Mohon tunggu...
Aji NajiullahThaib
Aji NajiullahThaib Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Seni

Hanya seorang kakek yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paket Sembako Nyasar karena Gak Punya Mata?

4 Mei 2020   08:09 Diperbarui: 4 Mei 2020   08:23 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebetulnya sudah bisa diperkirakan kalau paket jaringan pengamanan sosial, baik yang berupa bantuan langsung tunai atau pun paket sembako, sebagian besar akan tidak tepat sasaran. Pada kenyataannya memang demikian, tidak siapnya secara pendataan, juga memang karena adanya permainan dilapangan.

Perkiraan tersebut bukanlah mengada-ngada, tapi atas dasar kondisi sosial dan mentalitas masyarakat, dan aparatur penyelenggara negara kita, yang secara umum memang sudah begitu adanya. Dalam kondisi wabah dan bencana pun tetap mencari peluang untuk mengambil kesempatan ditengah kesempitan.

Ada yang seketika berubah menjadi rakyat miskin, hanya untuk mendapatkan bantuan pemerintah, bahkan rumah gedungnya yang mentereng pun rela diberikan lebel rakyat miskin, sementara kalau dilihat sepintas penampilan rumah gedungnya, tidak layak dikategorikan rakyat miskin.

Ada juga komplek perumahan yang mengembalikan paket bantuan sembako, karena merasa bukan bagian penerima bantuan, dan paket yang dikirim dianggap salah alamat. Inikan sesuatu yang aneh, kok bisa salah kirim kealamat yang tidak tepat sasaran. Apakah tidak bisa menggunakan data rakyat miskin/prasejahtera hasil sensus?

Itu baru persoalan tidak tepatnya sasaran dalam pendistribusian sembako, bahkan bisa jadi bantuan langsung tunai yang ditransfer ke rekening masing-masing penerima bantuan pun bisa juga salah alamat.

Kekacauan secara sistematis dalam pendistribusian ini bisa dimaklumi kalau melihat situasi dan kondisi, tapi bagi sebuah negara dan pemerintahan yang sudah berjalan, seharusnya hal seperti itu tidak terjadi.

Semua bantuan pemerintah di tengah pandemi covid-19 saat ini, tentunya menyasar masyarakat prasejahtera, yang sudah terdata didalam sensus kependudukan, khususnya tentang data masyarakat prasejahtera.

Soal adanya tambahan tenaga kerja informal, yang juga terdampak situasi pandemi, tentunya sangat mudah untuk didata, karena di Depnaker atau pemprov sendiri pastinya memiliki data-data tersebut.

Itu baru menyangkut simpang siur pendataan penerima bantuan, yang hampir setiap daerah problem yang dihadapi sama, banyak masyarakat yang harusnya berhak menerima bantuan, malah tidak menerima bantuan, hanya karena adanya kesalahan dalam pendataan, bahkan ada juga karena kesengajaan, pembagian lebih didasari kedekatan siapa yang ditugaskan dalam pembagian tersebut.

Kalau ormas yang membagikan, maka yang akan kebagian orang-orang yang merupakan bagian dari ormas tersebut. Kalau kader partai yang ditugaskan untuk membagikan, maka yang akan menerima sembako tersebut, adalah orang-orang yang merupakan kalangan dari partai tersebut.

Paket Bansos memang tidak punya mata, tapi manusia yang membagikan bukanlah malaikat, tapi pastinya tidaklah buta, bisa membedakan mana yang pantas menerima, dan mana yang tidak pantas. Namun pads kenyataannya tetap saja tidak tepat sasaran, masaksih harus Presiden sendiri yang harus membagikan?

Yang lebih parahnya lagi, belum tentu semua nilai paket bantuan yang diterima masyarakat, sesuai dengan bantuan yang seharusnya dari pemerintah, karena kalau melihat isi paketnya sendiri tidaklah sesuai dengan apa yang dikatakan Presiden Jokowi, khususnya bantuan Presiden yang disalurkan Kemensos.

Presiden Jokowi pernah mengatakan bahwa, paket bantuan tersebut senilai Rp 600.000,- baik yang berupa sembako, atau pun yang berupa bantuan langsung tunai. 

Tapi kalau melihat isi sembako yang dibagikan, rasanya nilainya tidaklah sampai sebesar Itu. Karena kualitas produknya pun sangatlah rendah, bukan produk standar yang ada dipasaran umumnya.

Mie instan yang dibagikan pun dengan merek yang beragam, bukan sekelas Indomie atau pun Supermie, tapi Mie Megah sejumlah 20 bungkus. Ada satu paket yang isinya 5 sabun lifebuoy, tapi ada juga cuma 2 sabun Nuvo. Pada setiap kelurahan dan kecamatan berbeda isi paketnya, inikan aneh.

Yang seperti ini tidak mungkin Presiden akan mengecek secara langsung semua paket yang dibagikan, tapi hal seperti ini bisa merusak nama baik pemerintah, bukan cuma Presiden Jokowi. 

Sebetulnya sudah bisa diduga, problem dilapangan akan terjadi hal seperti ini, itulah yang saya katakan soal mentalitas dan moralitas oknum yang terlibat dalam pendistribusian.

Paket Bansosnya memang tidak punya mata, tapi yang memdistribusikannya tidaklah buta matanya, bisa jadi buta mata hatinya, sehingga di tengah wabah dan musibah yang dihadapi bangsa dan negara ini, tetap saja mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Di negara ini  apa sih yang tidak dikaitkan dengan politik, semua hal yang terjadi selalu ditumpangi kepentingan politik, sesuatu yang seharusnya lancar, bisa menjadi terhambat hanya karena adanya kepentingan politik. Sesuatu yang seharusnya mudah, menjadi dipersulit, hanya karena kepentingan politik.

Paket bantuan dengan lambang lembaga kepresidenan saja menjadi persoalan, tapi paket bantuan Menteri Pertahanan, yang menggunakan lambang kelembagaannya, malah tidak dipersoalkan. Yang lucunya lagi seorang Ustad tidak tahu membedakan mana Lambang Negara, dan mana Lambang Lembaga Kepresidenan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun