Mohon tunggu...
Oji Ijo
Oji Ijo Mohon Tunggu... -

Orang awam yang bosan dengan berita naiknya harga sembako, kekerasan, tawuran, perampokan, penculikan, dll dll, terlebih dengan omongan ngaconya anggota2 *ewan seperti Bamsat, Naziz, dan temen-temennya

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ketika November Beranjak Pergi

30 November 2011   09:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:00 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Aku percepat laju mobilku. Berharap agar sebelum sholat maghrib dimulai, aku dan adik-adikku telah sampai di Masjid Asy-Syifa. Beruntung, Tegal bukanlah kota macet seperti Jakarta sehingga  tak kurang dari lima menit berlalu, kami telah memasuki area masjid. Kedua menara yang berdiri kokoh seakan tersenyum menyambut kami. Perasaan damai, tenteram, sedih, pasrah, dan ikhlas berbaur menjadi satu.

***

Tak pernah kudengar Bapak mengeluh. Meski hidup kami pas-pasan, hidup selalu dijalani Bapak dengan wajar. Tidak pernah sedikitpun Bapak uring-uringan meratapi hidup yang semakin berat. Menghidupi sepuluh orang anak tentulah bukan hal yang mudah. Apalagi bagi Bapak yang tidak banyak uang dan bukan keturunan orang berada. Tapi itu tidak membuat Bapak menjadi seorang pemarah.

Kami, anak-anaknya, tidak pernah mendapatkan hukuman berlebih jika melakukan kesalahan. Satu-satunya hukuman yang diberikan Bapak jika kami berbuat salah hanyalah 'slentikan' yang tidak terlalu keras di kuping kami. Tapi biasanya ketika jari-jari Bapak sudah mengambil ancang-ancang 'nylentik', kami langsung menangis dan meminta maaf sehingga hukuman pun dibatalkan. Dan hukuman slentikan itu pun dibatasi hingga anak-anak lulus SD. Ketika memasuki SMP, Bapak menganggap bahwa kami sudah besar sehingga setiap kami melakukan kesalahan Bapak hanya menasehati.

Tak segan Bapak berbagi tugas rumah tangga dengan Ibu. Karena Ibu juga bekerja hingga sore hari, maka kewajiban memandikan anak-anak dipegang Bapak. Aku ingat, Bapak selalu memandikan empat orang anak bersama-sama. Tentu saja tempat mandi menjadi arena yang heboh. Kehebohan akan bertambah kalau Bapak mulai menaruh bubuk shampoo di kepala kami. Biasanya kami akan gelagapan dan menangis minta keramas segera dihentikan. Tapi tidak pernah Bapak kehilangan kesabaran.

Aku sering merasa heran, menebak-nebak kapan Bapak dan Ibu makan malam. Nasi yang tidak terlalu banyak dan dua porsi mie instan yang diperbanyak kuahnya selalu habis untuk makan malam anak-anaknya. Kami hampir tidak pernah, atau jarang sekali melihat Bapak makan malam. Tetapi bagi anak-anak kecil seperti kami, hal itu bukan sesuatu yang mengganggu pikiran. Padahal bukan tidak mungkin setiap malam Bapak selalu memutar otak berpikir bagaimana caranya agar esok hari kami dapat makan dengan lahap.

Satu hal yang tidak akan pernah hilang dari benak anak-anaknya, tidak sekalipun Bapak mengeluarkan kata-kata kasar. Mulutnya memang suci, sesuai namanya. Tohir.

***

Turun dari mobil, aku berlari terburu-buru. Rasa lelah sehabis menempuh perjalanan dengan pesawat dan kereta tak terasa seditpun. Yang ada hanyalah keinginan segera sampai di rumah.

Sesaat kemudian sampailah aku di depan pintu. Seketika suasana mencekam haru. Segera kuambil air wudlu. Aku sholat empat takbir di hadapannya. Sesudah salam dan berdo'a, kusibak kain penutup. Kupandangi wajahnya yang damai, seperti yang sering dia dahulu lakukan ketika menatap anak-anaknya yang tengah tertidur. Aku menangis. Haru dan sedih. Inilah saat terakhir aku memandang dan mencium wajah Bapak.

Aku sedikit menyesal, mengapa aku tidak sempat berada di sampingnya dan membisikan kalimat-kalimat thoyyibah ketika malaikat hendak menjemputnya. Namun aku bangga, Bapak justru mendorong aku segera pergi ke tanah rantau untuk menunaikan tugas sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, padahal saat itu Bapak begitu memerlukan kehadiranku. Ah, ternyata ketulusannya tidak pernah hilang bahkan di saat-saat akhir hidupnya.

***

Kutatap Asy-Syifa ini lekat-lekat. Masjid ini menjadi tempat kami mengadu kepada Sang Maha Penyembuh saat Bapak dirawat di RS Islam Harapan Anda. Barangkali karena itulah, kami selalu ingin sholat di dalamnya saat melewati masjid ini.

Aku dan adik-adikku segera mengambil wudlu. Tanpa bisa dicegah, pikiranku mengembara ke masa puluhan tahun yang lalu, saat Bapak memandikan aku dan adik-adikku. Kedamaian yang terasa karena usapan air wudlu di wajah, persis sama dengan yang kami rasakan ketika Bapak mengusap wajah kami dulu.

(Bapak, aku kangen. Maafkan aku yang bahkan tidak bisa memandikanmu di saat-saat akhir. Al-fatikhah...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun