Ini sebuah catatan perjalanan Hijrah Prabowo Subianto dalam sudut pandang subjektif saya pribadi, yang saya lihat sebagai sebuah proses Metamorfosis Prabowo dari sosok yang berkarakter Antagonis, menjadi Protagonis. Catatan ini refelksi dari peristiwa 22 Juni 2019, setahun yang lalu.
Yang namanya sudut pandang pribadi sangat lah subjektif, bisa saja tidak sepenuhnya benar. Bisa saja dalam pandangan pendukungnya, Prabowo adalah sosok Protagonis, tapi setidaknya catatan ini berdasarkan peristiwa dan kejadian dari hasil pengamatan, yang terekam dalam ingatan saya.
Dua kali menjadi Calon Presiden, dan dua kali pula gagal. Sepertinya Prabowo menyadari betul banyak faktor yang menyebabkan kekalahannya, baik dalam strategi politik mau pun soal lingkungan politiknya.
Dalam dua kali mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden, Prabowo selalu melakoni peran antagonis, berlawanan dengan rivalnya Jokowi yang ditempatkan sebagai tokoh protagonis, yang lebih banyak meraih simpati. Ini pun tentunya pandangan yang subjetif.
Sebagai tokoh antagonis, secara strategis sangat merugikan posisi Prabowo, seperti pada umumnya tokoh antagonis pada lakon sebuah drama, apa lagi dianggap sebagai tokoh yang diperankannya tidak mengundang simpati.
Diakhir Pilpres 2019, sepertinya Prabowo menyadari betul kalau ada "kawan" yang sengaja memanfaatkan posisinya, untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga semakin memberikan kesan buruk kepadanya.
Dan puncak kesadaran tersebut muncul setelah peristiwa 22 Mei 2019, saat dia merasa ada yang memanfaatkan situasi untuk memecah belah bangsa, sementara dia tidak menyukai hal seperti itu meskipun sempat terlena dengan politik identitas yang ada disekitarnya.
Sementara motto hidup dan politiknya:
"Perjuangan politik harulah dalam koridor konstitusi. Harus dilakukan tanpa kekerasan"
Jelas apa yang ada di depan matanya sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Ada gejolak dalam batinnya, ketika dia mengingat kembali apa yang menjadi prinsip hidupnya dalam berpolitik.
Quotes Prabowo tersebut saya temukan dalam kumpulan kata-kata bijak tokoh-tokoh Indonesia, juga tokoh dunia. Quote itu saya disain dengan bagus, dan saya tweet dan mention ke akun twitternya sebelum peristiwa puncak kerusuhan dimalam pada tanggal 22 Mei 2019, di depan Gedung Bawaslu jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Pada malam itu juga Prabowo Subianto, akhirnya berpidato, meminta pendukungnya menghentikan segala bentuk kerusuhan. Ajaibnya, selesai pidato Prabowo, kerusuhan benar-benar berhenti.
Saya menduga, ini awal dari proses metamorfosis Prabowo itu dimulai, meskipun peristiwa serupa hampir sempat terjadi saat sidang sengketa hasil pemilu 2019 di MK dilaksanakan, dimana ada upaya gerakan liar diluar sidang untuk memantik kerusuhan besar.
Lagi-lagi Prabowo tidak merestui upaya seperti itu, karena sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Pada akhirnya keputusan hasil sidang MK pun tidak memenangkan Prabowo, menambah kesadarannya bahwa banyak faktor kelemahan di kubunya yang memang tidak siap memenangkannya.
Selepas itu, berbagai upaya rekonsiliasi dilakaukan, mulai dari mengutus Luhut Binsar Panjaitan untuk menemui Prabowo, namun tidak kunjung berhasil, sampai akhirnya Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Budi Gunawan menemui Prabowo.
Budi Gunawan menemui Prabowo, bisa jadi sebagai utusan dari Jalan Tengku Umar, yakni dari kediaman Ketua Umum Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) Megawati Soekarno Putri, yang memang memiliki kedekatan historis dan emosional dengan Prabowo.Â
Upaya Budi Gunawan terbilang berhasil. Proses rekonsiliasi berjalan dengan mulus, dan menghasilkan pertemuan antara Jokowi dengan Prabowo (13/7/2019). Pertemuan yang begitu cair, dan memperlihatkan jiwa besar Prabowo. Karakter antagonis Prabowo mulai terkikis, dia muncul sebagai sosok protagonis.
Ini semua tidak terlepas dari setting Megawati, ada peranannya yang cukup besar dalam proses rekonsiliasi tersebut. Setelah rekonsiliasi antara Prabowo dan Jokowi terjadi, barulah Prabowo sowan ke kediaman Megawati di jalan Tengku Umar (24/7/2020, dimana Megawati memasak nasi goreng kesukaan Prabowo secara khusus.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam rangka rekonsiliasi ini, sangat menentukan arah politik menuju Pemilu 2024. Ada satu perjanjian yang sempat mengganjal hubungan baik antara Megawati dan Prabowo disaat sebelum Pilpres 2014, yang kemungkinan besar akan terwujud pada Pemilu 2024 nantinya.
Terlepas dari itu semua, dengan masuknya Prabowo dalam pemerintahan, akan sangat mengubah performa politik Prabowo. Bergabungnya Prabowo dengan kaum nasionalis, akan sangat mengubah sikap dan mindset berpolitiknya.
Dua kali Pilpres dengan mengusung politik identitas, membuat Prabowo tidak berpijak ke Bumi, yang membuat Prabowo menjadi sosok tokoh antagonis, dan itu tidak menguntungkannya secara politik. Karakter itu sangat jauh dengan sikap dan karakternya yang sesungguhnya.
Metamorfosis Prabowo dari Antagonis ke karakter Protagonis, membuat Prabowo benar-benar tampil dengan New Image, dengan New Prabowo, lebih soft, dan terus bergerak dalam sunyi, yang pada akhirnya membuat kinerjanya terpuji di kabinet Jokowi-Ma'ruf.
Kans Prabowo untuk memenangkan Pilpres 2024 sangatlah besar, namun semua kembali ke pada takdirnya, apakah Prabowo memang di takdirkan untuk menjadi Presiden? Wallahu'alam, semua hak prerogatif Tuhan. Bisa saja dengan usahanya kali ini Tuhan mentakdirkannya untuk memimpin Republik Indonesi, sebagai Presiden RI ke 8.
tulisan ini telah tayang lebih dulu di laman pepnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H