Mohon tunggu...
Aji Cahyono
Aji Cahyono Mohon Tunggu... Jurnalis - Islamic Education, Politic International Relationship, Middle East Region, Philosopher

Saya di lahirkan dari cinta, oleh cinta, dan untuk cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilarang Pinter, Risiko Hidup Anak Miskin

9 September 2019   20:20 Diperbarui: 9 September 2019   20:46 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Cerita Pendek yang di konsepsi secara filsofis ini mengisahkan perjalanan anak bangsa Indonesia yang berstrata sosial rendah dalam menggapai mimpi menjadi bagian pewaris peradaban bangsa, namun selalu berlika liku karena terdengar suara huruf yang bersua membentuk kata yang puitis, sehingga enak di dengar bagi kalangan pro"

•

•

"Hidup", suatu kata yang tak asing di telinga bagi manusia. Bahkan, mengucapkan kata "hidup" manusia perlu oksigen dan di olah menjadi karbondioksida. setelah itu, manusia juga belajar membaca huruf yang dirangkai dengan jumlah yang di perlukan sehingga menghasilkan kata. Contoh saja kata "Hidup", juga membutuhkan huruf   H,I,D,U,P.  Sudah jelas bahwasanya manusia tidak akan munafik jikalau tidak pernah melafalkan kata "hidup".

•

"Kehidupan", kata yang esensinya berawal dari kata "hidup" yang hanya di tambah dengan imbuhan Ke- dan -an, sehingga sudah menjadi makna yang berbeda. Dan yang pasti, manusia dalam menjalankan roda kehidupan tidak terlepas dengan ikut andil peran Tuhan dalam penciptaan (jikalau menyakini adanya hal metafisika) yaitu menciptakan oksigen, unsur kimia bersifat gas, sebaagai unsur yang vital dalam menjalankan roda pergerakan manusia.

•

Memang bisa di gambarkan bahwasanya manusia dalam berkehidupan itu dinamis, karena manusia itu makhluk hidup, sedangkan kehidupannya statis itu sebagai faktor pendukung manusia dalam kehidupan, atau makhluk tak hidup, seperti batu, air, udara, matahari, dan lain sebagainya. Karena makhluk tak hidup mempunyai kebermanfaatan yang sangat minim apabila di bandingan dengan manusia yang mempunyai sejuta kebermanfaatan

•

Pernyataan atau substansi dari narasi di atas di jadikan sebagai acuan pembanding bahwasanya kehidupan merupakan keberadaan yang urgent sekali bagi alam dunia dan se-isinya, kebijakan mutlak sepenuhnya yang mengendalikan adalah akal manusia, jikalau yang menangkap persepsi dengan sudut pandang yang minim, maka kejanggalan dalam berfikkr manakalah perlu di kaji kembali komprehensif dan koheren.

•

Si Tole (akrab panggilannya) menuturkan bahwa dirinya terlahir dari perpaduan dari perbedaan 2 kultur kedaerahan, 2 kultur bahasa daerah dan 2 suku daerah. Sehingga konsep ke-Indonesiaan tetap ada untuk menjaga pandangan bahwasanya pancasila masih menjadi acuan dalam gerakan berbasis kerakyatan.

•

Dalam konteks Historism - Empirism, Si Tole mengalami berbagai macam dinamika. Pasang surut kehidupan selalu di hadapkan. Yang pasti narasi ini menjadi suatu tolak ukur dengan membangun semangat positivisme dari segi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.

•

Si Tole, anak yang berlatarbelakang ekonomi pas - pasan. Menjadi suatu kebiasaan ketika dalam proses pendidikan formal dengan seiringnya berjalannya zaman ke zaman. Yang pasti komersialisasi pendidikan formal tentu ada.

•

Semenjak Si Tole menyandang status balita jikalau di tinjau dalam konteks umur di dunia, si Tole secara tak sadar mengasah diri melalui keterampilan membaca. Oleh karena itu, dengan membaca, menjadi tolak ukur tanpa melalui prosedur pengeyaman pendidikan biasanya yaitu tanpa berproses di Taman Kanak - Kanak atau TK.

•

Sebelum masuk di Sekolah Dasar, bahkan dari pihak sekolahan mempertanyakan ijazah. Akan tetapi, dari orang tua si Tole tersebut tidak bisa menunjukan, karenanya anaknya (si Tole) tidak pernah mengenyam pendidikan kanak - kanak. Alhasil, si Tole menaruhkan diri bahwasanya si Tole mampu mengenyam pendidikan formal yaitu Sekolah Dasar dengan kemampuan membaca.

•

Selanjutnya, si Tole akhirnya bisa mengenyam di pendidikan formal. Hanya faktor umur yang masih menjadi prematur apabila di kaji secara kuantitatif dalam kriteria pendidikan yang sejajar dengan proses pengenyam pendidikannya.

•

Semenjak si Tole beranjak remaja, mengenyam pendidikan menengah atas menjadi suatu keharusan di karenakan sesuai dengan anjuran pemerintah wajib belajar 12 Tahun. Diksi yang di anjurkan oleh pemerintah masih menjadi multitafsir. Yang pasti si Tole masih bersikukuh untuk melanjutkan prosesnya kembali.

•

Namun, lagi² membicarakan persoalan faktor ekonomis menjadi suatu penghambat dalam proses pendidikan formal yang bisa di kategorikan sebagai Pendidikan formal unggul jikalau di bandingkan dengan pendidikan formal yang lain. Dan yang pasti, perlu di persiapkan juga materiil yang harus di tunaikan.

•

Memang esensi dari Pendidikan Formal lamban laun perkembangan zaman berbeda². Bahkan citra pendidikan Formal sudahlah berbeda, dari kolektif kolegial non-wajib retribusi pendidikan menjadi komersialisasi wajib retribusi pendidikan sesuai dengan institusi tersebut.

•

Akan tetapi bukan menjadi hal yang menjadi kendala dalam proses pengenyaman Pendidikan Formal, bantuan² dari rakyat melalui pajak (pemerintah) yang hanya menjadi andalan setia semasa mengenyam pendidikan formal.

•

Kicauan² manusia berpuitisasi otodidak mulai bermunculan melalui Kritikan² yang di sandarkan kepada keluarga si Tole. Melainkan itu sudah menjadi hal yang wajar dan sering terjadi. Ada beberapa syair² yang mendengung dan melengking hanya yang pro saja kepada Penyair tersebut. 

Buat apa sekolah jauh - jauh. Prosesmu hanya sia - sia. jikalau mencari kerja karena ijazah. Jangan paksakan hidupmu yang susah karena anakmu yang berpendidikan yang jauh. Oh, Sudahlah kau tak mampu meneruskan anakmu hingga lulus.

Lontaran² tersebut melainkan menjadi suatu penyemangat dalam proses hidup meskipun kurang terkondisikan secara ekonomi. Hanya dengan menyembunyikan suara yang fasih dengan abjad "javanese".

•

Kicauan panas yang puitis mulai bersahutan ketika si Tole beranjak masuk di Pendidikan Tinggi Negeri (PTN) ternama, bukan menjadi faktor penghambat bagi si Tole, melainkan menjadi penyemangat dalam berproses di Pendidikan Tinggi.

•

Subjektivitas manusia memang dalam menilai berbeda, akan tetapi bagi si Tole itu menjadi hal yanb biasa dan lumrah dalam ilmu sosial (tonggologi). Karena perbedaan dari suatu watak bukan menjadi pokok bahasan masalah yang menjadi perpecahan, melainkan menggali rumusan masalah untuk memperkukuh bangsa Indonesia dengan keberagaman. Dengan kata "Indonesia" , kemerdekaan yang beragam menjadi suatu kemesraan abadi.

•

•

Tetap semangat menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, ayo di kawal bersama² dalam merawat ideologi pancasila, Konstitusi UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

Merdeka✊

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun