Kasus suap Wahyu Setiawan dan Harun Masiku, sudah memakan korban. Dua penyidik KPK, satu dari Kejaksaan yakni, Jaksa Yadyn, yang menjadi bagian Tim Analisis kasus itu, dan satunya lagi Penyidik Rossa Purbo Bekti, dari kepolisian.Â
Keduanya dikembalikan ke instansi masing-masing sebelum masa tugas berakhir sesuai dengan jadwal.
Pengembalian Yadyn dan Rossa ditegarai terkait kasus suap Wahyu Setiawan dan Harun Masiku, yang diungkap oleh mereka.Â
Dan pengembalian keduanya ke istansi masing-masing, bisa menimbulkan dugaan publik bahwa KPK sudah tidak lagi independen, mudah diintervensi dari kekuatan diluar KPK.
Padahal sebelumnya KPK sempat mengakui kekurangan pegawai dibidang penyidikan, sekarang malah pegawai yang ada malah dipulangkan ke istansinya. Disini sangat terasa kejanggalan pemulangan kedua penyidik tersebut.
Sementara Ketua KPK, Firli Bahuri mengakui bahwa pengembalian keduanya atas permintaan Polri dan Kejagung dan telah ditandatangani surat pengembalian oleh Pimpinan, Sekretaris Jenderal KPK, Cahya Hardianto Harefa dan Kepala Biro SDM KPK.
Penjelasan Ketua KPK ini tentunya perlu di konfirmasi kebenarannya, apakah benar demikian adanya. Kalau apa yang dikatakan Firli benar, maka berbagai tuduhan sikap otoritarian Ketua KPK pun tidaklah benar.
Terkait kasus suap yang menjerat kader PDIP Harun Masiku, dan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, lembaga anti rusuah dibawah kepemimpinan Firli Bahuri menjadi sorotan publik. KPK diprediksi secara sistem akan merusak kepercayaan publik, karena sampai saat ini, Harun Masiku belum diketahui dimana rimbanya.
Kedepan apa pun yang dilakukan KPK dalam penindakan kasus korupsi, akan diragukan hasilnya. Integritas KPK sudah tergerus oleh intervensi kekuasaan, pelemahan KPK sangat terstruktur dan sistematis, mulai dari revisi UU KPK, sampai pada akhirnya UU tersebut diterapkan, sekarang sudah menampakkan hasilnya bahwa KPK tidak lagi seperti yang sebelumnya.
Terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, sejak awal sudah sangat diragukan integritasnya. Gejolak yang terjadi diinternal KPK, adalah bukti karena sikap otoriter Firli, yang dianggap semena-mena dalam menghilangkan hak Yadyn dan Rossa.
Untuk mendapatkan akses masuk kegedung KPK saja Rossa sudah tidak diperbolehkan, Semua yang berhubungan dengan kerjanya sebagai penyidik KPK diblokir, seperti akses email kantor dan gaji.
Kalaulah benar Yadyn dan Rossa merupakan korban dari Kasus suap Wahyu Setiawan dan Harun Masiku, karena keduanya ikut menangani kasus tersebut, itu artinya memang ada intervensi kekuasaan politik yang turut menekan KPK dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam pemberantasan korupsi.
Dengan demikian KPK hanya tinggal menunggu ajalnya, KPK sudah kembali mati suri, tidak lagi sebagai sebuah lembaga yang independen. Presiden Jokowi harusnya prihatin dengan kondisi ini, karena hanya pada pemerintahannya KPK menjadi tidak berdaya.
Sangat disayangkan kalau konspirasi antara legislatif dan eksekutif, dalam pelemahan KPK lewat revisi UU KPK, pada akhirnya membunuh secara perlahan-lahan kekuasaan dan kekuatan KPK.Â
Padahal tidak sedikit anggaran yang dikucurkan pemerintah, untul lembaga anti rusuah tersebut.
Matinya KPK akan berakibat pada matinya semangat pemberantasan korupsi. Padahal katanya korupsi adalah merupakan extra ordinary crime, yang memang harus dibasmi sampai keakar-akarnya, namun pada prakteknya, KPK malah dilemahkan.
Ketua KPK harus mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap independensi KPK, karena selama ini KPK adalah termasuk lembaga yang paling dipercaya publik. Dan hasil survey publik yang percaya KPK bekerja untuk kepentingan rakyat mencapai 89,0 persen. Setelah Pilpres, kepercayaan publik turun ke angka 85,7 persen.
Peneliti senior LSI Denny JA, Adjie Alfaraby, saat itu menyebut penurunan kepercayaan itu ada pengaruh dari sosok pimpinan baru KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H