Si Tole (akrab panggilannya) menuturkan bahwa dirinya terlahir dari perpaduan dari perbedaan 2 kultur kedaerahan, 2 kultur bahasa daerah dan 2 suku daerah. Sehingga konsep ke-Indonesiaan tetap ada untuk menjaga pandangan bahwasanya pancasila masih menjadi acuan dalam gerakan berbasis kerakyatan.
•
Dalam konteks Historism - Empirism, Si Tole mengalami berbagai macam dinamika. Pasang surut kehidupan selalu di hadapkan. Yang pasti narasi ini menjadi suatu tolak ukur dengan membangun semangat positivisme dari segi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
•
Si Tole, anak yang berlatarbelakang ekonomi pas - pasan. Menjadi suatu kebiasaan ketika dalam proses pendidikan formal dengan seiringnya berjalannya zaman ke zaman. Yang pasti komersialisasi pendidikan formal tentu ada.
•
Semenjak Si Tole menyandang status balita jikalau di tinjau dalam konteks umur di dunia, si Tole secara tak sadar mengasah diri melalui keterampilan membaca. Oleh karena itu, dengan membaca, menjadi tolak ukur tanpa melalui prosedur pengeyaman pendidikan biasanya yaitu tanpa berproses di Taman Kanak - Kanak atau TK.
•
Sebelum masuk di Sekolah Dasar, bahkan dari pihak sekolahan mempertanyakan ijazah. Akan tetapi, dari orang tua si Tole tersebut tidak bisa menunjukan, karenanya anaknya (si Tole) tidak pernah mengenyam pendidikan kanak - kanak. Alhasil, si Tole menaruhkan diri bahwasanya si Tole mampu mengenyam pendidikan formal yaitu Sekolah Dasar dengan kemampuan membaca.
•
Selanjutnya, si Tole akhirnya bisa mengenyam di pendidikan formal. Hanya faktor umur yang masih menjadi prematur apabila di kaji secara kuantitatif dalam kriteria pendidikan yang sejajar dengan proses pengenyam pendidikannya.