malam ini sang Sultan tidak dapat memejamkan mata, beliau lelah, merasa bahwa sepanjang beberapa umur manusia telah di lewatinya dalam peperangan. Disetiap peperangan ia yakin bahwa ini adalah perang terakhir, tetapi nyala api yang tersembunyi dibawah abu menyalakan api baru, yang diidam-idamkan hanyalah secepat mungkin merampungi pembuatan benteng itu, hingga rakyat dapat tidur memperoleh rasa aman diantara tembok-temboknya, tidur yang nyenyak. Tetapi bagaimana bisa? Pasukan besar itu tak mau berkompromi di daratan eropa yang dingin, semenjak mengalahkannya di Khathin dan memukul mundur dari Baitul Maqdis, mereka tidak mau berhenti berteriak-teriak menuntut balas atas kekalahannya.
Terdengar ketokan pintu. Siapa orang yang berani mendatangi kamarnya selarut ini, pasti malapetaka yang mengantarkannya, menganggu ketentraman istirahat sang Sultan. Sultan bangkit berdiri membuka pintu, tak nampak olehnya pelayan yang biasa meladeninya, yang datang adalah seorang pemuda kurus yang menyerupai spektrum, membawa roman muka Sholahudin, hanya saja kentara lebih muda. Sultan memandanginya dengan tatapan bingung: