Sejak terjun menjadi politisi, Roy Suryo banyak menjadi sorotan publik, tapi sayangnya cenderung menjadi public enemy, padahal kepakarannya dalam hal telematika, sempat membuat namanya melambung.
Seharusnya dia belajar sama Tante Ernie, yang dijuluki sebagai "Tante Pemersatu Bangsa", hanya bermodalkan Body Goals-nya, meskipun dia merasa sebagai ibu rumah tangga biasa, bukanlah public figure.
Sementara Roy Suryo modalnya lebih cukup dari Tante Ernie. Sebagai pakar telematika, pendangannya sering dijadikan rujukan, dalam menganalisis sebuah foto atau video yang diragukan kebenarannya.
Harus diakui, Roy sudah tergolong sebagai pigur publik, yang prilaku dan tindakannya akan selalu menjadi perhatian publik. Dalam logika yang sederhana, seorang figur publik tetaplah harus menjaga perilaku dan tindakannya, kalau pun tidak bisa menjadi Pemersatu Bangsa.
Sebagai seorang profesional dalam bidang telematika, analisisnya tentang foto Presiden Jokowi dan Ibu Iriana, yang menjadi perbincangan hangat di berbagai media, bisa saja benar, hanya saja urgensinya yang tidak mengena.
Kesan yang muncul dari analisisnya tersebut, mengada-ada, dan cuma sekadar nyinyir dan mencari kesalahan. Sementara publik punya catatan kesalahan Roy Suryo yang sangat banyak, sehingga berbagai kritiknya, terlebih kepada Presiden Jokowi menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Kalau saja Roy Suryo seperti Tante Ernie, mungkin kritiknya akan didengar oleh publik, terlepas dari kritiknya benar atau tidak. Sayangnya Roy tidak diposisi Tante Pemersatu Bangsa, sehingga kritiknya terhadap foto Presiden Jokowi dan Ibu Iriana, malah membuka aibnya sendiri.
Publik tidak terlalu hirau dengan foto Presiden Jokowi dan Ibu Iriana, yang menjadi sorotan Roy Suryo, terlepas foto tersebut dibuat atas dasar setingan, atau pun real. Karena narasi yange menghantarkan foto tersebut di media, memberikan pesan Presiden mengucapkan Selamat Idul Fitri untuk masyarakat Indonesia.
Ternyata publik lebih kritis terhadap kritik yang dilayangkan Roy Suryo, terlebih lagi ketika Roy menyoroti soal panci yang menjadi property di dalam foto tersebut. Sehingga memori publik tentang panci, menguak tentang barang inventaris kementerian olah raga yang die isukan dibawa Roy saat tidak lagi menjadi menteri.
Dan perkara itu pulalah yang membuat Roy digelar sebagai "pakar panci", yang mana sebutan itu saat ini menjadi idiom dirinya, sebagai pengganti sebutan sebagai pakar telematika.
Pelajaran dari Tante Ernie, yang bukan siapa-siapa, dan bukan seorang pigur publik, tapi mampu mencuri perhatian publik, tanpa harus perlu banyak berkicau, cukup menampilkan apa adanya yang menjadi kekuatan dirinya sendiri.
Sementara Roy mempunyai modal yang banyak sebagai pigur publik, seorang pakar telematika, mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga, seorang politisi sekaligus anggota DPR. Modal sosialnya untuk disukai publik sudah sangat cukup.
Tidaklah harus menjadi Pemersatu Bangsa, setidaknya jangan menjadi pemecah bangsa dengan berbagai pernyataan-pernyataan yang tidak penting di media sosial.
Tidak ada keharusan di media sosial melulu melontarkan kritik, kalau pun harus kritis, lakukanlah hal-hal yang konstruktif, mencerahkan, dan memberikan wawasan kepada publik, bukan cuma sekadar nyinyir.
"Melihat kesalahan orang lain, jauh lebih mudah dari melihat kesalahan sendiri. Kalau pun aib kita sendiri belum terbuka, itu hanya karena Tuhan masih menundanya, tapi ketika kita membuka aib orang lain, maka ada saatnya aib kita sendiri akan dibuka"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H