Pemprov DKI Jakarta mulai menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sejak tanggal 10 April 2020 sampai 23 April 2020, itu merupakan fase pertama penerapan PSBB.
Padahal sangat diharapkan dengan diterapkannya PSBB di wilayah DKI Jakarta, dapat mengurangi jumlah angka kenaikan pasien yang terinfeksi corona. Namun sayangnya yang terjadi malah sebaliknya.
Berdasarkan data yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta, yang saya kutip dari CNN Indonesia.com,
Pada 10 April atau hari pertama penerapan PSBB, jumlah positif terinfeksi virus corona di Jakarta sebanyak 1.810 kasus. Sampai pada pelaksanaan PSBB fase pertama atau 23 April kasus positif di Jakarta mencapai 3.506 kasus.
Artinya, sejak pelaksanaan PSBB 10 sampai 23 April terjadi penambahan 1.696 kasus atau rata-rata 130,4 kasus setiap hari selama PSBB tahap pertama berlangsung di Jakarta. Jumlah ini lebih tinggi dari dua pekan sebelum PSBB diterapkan, yaitu terjadi peningkatan 1.153 kasus positif corona pada 27 Maret hingga 9 April.
Diterapkannya PSBB ternyata tidak "ngefek" terhadap pengurangan jumlah pasien terinfeksi virus corona, artinya memang perlu dievaluasi seberapa besar pengaruhnya penerapan PSBB terhadap upaya memutus mata rantai penyebaran virus corona.
Per 24 April 2020, Pemprov DKI Jakarta kembali memperpanjang pemberlakuan PSBB di wilayah DKI Jakarta, dengan harapan pada fase kedua akan bisa lebih dirasakan hasilnya, tentunya dengan berbagai tindakan tegas yang akan diterapkan bagi pelaku pelanggaran PSBB.
Banyak faktor yang menyebabkan penerapan PSBB tidak sukses di wilayah DKI Jakarta, bahkan mungkin juga di daerah lainnya, yang juga mulai memberlakukan PSBB. Utamanya adalah tidak disiplinnya masyarakat dalam mematuhi aturan yang diterapkan.
Disamping faktor disiplin, ambiguitas dalam penerapan aturan ini juga sangat mempengaruhi kepatuhan masyarakat. Tidak konsistennya aparatur negara dalam menerapkan aturan, juga sangat mempengaruhi tingkat kedisiplinan masyarakat.
PSBB dalam penerapannya tidak lebih dari Social distancing, yang lebih diutamakan menjaga physical distancing, dengan persepsi yang berbeda-beda oleh masyarakat yang menerapkannya.
Sebuah kebijakan akan dibilang efektif dalam penerapannya, jika memang berhasil memutus mata rantai penularan, dan mengurangi tingkat penyebaran covid-19. Pada kenyataannya kebijakan PSBB tidak memberikan efek yang sangat signifikan.
Pelarangan yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, tidak dipatuhi oleh masyarakat. Lihat saja larangan mudik lebaran, tetap saja terjadi arus mudik lebaran seperti yang terjadi seperti biasa terjadi pada dlsituasi normal.
Sebagian besar masjid-masjid di lingkungan kelurahan, masih tetap melaksanakan sholat berjamaah, baik untuk sholat lima waktu, maupun sholat Jum'at dan sholat Taraweh, tanpa ada beban resiko penularan.
Kerumunan masyarakat masih terus terjadi, baik di pasar tradisional, terminal angkutan, bahkan dilingkungan perkampungan. Tidak rajinnya aparatur kelurahan dan kecamatan dalam mengawasi penerapan PSBB, membuat masyarakat tidak memahami pentingnya menjaga jarak.
Padahal penanggulangan terhadap penularan covid-19, adalah tanggung jawan masyarakat juga, cukup dengan mematuhi semua aturan yang diterapkan pemerintah, maka masyarakat sudah ikut berperan dalam penanggulangan penularan covid-19.
Fase kedua PSBB di wilayah DKI Jakarta, harusnya bisa memberikan dampak pengurangan jumlah pasien terinfeksi covid-19, dengan penegakan sanksi hukum terhadap pelanggaran aturan PSBB.
Tanpa adanya ketegasan dalam penerapan dan pemberian sanksi bagi pelanggar, maka penerapan PSBB tetap saja tidak memberikan hasil apa-apa, anggaran habis masyarakat yang terinfeksi, jumlahnya semakin bertambah luar biasa.
Sebagai penduduk DKI Jakarta, penulis belum melihat peranan walikota dari kelima wilayah yang ada di DKI Jakarta, mereka tenggelam di tengah pamor dan sepak terjang Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Padahal seharusnya, integritas walikota diuji dimasa pandemi yang menyebabkan, Jakarta menjadi episentrum penyebaran pandemi covid-19. Para walikota bisa bahu membahu dengan para camat dan lurah, serta masyarakat dalam memerangi covid-19.
Namun pada kenyataannya, keberadaan apratur pemerintah dijajaran Gubernur DKI Jakarta, nyaris tak terdengar aktivitasnya di tengah masyarakat DKI Jakarta. Sudahlah camat dan lurah tidak aktif ditengah masyarakat, walikota pun juga demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H