Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kekuatan Pikiran dalam Pleidoi Soekarno-Hatta

26 Januari 2024   11:12 Diperbarui: 26 Januari 2024   11:22 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Tribunews.com 

Sampai saat ini saya masih salute dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Diusia mudanya, mereka berjuang dengan berlandaskan pikiran dan intlektual yang mereka miliki. Pikiran-pikiran mereka yang dituangkan dalam tulisan berupa pleidoinya, mampu menggugah pemerintah kolonial Belanda.

Pleidoi Bung Karno, 'Indonesia Menggugat' merupakan pembelaan Bung Karno saat di sidangkan di Landraad Bandung, pada tahun 1930. Bung Karno, bersama tiga rekannya: Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dituduh hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda.

Bung Karno menyusun dan menulis sendiri pledoinya tersebut dari balik penjara Bantjeuj atau Banceuy, Bandung. Isinya mengupas keadaan politik internasional dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah penjajahan kolonial Belanda. Pidato pembelaan ini kemudian menjelma menjadi suatu dokumen politik menentang kolonialisme dan imperialisme.

Pleidoi yang dibacakan Bung Karno tersebut, manifestasi dari kekuatan pikirannya. Dimana dia harus bersikap terhadap pemerintah kolonial Belanda, dan membela dirinya dari tuduhan penggulingan kekuasaan kolonial Belanda. Selain itu, Bung Karno juga membela bangsanya yang tertindas selama tiga setengah abad.

Seperti yang diceritakannya dalam buku, "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat" pada Cindy Adam, penulis buku tersebut.

"Dalam buku ini, aku mengungkapkan secara terperinci penderitaan yang menyedihkan dari rakyatku sebagai akibat penghisapan selama tiga setengah abad di bawah penjajahan Belanda."

"Tesis tentang kolonialisme ini, yang kemudian diterbitkan dalam selusin bahasa di beberapa negara dan yang diguratkan dengan kata yang bernyala-nyala, adalah penulisan di atas kaleng tempat buang air yang bertugas ganda itu," tulis Soekarno menambahkan.

Bung Hattapun menuliskan isi pikirannya yang berjudul, 'Indonesia Merdeka' sebagai pleidoi pembelaannya dipengadilan kolonial Belanda. Isi pikirannya, dia mengkritik pemerintahan Belanda.

Sama seperti Bung Karno, selama berada di penjara, Mohammad Hatta tidak hanya berdiam diri. Ia menyibukkan diri dengan menulis sebuah pidato pembelaan yang nantinya akan dibacakan dalam persidangan.

Bung Hatta ditangkap karena aktivitasnya di dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) yang dianggap dapat membahayakan keberadaan Belanda di Indonesia. Bung Hatta kemudian dijebloskan ke dalam penjara pada 23 September 1927 dan baru dibebaskan pada 22 Maret 1928.

Dengan gagah berani Bung Hatta membacakan pidato "Indonesia Merdeka" yang ia tulis di persidangan yang diselenggarakan tanggal 9 Maret 1928.
Berkat pidato tersebut, Mohammad Hatta dibebaskan dan tidak dijatuhi hukuman apa pun. Artinya, kekuatan pikiran yang dituangkan Bung Hatta dalam pidato pembelaannya tersebut, mampu menggugah pemerintah kolonial Belanda. (Sumber)

Saya tidak habis pikir kalau saat ini banyak kaum intelektual justeru berbanding terbalik cara berpikirnya dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka lebih senang menempuh cara-cara yang tidak hormat, dalam memperjuangkan ketidakpuasan mereka terhadap penguasa.

Seperti yang dilakukan seorang ekonom senior, dan juga akademisi, memprovokasi para menteri agar mundur dari jabatan menteri. Itu dia lakukan hanya atas ketidakpuasan terhadap keadaan. Padahal, seharusnya dia bisa lakukan dengan cara-cara yang lebih intlek dan sesuai dengan kapasitasnya.

Jadi benarlah kalau dikatakan Romo Mangunwijaya, bahwa generasi Soekarno-Hatta jauh lebih baik dari generasi sekarang ini. Soekarno-Hatta, pikiran-pikirannya yang dituangkan dalam tulisan, mampu mendobrak tirani kekuasaan.

Saya sudah pernah membuktikan, bahwa kekuatan pikiran yang dituangkan dalam tulisan mampu mendobrak tirani kekuasaan. Selama apa yang disampaikan realistis dan mampu menggugah perasaan. Bukan menyampaikan kebencian dan ketidaksukaan pada penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun