KPK dibawah kepemimpinan Firli Bahauri terkesan "mandul", menangkap Harun Masiku dan Nurhadi saja tidak mampu, gimana mau memberantas korupsi. Begitulah kesan sebagian besar masyarakat terhadap KPK sejak dipimpin Firli Bahauri.
Indonesia Corruption Watch (ICW), yang biasanya satu kubu dengan KPK, sekarang malah menyerang Firli, mendesak agar Firli mundur, karena dianggap gagal membangun komitmen pemberantasan korupsi, setelah gagal menangkap Harun Masiku dan Nurhadi.
"Lebih baik saudara Firli Bahuri mengundurkan diri saja dari struktur Pimpinan KPK," ujar Kurnia saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (12/3).
Kurnia menilai KPK di era Firli mengalami kemunduran yang luar biasa. Terhitung sejak dilantik pada Desember tahun lalu, menurut dia, tidak ada prestasi yang mampu Firli torehkan.
"Kunjungan ke berbagai lembaga negara yang tidak memiliki nilai urgensinya, dan adanya upaya paksa mengembalikan penyidik KPK, Rossa, ke instansi asal," sambungnya.
Independensi KPK tidak boleh terkontaminasi "virus" Partai politik, ketidak-mampuan KPK menangkap Harun Masiku, yang merupakan kader partai PDI Perjuangan, diduga kuat KPK sudah di intervensi secara pilitik oleh PDI Perjuangan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan KPK sebenarnya bukan tidak mengetahui keberadaan Harun yang kini menjadi buron. Senada dengan Kurnia, ia melihat Firli dkk memang tidak mempunyai niat untuk menangkap eks politikus PDIP tersebut.
"Dengan kecanggihan KPK dalam menemukan buron selama ini, maka yang bermasalah itu adalah tidak adanya niat pimpinan untuk menemukan Harun Masiku," katanya kepada CNNIndonesia.com.
Tapi memang, KPK di Era sebelumnya juga tidak mampu menangkap Honggo Wendratmo, yang sudah merugikan negara 37,5 triliun, lewat bail-out PT TPPI, namun tidak seheboh Harun Masiku dan Nurhadi.
Seharusnya KPK dibawah kepemimpinan Filri Bahauri, bisa lebih bisa memperbaiki citra lembaga anti rasuah tersebut, bukan malah lebih memperburuk citranya, hanya karena tidak mampu menangkap seorang Harun Masiku, yang bukan siapa-siapa.
Kasus Harun Masiku, sangat bernuansa politik, pokok pangkalnya bukan pada Harun Masiku, tapi siapa yang ada dibalik Harun Masiku, yang harus diselamatkan. Itulah kenapa dibilang KPK sudah terkontaminasi virus partai politik.
Kalau tidak ada yang perlu dilindungi, harusnya Harun Masiku sangat mudah untuk ditangkap. Padahal kasus yang menjeratnya bukanlah kasus besar, dengan kerugian negara yang bernilai fantastis, tapi karena sarat nuansa politik, sehingga kasusnya menjadi besar dan heboh.
Honggo tidak bisa ditangkap juga karena banyak yang ingin diselamatkan, begitu juga dulu kasus Edy Tansil. Sudah menjadi rahasia umum, pada setiap kasus korupsi yang pelakunya melarikan diri, karena memang kasusnya tidak berdiri sendiri, sarat dengan muatan politik dan kekuasaan.
Kalau benar-benar KPK dibawah kepemimpinan Firli tidak berhasil menangkap Harun Masiku, maka citra KPK akan tenggelam sebagai salah satu lembaga yang dipercaya publik. Alasan-alasan yang dikemukakan pimpinan KPK, belum bisa menangkap Harun Masiku, kurang masuk akal.
Sudah dua bulan pelarian Harun Masiku, KPK sendiri tidak mampu mendeteksi keberadaannya, hanya karena alasan Harun Masiku tidak menggunakan Ponsel dan Media sosial. Apa cuma itu yang mendasari kesulitan menangkap Harun Masiku? Begitu juga dengan Nurhadi.
Ditengah dugaan pelemahan KPK, akibat dari revisi UU KPK, jelas persoalan ini semakin mencoreng muka pemerintahan Jokowi. Baru direzim pemerintahan Jokowi KPK lemah tidak berdaya, Jokowi dianggap tidak mampu melawan tekanan politik partai yang mendukungnya.
Oligarki kekuasaan partai politik sudah mencengkram semua lini pemerintahan, Jokowi yang pada awalnya menganggap diperiode kedua tidak ada lagi beban, pada kenyataannya tetap saja sarat dengan beban politik koalisi partai yang mendukungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H